melepaskan tidak selalu kehilangan. Kadang, melepaskan justru menyelamatkan diri kita.

Kadang Melepas Lebih Menenangkan daripada Mempertahankan

04/12/2025 | indri irmayanti

Dalam perjalanan hidup, kita sering berhadapan dengan pilihan sulit: bertahan atau melepaskan. Dua-duanya membutuhkan keberanian. Namun sering kali, kita terlalu fokus mempertahankan sesuatu—hubungan, pekerjaan, pertemanan, atau rencana—meski hal itu tidak lagi memberikan ketenangan. Padahal, kadang melepaskan justru membawa kedamaian yang tidak kita dapatkan selama bertahan.

Islam mengajarkan bahwa sesuatu yang kita inginkan belum tentu baik untuk kita. Allah berfirman:

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal ia buruk bagimu.”
(QS. Al-Baqarah: 216)

Ayat ini mengingatkan bahwa pandangan manusia terbatas, sementara Allah mengetahui segalanya. Terkadang kita bersikeras menggenggam sesuatu yang sebenarnya sedang Allah jauhkan demi kebaikan kita sendiri.

Memaksakan sesuatu yang tidak sejalan hanya akan menguras energi dan membuat hati terus gelisah. Ada perbedaan besar antara berjuang dan memaksakan diri. Berjuang menumbuhkan diri, sementara memaksakan diri mengikis ketenangan. Karena itu, melepaskan bukanlah tanda kelemahan, tetapi bentuk keberanian untuk memilih apa yang lebih baik bagi diri dan hati.

Dalam menghadapi keputusan besar—apakah harus bertahan atau melepaskan—Islam memberikan panduan berupa ikhtiar yang dapat menenangkan hati dan meneguhkan langkah. Salah satunya adalah shalat istikharah, sebagaimana diajarkan Nabi Muhammad SAW:

“Jika salah seorang dari kalian berniat melakukan suatu urusan, hendaklah ia melakukan shalat dua rakaat lalu berdoa istikharah.”
(HR. Bukhari)

Istikharah membantu kita menyerahkan pilihan kepada Allah. Jawabannya tidak selalu hadir dalam mimpi, tetapi lebih sering berupa ketenangan hati, kemudahan jalan, atau justru terhalangnya urusan yang tidak baik bagi kita.

Selain itu, Allah memerintahkan kita untuk bermusyawarah:

“Bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.”
(QS. Ali Imran: 159)

Nasihat dari orang-orang bijak dapat membuka pandangan baru yang sebelumnya tertutup oleh emosi atau ketakutan.

Ulama juga memberikan kaidah penting:

“Mencegah kerusakan lebih utama daripada meraih manfaat.”

Artinya, jika sesuatu lebih banyak mendatangkan luka, kegelisahan, dan kerusakan mental, maka melepaskan adalah pilihan yang lebih aman secara syariat maupun akal.

Melepaskan juga merupakan bentuk tawakkal. Ibnul Qayyim menyebut tawakkal sebagai “amal hati yang paling indah”, karena di sanalah seorang hamba menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada Allah setelah berusaha. Ketika kita melepaskan sesuatu karena percaya pada penggantian Allah, hati akan terasa lebih ringan.

Dalam kehidupan masa kini, melepaskan bisa berarti keluar dari hubungan yang tidak sehat, berhenti mengejar seseorang yang tidak menghargai, pindah dari lingkungan kerja yang toxic, atau merelakan mimpi yang belum tentu baik untuk masa depan. Melepaskan memberi ruang untuk hal-hal baru yang lebih baik.

Pada akhirnya, melepaskan bukan tentang kalah atau gagal. Melepaskan adalah langkah penuh keberanian untuk memilih ketenangan. Dan bagi siapa pun yang sedang berada di persimpangan, ingatlah janji Allah:

“Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Allah akan memberikan jalan keluar dan rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.”
(QS. At-Talaq: 2–3)

Maka beranilah. Kadang, melepaskan adalah jalan pulang menuju ketenangan yang selama ini kita cari.

KOTA SUKABUMI

Copyright © 2025 BAZNAS

Kebijakan Privasi   |   Syarat & Ketentuan   |   FAQ  |   2.2.12