Cancel culture: keadilan atau ghibah terselubung?
Cancel Culture di Era Digital: Menegakkan Keadilan atau Terjerumus Ghibah dan Fitnah
19/11/2025 | indri irmayantiFenomena cancel culture di era digital memicu perdebatan besar. Bagi sebagian orang, budaya “membatalkan” seseorang karena perilaku atau ucapan kontroversial dianggap sebagai bentuk penegakan keadilan sosial. Namun bagi sebagian lainnya, hal tersebut bisa berubah menjadi ghibah, fitnah, dan penghakiman massal tanpa adab. Dari perspektif Islam, isu ini perlu dipahami dengan hati-hati agar tidak melanggar batas-batas syariat.
Pendahuluan
Di era media sosial, informasi viral dapat menyebar dalam hitungan detik. Cancel culture muncul sebagai mekanisme tekanan sosial terhadap seseorang yang dianggap melakukan kesalahan. Meski terkadang membawa efek positif berupa kesadaran publik, praktik ini juga berpotensi menimbulkan kerusakan besar seperti pembunuhan karakter, fitnah, atau penyebaran aib.
Islam mengajarkan kehati-hatian dalam menilai dan menyebarkan informasi. Menegur kesalahan boleh dilakukan, tetapi dengan cara yang benar, bertujuan maslahat, dan tidak mempermalukan seseorang tanpa alasan syar’i.
Definisi Cancel Culture dan Tinjauan Islam
Cancel culture adalah tindakan menolak, mengecam, atau memboikot seseorang akibat tindakan atau ucapan yang dianggap salah. Contohnya ketika publik figur mendapat serangan massal setelah membuat pernyataan kontroversial.
Dalam Islam, menyebarkan aib orang lain tanpa kebutuhan jelas termasuk ghibah dan fitnah, yang merupakan dosa besar. Namun mengoreksi kesalahan demi kemaslahatan umum termasuk bagian dari amar ma’ruf nahi munkar asalkan dilakukan dengan adab.
Dalil Al-Qur’an dan Hadits
1. Larangan Ghibah dan Fitnah
- QS. Al-Hujurat:12:
“Janganlah kamu menggunjing orang lain… Bertakwalah kepada Allah.” - Nabi SAW bersabda:
“Janganlah kalian saling membenci… dan jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Muslim)
2. Kewajiban Menegakkan Kebaikan
- QS. Ali-Imran:104:
“Hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar.”
· Pandangan Ulama
· 1. Ibnu Qudamah (al-Mughni, Juz 6)
Beliau menegaskan bahwa menegur kesalahan diperbolehkan jika tujuannya maslahat umum dan dilakukan dengan kelembutan, tidak menyebarkan aib, serta memastikan fakta benar.
· 2. Syaikh Ibn Utsaimin (Fatwa Islamiyyah, 2/45-46)
Menurut beliau, menyebarkan kesalahan orang di ruang publik bisa menjadi ghibah jika tidak bertujuan menegakkan kebaikan. Media sosial bisa memperbesar mudaratnya.
· 3. Syaikh Bin Baz (Majmu’ Fatawa, 15/120)
Beliau menekankan pentingnya klarifikasi sebelum menyebarkan informasi. Menegur boleh, tetapi jangan menjatuhkan atau mempermalukan.
Pro dan Kontra Cancel Culture
Pro:
- Mendorong pertanggungjawaban publik
Kesalahan dapat dikoreksi, terutama bagi tokoh berpengaruh. - Meningkatkan kesadaran sosial
Masyarakat lebih peka terhadap perilaku yang melanggar etika. - Mendorong perbaikan diri
Dengan kritik yang tepat, pelaku bisa introspeksi.
Kontra:
- Risiko ghibah dan fitnah
Informasi yang belum jelas bisa menghancurkan reputasi seseorang. - Hukuman sosial berlebihan
Kesalahan kecil dapat dibesar-besarkan sehingga merugikan pelaku. - Penghakiman sepihak
Cancel culture sering dipengaruhi emosi, bukan fakta. - Salah niat
Jika niatnya balas dendam atau konten viral, maka menjadi dosa.
Kesimpulan
Cancel culture memiliki dua sisi: bisa menjadi alat menegakkan kebenaran, tetapi juga bisa menjadi sarana ghibah dan fitnah. Islam mengajarkan amar ma’ruf nahi munkar dengan adab, hikmah, dan niat yang lurus. Ulama menegaskan bahwa menegur kesalahan boleh, tetapi tidak dengan mempermalukan atau menyebarkan aib tanpa kebutuhan.
Jika dilakukan dengan etika Islam, cancel culture dapat menjadi sarana perbaikan. Namun tanpa adab, ia dapat berubah menjadi bentuk kezaliman digital.