Bahagia secukupnya, bersyukur sebanyaknya

Self-Reward, Syukur, atau Sekadar Nafsu Halus?

19/11/2025 | Yessi Ade Lia Putri

Self-Reward, Syukur, atau Sekadar Nafsu Halus? Sudut Pandang Islam yang Jarang Dibahas

Dalam beberapa tahun terakhir, istilah self-reward menjadi tren yang populer. Setelah bekerja keras, banyak orang merasa perlu memberi hadiah kepada diri sendiri: membeli kopi mahal, belanja barang yang diinginkan, atau pergi liburan singkat. Sebagian menganggapnya sebagai bentuk apresiasi diri. Namun muncul pertanyaan: apakah ini benar wujud syukur? Atau justru hanya nafsu halus yang dibungkus dengan istilah modern?

Islam memiliki pandangan yang sangat seimbang mengenai kenikmatan dunia, rasa cukup, dan pengendalian hawa nafsu. Sayangnya, pembahasan tentang “menghadiahi diri” jarang dikaji dari sudut pandang tazkiyatun nafs (penyucian hati). Padahal, inilah yang menentukan apakah tindakan tersebut bernilai ibadah atau sebenarnya menjauhkan dari ketenangan.

Apresiasi Diri dalam Kaca Mata Islam

Secara prinsip, Islam tidak melarang seseorang menikmati hal-hal yang halal. Nabi Muhammad ? bersabda:

“Sesungguhnya badanmu memiliki hak atasmu.”
(HR. Bukhari)

Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa manusia perlu menjaga keseimbangan antara ibadah, bekerja, beristirahat, dan memperhatikan kesehatan jiwa. Hiburan atau kenikmatan yang halal bisa menjadi cara seseorang menjaga stamina agar tetap mampu beribadah dengan baik.

Allah berfirman:

“Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah dan rezeki yang baik?”
(QS. Al-A’raf: 32)

Ayat ini menunjukkan bahwa menikmati sesuatu yang halal bukanlah masalah, selama tidak berlebihan.

Ketika Apresiasi Diri Menjadi Nafsu Terselubung

Hanya saja, masalah muncul ketika tindakan tersebut menjadi pembenaran untuk menuruti hawa nafsu. Ibnul Qayyim menegaskan:

“Banyak manusia tertipu oleh hawa nafsunya, padahal ia mengira sedang berbuat baik.”
(Madarij As-Salikin)

Dalam praktiknya, seseorang bisa menganggap dirinya sedang “menghadiahi diri”, padahal sebenarnya:

  • membeli sesuatu yang tidak dibutuhkan,
  • memaksakan gaya hidup,
  • menjadikan belanja sebagai pelarian stres,
  • merasa selalu layak mendapat hadiah setelah pekerjaan kecil,
  • atau bahkan menjadikan kebiasaan itu candu.

Allah memperingatkan:

“Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, sebab ia akan menyesatkanmu.”
(QS. Shad: 26)

Jika sebuah kenikmatan tidak lagi punya tujuan jelas, tidak berdasarkan kebutuhan, atau melebihi kemampuan, itu bukan syukur—melainkan israf (berlebihan).

Syukur dalam Pandangan Ulama

Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa syukur harus tercermin dalam hati, lisan, dan perbuatan. Menggunakan harta secara bijak termasuk bentuk syukur. Sebaliknya, pemborosan bukan bagian dari syukur, meski dilakukan dengan nama “apresiasi diri”.

Self-reward tidak otomatis menjadi syukur. Ia hanya disebut syukur bila:

  • tidak berlebihan,
  • sesuai kemampuan,
  • meningkatkan semangat ibadah,
  • tidak memicu gaya hidup konsumtif,
  • dan diniatkan karena Allah.

Ciri Apresiasi Diri yang Sehat Menurut Islam

Untuk mengetahui apakah tindakan tersebut sehat atau nafsu, para ulama memberi beberapa indikator:

  • Niatnya: untuk menjaga kesehatan mental atau pelarian?
  • Dampaknya: membuat lebih dekat kepada Allah atau lebih lalai?
  • Kemampuannya: sesuai kondisi finansial atau memaksakan diri?
  • Kontrolnya: bisa berhenti kapan saja atau sudah menjadi kebiasaan tidak sehat?

Bentuk apresiasi diri yang sehat misalnya: makan makanan halal yang disukai, beristirahat setelah bekerja keras, jalan-jalan sederhana, atau membeli sesuatu yang menunjang produktivitas. Bahkan sebagian ulama memandang, memberi sedekah adalah bentuk apresiasi diri tertinggi karena menenangkan jiwa dan meningkatkan rasa syukur.

Kesimpulan

Islam tidak melarang seseorang menikmati hal-hal yang halal. Mengapresiasi diri dapat menjadi sarana menjaga keseimbangan jiwa dan meningkatkan rasa syukur. Namun, setiap bentuk kenikmatan harus ditempatkan pada porsinya. Jika dilakukan dengan niat yang benar, sesuai kemampuan, dan tidak berlebihan, maka ia dapat bernilai ibadah. Tetapi jika menjadi pelarian, memaksakan gaya hidup, dan menuruti hawa nafsu, maka ia justru membawa seseorang menjauh dari keberkahan.

Keseimbangan adalah kunci. Nikmatilah hal-hal yang halal tanpa berlebihan, dan arahkan setiap rasa syukur untuk mendekat kepada Allah. Semoga Allah melapangkan hati kita, menjauhkan dari sifat berlebihan, serta memberikan keberkahan dalam setiap nikmat yang kita gunakan. Aamiin.

 

KOTA SUKABUMI

Copyright © 2025 BAZNAS

Kebijakan Privasi   |   Syarat & Ketentuan   |   FAQ  |   2.2.12