Iri menguras bahagia. Syukur menumbuhkan tenang
Ketika Hati Membandingkan: Apa Kata Islam?
21/11/2025 | Yessi Ade Lia PutriDi era media sosial, manusia seperti hidup di panggung besar yang penuh sorotan. Setiap orang berusaha menampilkan sisi terbaik dari dirinya—kebahagiaan, pencapaian, keindahan hidup. Namun di balik layar, hati orang lain tidak pernah kita ketahui. Ketika melihat hidup orang lain tampak lebih mulus dan lebih berwarna, muncul bisikan halus dalam diri: “Mengapa hidupku tidak seindah mereka?”
Perasaan membandingkan diri ini sebenarnya manusiawi. Namun jika dibiarkan, ia dapat menumbuhkan penyakit hati seperti hasad, rendah diri, bahkan suuzan kepada Allah. Islam memberikan panduan jelas agar hati tidak tenggelam dalam perasaan negatif tersebut.
1. Mengapa Kita Mudah Membandingkan Diri?
Para ulama menjelaskan bahwa akar dari sifat suka membandingkan diri terletak pada fokus yang salah. Ibn Qayyim berkata:
“Penyakit hati bermula dari dua hal: terlalu banyak melihat nikmat orang lain dan terlalu sedikit melihat nikmat sendiri.”
(Madarij As-Salikin)
Media sosial juga memperparah keadaan karena menampilkan “highlight” hidup orang lain. Seperti dicatat Syekh Shalih al-Munajjid, media sosial menciptakan ilusi seolah semua orang hidup sempurna, padahal setiap orang menyimpan ujian yang tidak terlihat.
2. Islam Melarang Hasad dan Sifat Membandingkan Berlebihan
Allah menegaskan:
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang Allah lebihkan sebagian kamu atas sebagian yang lain.”
(QS. An-Nisa’: 32)
Dan Rasulullah ? bersabda:
“Hasad memakan kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar.”
(HR. Abu Dawud)
Hasad bukan hanya menyakiti sesama, tetapi juga merusak diri sendiri. Ibn Taimiyah bahkan mengatakan bahwa hasad adalah bentuk protes terhadap ketentuan Allah—sebuah penyakit hati yang sangat berbahaya.
3. Bahaya Membandingkan Diri Menurut Para Ulama
a. Menghilangkan syukur
Imam Al-Ghazali berkata bahwa hati yang sibuk melihat kelebihan orang lain akan sulit bersyukur. Padahal syukur adalah pintu ketenangan.
b. Menurunkan rasa percaya diri
Ketika standar hidup diukur dari pencapaian orang lain, seseorang akan merasa kecil meski memiliki banyak kelebihan.
c. Menumbuhkan prasangka buruk kepada Allah
Ibn Qayyim menjelaskan bahwa hasad merupakan bentuk suuzan terhadap pembagian rezeki Allah. Ini dapat melemahkan iman secara perlahan.
4. Cara Mengobati Hati yang Suka Membandingkan
1. Lihatlah orang yang berada di bawah kita
Rasulullah ? bersabda:
“Lihatlah kepada orang yang berada di bawah kalian…”
(HR. Muslim)
Ini menjaga hati dari rasa tidak puas dan menumbuhkan syukur.
2. Latih qana’ah
Qana’ah adalah kemampuan merasa cukup dengan pemberian Allah. Nabi ? bersabda:
“Beruntunglah orang yang diberi rezeki cukup dan hatinya dijadikan qana’ah.”
(HR. Muslim)
3. Hitung nikmat Allah satu per satu
Menghitung nikmat membuat hati sadar bahwa hidup kita tidak semiskin yang kita kira.
4. Doakan orang yang kita iri
Imam Al-Ghazali mengajarkan:
“Doakanlah orang yang engkau iri. Itu akan mematikan akar hasad.”
5. Pahami bahwa setiap orang punya ujiannya sendiri
Apa yang tampak indah pada diri seseorang sering kali menyembunyikan ujian berat yang tidak terlihat.
6. Ubah iri menjadi motivasi positif (ghibthah)
Rasulullah ? membolehkan rasa kagum yang mendorong kita melakukan kebaikan—bukan menginginkan nikmat orang lain hilang darinya.
Kesimpulan
Membandingkan diri dengan orang lain adalah hal yang wajar, tetapi membiarkannya tumbuh tanpa batas dapat merusak ketenangan hati dan melemahkan iman. Islam mengajarkan keseimbangan: melihat nikmat Allah, merawat syukur, menumbuhkan qana’ah, serta mengubah iri menjadi dorongan untuk berbuat kebaikan. Dengan memahami bahwa setiap orang memiliki porsi rezeki dan ujian masing-masing, hati akan lebih mudah menerima takdir, lebih tenang, dan lebih dekat kepada Allah.