Jaga lisan, jaga hati

Antara Menjaga Lisan dan Berpendapat: Bagaimana Islam Mengatur Batasnya?

17/11/2025 | Yessi Ade Lia Putri

Dalam Islam, lisan merupakan anugerah yang diberikan Allah kepada manusia sebagai alat untuk berkomunikasi, berdakwah, menasihati, serta mengungkapkan kebenaran. Namun pada saat yang sama, lisan juga dapat menjadi sumber dosa yang besar apabila tidak dijaga. Karena melalui ucapan, seseorang bisa tergelincir pada ghibah, fitnah, ujaran kebencian, atau menyakiti hati orang lain. Oleh sebab itu, Al-Qur’an, hadis, serta para ulama menempatkan pembahasan mengenai lisan sebagai bagian penting dari akhlak Islam.

Pengertian Lisan dalam Perspektif Islam

Secara bahasa, lisan berarti alat berbicara dalam tubuh manusia. Namun menurut para ulama, makna lisan tidak hanya terbatas pada organ fisik, melainkan seluruh bentuk ucapan yang keluar dari manusia—termasuk tulisan, pesan teks, komentar media sosial, dan segala bentuk komunikasi.

Allah berfirman:

“Tidak ada satu kata pun yang diucapkannya melainkan di dekatnya ada malaikat pengawas yang selalu hadir.”
(QS. Qaf: 18)

Ayat ini menunjukkan bahwa setiap kata dicatat dan akan dimintai pertanggungjawaban. Nabi ? juga menegaskan:

“Tidak ada sesuatu yang lebih banyak menjerumuskan manusia ke dalam neraka selain hasil panen lisannya.”
(HR. Tirmidzi)

Karena itu, menjaga lisan adalah bagian dari ibadah.

Pandangan Para Ulama tentang Menjaga Lisan

Para ulama memberikan perhatian besar terhadap lisan sebagai penjaga moral seseorang.

Imam Al-Ghazali menyebut lisan sebagai “penerjemah hati”. Jika hati kotor, lisannya mudah menyakiti. Ia merinci berbagai dosa lisan seperti ghibah, fitnah, dan ucapan sia-sia.

Imam Nawawi menegaskan bahwa prinsip dasar seorang muslim adalah “berkata baik atau diam”. Diam lebih selamat kecuali ada manfaat yang jelas dalam berbicara.

Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah menyatakan bahwa kerusakan yang paling cepat menimpa manusia sering bermula dari lisannya.

Imam Malik, dikenal sangat berhati-hati, bahkan jarang berbicara kecuali pada urusan yang yakin kebenarannya.

Mazhab empat (Syafi’i, Hanafi, Maliki, Hanbali) sepakat bahwa berbicara harus ditimbang antara maslahat dan mudarat. Jika mudarat lebih besar—hukumnya adalah diam.

Mengemukakan Pendapat dalam Islam

Mengemukakan pendapat adalah bagian dari fungsi lisan, dan hukumnya bisa berubah sesuai keadaan.

1. Wajib berbicara

– Ketika melihat kemungkaran (HR. Muslim)
– Menegakkan keadilan dan kesaksian (QS. An-Nisa: 135)
– Memberikan nasihat kepada sesama (HR. Muslim)

2. Dianjurkan berbicara

– Dalam musyawarah atau diskusi ilmiah
– Ketika pendapat dapat memberi solusi atau memperbaiki keadaan

3. Dilarang berbicara

– Jika ucapannya tidak berdasarkan ilmu
– Jika dapat menyakiti atau menjatuhkan kehormatan orang lain
– Jika memicu fitnah dan perpecahan
– Saat sedang marah (HR. Ahmad)

4. Adab mengemukakan pendapat

Ulama menekankan adab-adab seperti:
– tidak memaksakan pendapat,
– berbicara dengan lembut,
– menimbang maslahat dan mudarat,
– mendahulukan kebenaran, bukan ego.

Keseimbangan antara Diam dan Bicara

Islam mengajarkan keseimbangan: diam ketika ucapan berpotensi menyakiti, dan berbicara ketika kebenaran harus ditegakkan. Inilah prinsip akhlak lisan yang diajarkan Nabi ? dan diwariskan para ulama.

Kesimpulan

Lisan adalah amanah besar yang harus dijaga. Islam mengajarkan agar seseorang hanya berbicara jika ucapannya membawa manfaat, memperbaiki keadaan, atau menegakkan kebenaran. Sebaliknya, diam lebih utama ketika ucapan berpotensi membawa kemudaratan, menyakiti, atau memicu konflik. Dengan mengikuti panduan Al-Qur’an, hadis, dan nasihat para ulama, seorang muslim dapat memanfaatkan lisannya sebagai sarana menebar kebaikan, menjaga kehormatan diri, dan mendekatkan diri kepada Allah.

Semoga Allah memberi kita kemampuan untuk menjaga lisan, mengendalikan ucapan, dan menggunakan kata-kata sebagai jalan menuju kebaikan dan keberkahan. Aamiin.

 

KOTA SUKABUMI

Copyright © 2025 BAZNAS

Kebijakan Privasi   |   Syarat & Ketentuan   |   FAQ  |   2.2.12