Zakat itu ibadah, bukan pencitraan
Stop Jadi Muzaki Formalitas: 4 Dosa Besarnya Menurut Islam
25/11/2025 | indri irmayantiPendahuluan
Zakat dalam Islam bukan sekadar ritual tahunan. Ia adalah amanah, ibadah, dan instrumen sosial yang menjaga keseimbangan antara pemilik harta dan mereka yang membutuhkan. Namun realitas hari ini menunjukkan banyak Muslim menjadi muzaki formalitas—menunaikan zakat tanpa ruh keimanan, tanpa memahami tujuan, dan sekadar memenuhi kewajiban administratif.
Muzaki formalitas adalah seseorang yang mengeluarkan zakat karena faktor eksternal: tuntutan sosial, gaji, atau intervensi komunitas, bukan karena kesadaran spiritual. Ia mengukur zakat melalui angka dan nama baik, bukan manfaat bagi mustahik. Muzaki formalitas merasa telah berbuat baik, padahal zakatnya kehilangan nilai ibadah.
Ciri-ciri muzaki formalitas antara lain: berzakat demi pencitraan, hanya menggugurkan kewajiban, menganggap zakat sebagai biaya operasional sosial, tidak peduli sasaran penerima, dan memberi dengan cara merendahkan penerima. Islam tidak hanya melihat zakat dari sisi teknis, tetapi niat, tujuan, dan dampaknya. Ketika zakat dilakukan tanpa ikhlas, seorang muzaki formalitas hanya memindahkan uang tanpa membersihkan jiwanya.
1. Riya: Menginfakkan Harta Demi Pujian Manusia
Riya adalah dosa spiritual paling halus. Seorang muzaki formalitas sering menginfakkan hartanya agar terlihat dermawan. Hal ini membatalkan pahala zakat.
Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu batalkan sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia.”
(QS. Al-Baqarah: 264)
Rasulullah ? bersabda:
“Barang siapa yang melakukan suatu amal untuk dipuji manusia, maka Allah akan memperlihatkan (aibnya) kepada manusia.”
(HR. Muslim)
Imam Al-Ghazali menyebut riya sebagai syirik kecil, karena menjadikan manusia sebagai tujuan ibadah. Contoh nyata: memamerkan nominal zakat, berfoto saat menyerahkan zakat, atau menjadi donatur hanya agar namanya terpampang.
2. Zalim: Menahan Zakat atau Mengurangi Hak Mustahik
Zalim dalam zakat terjadi ketika muzaki menunda zakat, mengurangi nisab, atau menyalurkannya ke pihak yang tidak berhak.
Allah memperingatkan:
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak, dan tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka beritakanlah kepada mereka azab yang pedih.”
(QS. At-Taubah: 34)
Rasulullah ? bersabda:
“Harta yang tidak dikeluarkan zakatnya akan menjadi seekor ular botak pada Hari Kiamat yang membelit pemiliknya.”
(HR. Bukhari)
Menurut Imam Asy-Syafi’i, zakat adalah hak mustahik. Menunda zakat atau memberi di bawah ketentuan berarti mengambil hak orang yang berhak menerimanya.
3. Tidak Tepat Sasaran: Zakat Menjadi Hadiah Sosial
Kesalahan besar seorang muzaki formalitas adalah menyalurkan zakat kepada pihak yang tidak berhak demi pencitraan, hubungan profesional, atau politik.
Allah menegaskan delapan golongan penerima dalam QS. At-Taubah: 60: fakir, miskin, amil, muallaf, budak, gharimin, fisabilillah, dan ibnu sabil. Ibn Qudamah menegaskan zakat kepada selain mereka adalah batil.
Contoh: zakat dijadikan sponsor acara, diberikan kepada teman kaya, atau dikemas sebagai CSR untuk brand.
4. Menghina Mustahik: Memberi dengan Merendahkan
Sebagian muzaki formalitas memandang penerima zakat sebagai “orang kecil” sehingga memberi dengan hinaan, perekaman wajah, atau tuntutan ucapan terima kasih.
Allah berfirman:
“Janganlah kamu membatalkan sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya serta menyakiti (perasaan penerima).”
(QS. Al-Baqarah: 264)
Imam Ibn Rajab menegaskan: siapa memberi sambil merendahkan, ia merusak amalnya.
Kesimpulan
Zakat bukan transaksi sosial atau simbol status, tetapi ibadah yang menyucikan jiwa. Muzaki formalitas akan terperangkap dalam empat dosa besar: riya, zalim, salah sasaran, dan merendahkan mustahik. Zakat yang benar adalah zakat yang ikhlas, sesuai syariat, tepat sasaran, dan menjaga kehormatan. Harta hanyalah titipan, jangan biarkan ego memadamkan pahala kita.