Sedekah untuk gengsi adalah penyakit hati — bukan ibadah

Ketika Munfiq Menjadi Munafik: Bahaya Sedekah Hanya Demi Gengsi

24/11/2025 | indri irmayanti

Di era media sosial, sedekah semakin sering muncul dalam bentuk konten. Wajah fakir miskin direkam, tangisan anak yatim dijadikan footage dramatis, dan amplop donasi difoto lengkap dengan logo lembaga. Dalam konteks ini, seorang munfiq (orang yang bersedekah) bisa berubah menjadi munafik—bukan karena ia tidak bersedekah, tetapi karena hatinya menjadikan sedekah sebagai panggung ego. Inilah bahaya sedekah yang dilakukan hanya demi gengsi.

Sedekah Sebagai Pertunjukan, Bukan Ibadah

Sedekah adalah ibadah hati sebelum ibadah harta. Allah menegaskan:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan pahala sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti perasaan penerima.”
(QS. Al-Baqarah: 264)

Ayat ini menunjukkan dua racun sedekah: riyaa’ (ingin dipuji) dan mann (menyombongkan pemberian). Ketika pemberian diumbar demi citra, maka sedekah tidak lagi menuju Allah, tetapi menuju manusia.

Rasulullah ? bersabda:

“Amalan itu tergantung niatnya.”
(HR. Bukhari & Muslim)

Niat adalah inti ibadah. Sedekah Rp 1 juta karena Allah lebih mulia daripada sedekah Rp 100 juta demi kamera.

Ciri Munfiq yang Terperangkap Munafik

  1. Sedekah untuk dipuji, bukan untuk membantu.
    Tujuan utama adalah reputasi: “Dia dermawan”, “Dia influencer dakwah”, “Dia filantropis.”
  2. Memamerkan penerima sebagai objek konten.
    Fakir, janda, anak yatim dijadikan bahan visual. Martabat mereka dilucuti agar terlihat “menyentuh”.
  3. Menggunakan sedekah untuk politik atau bisnis.
    Bantuan menjadi alat negosiasi kepentingan—bukan bentuk kasih sayang.

Padahal Allah mengingatkan sifat orang munafik:

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, padahal Allah-lah yang menipu mereka.”
(QS. An-Nisa: 142)

Munafik bukan hanya berpura-pura beriman—ia termasuk yang menipu Allah melalui amal luar, namun hatinya rusak.

Pandangan Ulama: Sedekah Paling Mulia Adalah Yang Disembunyikan

Para ulama salaf bersedekah malam hari, menyamarkan identitas, bahkan menyampaikan makanan melalui pintu belakang. Mereka menjaga amalan agar tidak terkontaminasi riyaa’.

Imam Al-Ghazali berkata:

“Amal yang dicampuri riyaa’ adalah amal rusak yang menggugurkan pahala.”

Sedekah bukan sekadar transfer harta, tetapi latihan menundukkan ego. Jika sedekah membuat hati sombong, maka sedekah itu merusak diri.

Bolehkah Sedekah Dipublikasikan?

Boleh, jika tujuannya edukasi, bukan pencitraan.

Allah berfirman:

“Jika kamu menampakkan sedekahmu, maka itu baik. Tetapi jika kamu menyembunyikannya dan memberikannya kepada fakir miskin, itu lebih baik bagimu.”
(QS. Al-Baqarah: 271)

Publikasi boleh ketika:

  • mendorong masyarakat ikut beramal,
  • meningkatkan kesadaran sosial,
  • atau transparansi lembaga.

Namun niat harus dijaga. Ketika hati gembira karena views, bukan ridha Allah, itu tanda bahaya.

Kembali ke Hakikat Sedekah

Munfiq sejati tidak membutuhkan spotlight. Ia tenang meski manusia tidak tahu. Sedekahnya menyuburkan keimanan, bukan popularitas. Sedekah yang benar mengangkat penerima, bukan mengangkat kamera.

Di akhirat, Allah tidak menilai viralitas sedekahmu—Ia menilai hatimu saat memberi. Jika sedekah menjadi jalan riyaa’, maka ia berubah dari ibadah menjadi dosa.

KOTA SUKABUMI

Copyright © 2025 BAZNAS

Kebijakan Privasi   |   Syarat & Ketentuan   |   FAQ  |   2.2.12