WhatsApp Icon
Menghidupkan Kembali Empati: Tantangan Akhlak di Era Modern dalam Pandangan Islam

Perkembangan zaman modern membawa berbagai kemudahan dalam kehidupan manusia. Kemajuan teknologi, media sosial, dan globalisasi telah mempercepat arus informasi serta memperluas interaksi antarindividu. Namun, di balik manfaat tersebut, muncul tantangan serius dalam aspek akhlak, salah satunya adalah melemahnya empati. Sikap individualistis, minim kepedulian terhadap penderitaan orang lain, serta mudahnya melontarkan ujaran kebencian menjadi fenomena yang semakin sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam Islam, empati bukan sekadar nilai sosial, melainkan bagian dari akhlak mulia (akhlaq al-karimah) yang mencerminkan kualitas iman seseorang. Seorang Muslim tidak hanya dituntut untuk taat dalam ibadah ritual, tetapi juga memiliki kepedulian dan kepekaan sosial terhadap sesama manusia.

Konsep Empati dalam Islam

Empati dalam Islam berkaitan erat dengan konsep rahmah (kasih sayang), ta’awun (tolong-menolong), dan ukhuwah (persaudaraan). Seorang Muslim dianjurkan untuk mampu merasakan kesulitan orang lain dan terdorong untuk membantu sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Empati tidak berhenti pada rasa iba, tetapi harus diwujudkan dalam sikap dan tindakan nyata yang membawa manfaat.

Dalil Al-Qur’an dan Hadits

Al-Qur’an menegaskan bahwa Islam adalah agama yang dibangun di atas kasih sayang. Allah SWT berfirman:

“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad), melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam.”
(QS. Al-Anbiya’: 107)

Ayat ini menunjukkan bahwa teladan Rasulullah ? adalah rahmat dan kepedulian universal. Allah juga memerintahkan umat manusia untuk saling menolong dalam kebaikan:

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan takwa.”
(QS. Al-Ma’idah: 2)

Rasulullah ? pun menegaskan pentingnya empati melalui sabdanya:

“Tidak beriman salah seorang di antara kalian hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menunjukkan bahwa empati merupakan indikator kesempurnaan iman.

Pandangan Ulama

Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menjelaskan bahwa hati yang lembut dan peduli terhadap sesama merupakan tanda kedekatan seorang hamba dengan Allah. Kerasnya hati dan ketidakpedulian sosial, menurut beliau, adalah penyakit rohani yang harus diobati.

Ibn Qayyim Al-Jauziyyah menegaskan bahwa kasih sayang adalah inti syariat Islam. Sementara Imam An-Nawawi menekankan bahwa mencintai kebaikan bagi orang lain merupakan prinsip dasar akhlak yang harus diwujudkan dalam kehidupan nyata.

Tantangan dan Aksi Nyata

Empati di era modern menghadapi tantangan berupa individualisme, kesibukan hidup, serta pengaruh negatif media sosial. Oleh karena itu, empati perlu dihidupkan kembali melalui tindakan sederhana seperti menjaga lisan dan tulisan, membantu sesama, memperkuat silaturahmi, serta aktif dalam kegiatan sosial dan keagamaan.

Kesimpulan

Empati adalah fondasi penting dalam akhlak Islam yang berlandaskan kasih sayang dan kepedulian sosial. Al-Qur’an, hadits, dan pandangan para ulama telah memberikan panduan jelas bahwa iman sejati harus tercermin dalam sikap peduli terhadap sesama. Di tengah tantangan era modern, setiap Muslim memiliki tanggung jawab untuk menghidupkan kembali empati melalui amal nyata.

 

17/12/2025 | Kontributor: Yessi Ade Lia Putri
UMKM Naik Kelas: Strategi Bisnis Halal dan Berkah Menurut Prinsip Ekonomi Islam

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) memiliki peran penting dalam menggerakkan perekonomian masyarakat. Selain menjadi sumber penghidupan bagi banyak keluarga, UMKM juga berkontribusi besar dalam menciptakan lapangan kerja dan memperkuat ekonomi umat. Namun, tantangan UMKM saat ini bukan hanya bertahan, melainkan mampu naik kelas menjadi usaha yang profesional, berdaya saing, dan berkelanjutan.

Dalam perspektif Islam, kegiatan bisnis tidak semata-mata berorientasi pada keuntungan materi. Islam mengajarkan bahwa usaha harus dijalankan secara halal dan penuh keberkahan agar membawa kebaikan bagi pelaku usaha dan masyarakat.

 

Konsep Bisnis Halal dan Berkah dalam Islam

Bisnis halal dalam Islam mencakup seluruh proses usaha, mulai dari sumber modal, bahan baku, proses produksi, hingga distribusi. Usaha yang terbebas dari unsur riba, penipuan, dan ketidakjelasan akan menghadirkan ketenangan batin serta kepercayaan konsumen.

Allah SWT berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah dari rezeki yang baik yang telah Kami berikan kepadamu.”
(QS. Al-Baqarah: 172)

Ayat ini menegaskan bahwa rezeki yang halal dan baik menjadi fondasi utama dalam aktivitas ekonomi seorang Muslim.

 

Landasan Al-Qur’an dan Hadits dalam Aktivitas Usaha

Islam memberikan panduan tegas terkait etika bisnis. Salah satu prinsip utamanya adalah larangan riba serta keharusan berlaku jujur dalam transaksi. Rasulullah ? bersabda:

“Pedagang yang jujur dan amanah akan bersama para nabi, orang-orang shiddiq, dan para syuhada.”
(HR. At-Tirmidzi)

Hadits ini menunjukkan bahwa kejujuran dalam bisnis memiliki kedudukan mulia di sisi Allah.

 

Pandangan Ulama tentang Etika Bisnis

Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menjelaskan bahwa mencari nafkah dengan cara halal merupakan bagian dari ibadah. Ibn Qayyim al-Jawziyyah menegaskan bahwa muamalah harus berlandaskan keadilan dan kemaslahatan. Dengan demikian, keuntungan dalam Islam bukanlah tujuan utama, melainkan sarana untuk menghadirkan manfaat yang lebih luas.

 

Strategi UMKM Naik Kelas Berbasis Ekonomi Islam

Agar UMKM dapat berkembang secara berkelanjutan, beberapa strategi berikut dapat diterapkan:

1.     Menjamin kehalalan produk dan proses usaha

2.     Mengelola keuangan secara syariah dan transparan

3.     Menjunjung kejujuran serta keterbukaan informasi

4.     Meningkatkan kualitas produk dan profesionalisme kerja

5.     Menguatkan tanggung jawab sosial kepada masyarakat

Strategi ini membantu UMKM membangun kepercayaan pasar sekaligus menjaga nilai-nilai syariah.

 

Niat dan Etos Kerja Islami dalam Dunia Usaha

Keberhasilan usaha tidak hanya ditentukan oleh strategi, tetapi juga oleh niat pelaku usaha. Rasulullah ? bersabda:
“Sesungguhnya setiap amal tergantung pada niatnya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Niat yang lurus akan melahirkan etos kerja islami seperti amanah, disiplin, kerja keras, dan istiqamah, sehingga usaha tidak hanya tumbuh secara ekonomi, tetapi juga bernilai ibadah.

 

Kesimpulan

UMKM yang ingin naik kelas perlu memadukan profesionalisme bisnis dengan nilai-nilai ekonomi Islam. Kehalalan usaha, kejujuran, kualitas kerja, serta kepedulian sosial merupakan kunci keberhasilan yang berkelanjutan. Ketika bisnis dijalankan dengan niat ibadah dan etos kerja islami, usaha tersebut tidak hanya menghasilkan keuntungan materi, tetapi juga mendatangkan ketenangan dan keberkahan.

 

17/12/2025 | Kontributor: Yessi Ade Lia Putri
Ketika Tubuh Berbicara: Pentingnya Menjaga Kesehatan sebagai Amanah dalam Islam

Dalam kesibukan hidup modern, manusia sering kali baru menyadari pentingnya kesehatan ketika tubuh mulai “berbicara”. Rasa lelah yang berkepanjangan, sakit yang datang berulang, atau emosi yang tidak stabil sering dianggap sepele hingga akhirnya mengganggu ibadah, pekerjaan, dan hubungan sosial. Islam memandang tubuh bukan sekadar alat untuk menjalani kehidupan, tetapi sebagai amanah dari Allah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban.

Tubuh sebagai Amanah dari Allah

Islam menegaskan bahwa segala yang dimiliki manusia adalah titipan Allah, termasuk tubuh. Allah berfirman:

“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban.”
(QS. Al-Isra: 36)

Ayat ini menegaskan bahwa tubuh bukan milik mutlak manusia. Para ulama menjelaskan bahwa menjaga kesehatan termasuk bagian dari menjaga amanah tersebut. Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menyebut tubuh sebagai “kendaraan” bagi ruh. Jika kendaraan itu rusak karena kelalaian, maka ibadah dan ketaatan pun akan terhambat.

Kesehatan sebagai Nikmat yang Sering Diabaikan

Rasulullah ? mengingatkan umatnya agar tidak meremehkan nikmat sehat. Beliau bersabda:

“Ada dua nikmat yang banyak manusia tertipu di dalamnya: kesehatan dan waktu luang.”
(HR. Bukhari)

Hadits ini menunjukkan bahwa kesehatan sering baru disadari nilainya ketika sudah hilang. Islam mendorong umatnya untuk bersyukur atas nikmat sehat, dan salah satu bentuk syukur tersebut adalah dengan menjaganya secara sadar dan bertanggung jawab.

Menjaga Kesehatan sebagai Bagian dari Ibadah

Dalam Islam, ibadah tidak hanya terbatas pada shalat dan puasa. Setiap aktivitas yang diniatkan untuk menaati Allah bernilai ibadah, termasuk menjaga kesehatan. Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah menjelaskan bahwa menjaga tubuh agar tetap sehat merupakan bagian dari tujuan syariat, khususnya dalam menjaga jiwa (hifz an-nafs).

Rasulullah ? juga bersabda:

“Sesungguhnya tubuhmu memiliki hak atasmu.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menegaskan pentingnya keseimbangan antara ibadah dan pemenuhan hak tubuh, seperti istirahat, makan yang cukup, dan tidak memaksakan diri.

Panduan Islam dalam Menjaga Kesehatan

Islam memberikan panduan praktis yang relevan sepanjang zaman. Allah berfirman:

“Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan.”
(QS. Al-A’raf: 31)

Prinsip ini menegaskan pentingnya pola makan seimbang. Selain itu, kebersihan menjadi fondasi kesehatan, sebagaimana sabda Rasulullah ?: “Kebersihan adalah sebagian dari iman.” Islam juga mendorong aktivitas fisik dan menjaga kesehatan mental melalui dzikir, doa, dan tawakal, karena ketenangan hati berpengaruh besar terhadap kondisi tubuh.

Ketika Tubuh Berbicara: Dengarkan dan Bertindak

Lelah berkepanjangan, sakit berulang, dan stres adalah sinyal yang tidak boleh diabaikan. Allah berfirman:

“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.”
(QS. Al-Baqarah: 195)

Mengabaikan kesehatan berarti mengabaikan amanah. Seorang Muslim diajarkan untuk peka terhadap kondisi tubuh, beristirahat saat lelah, dan berikhtiar ketika sakit.

Kesimpulan

Menjaga kesehatan dalam Islam bukanlah urusan sampingan, melainkan bagian dari amanah dan bentuk nyata ketaatan kepada Allah. Tubuh yang sehat memungkinkan seseorang beribadah dengan lebih khusyuk, bekerja dengan optimal, serta memberi manfaat bagi orang lain. Al-Qur’an, hadits, dan pandangan para ulama menegaskan bahwa merawat jasmani dan rohani adalah wujud syukur atas nikmat Allah. Ketika tubuh mulai “berbicara”, Islam mengajarkan kita untuk mendengarkan, memperbaiki gaya hidup, dan menjaga diri agar tetap berada dalam jalan kebaikan yang diridhai-Nya.

 

16/12/2025 | Kontributor: Yessi Ade Lia Putri
Bangkit Tanpa Menunggu Sempurna: Kekuatan Tawakal dalam Mengubah Hidup

Dalam perjalanan hidup, banyak orang enggan melangkah karena takut salah, gagal, atau merasa belum cukup baik. Rasa ragu ini sering membuat seseorang menunda keputusan dan menunggu kondisi ideal yang tak kunjung datang. Padahal dalam Islam, Allah tidak pernah menuntut hamba-Nya untuk menjadi sempurna sebelum memulai. Yang Allah minta adalah usaha terbaik, lalu bersandar sepenuhnya kepada-Nya. Sikap inilah yang disebut tawakal.

Makna Tawakal dalam Islam

Secara bahasa, tawakal berarti bersandar sepenuhnya. Sedangkan menurut istilah, tawakal adalah mengambil sebab dengan maksimal lalu menyerahkan hasil sepenuhnya kepada Allah. Ibnul Qayyim menyebut tawakal sebagai separuh agama, sementara separuh lainnya adalah kembali kepada Allah. Imam Ahmad menegaskan bahwa tawakal adalah amal hati, bukan sekadar ucapan. Ini menunjukkan bahwa tawakal bukan pasrah tanpa usaha, melainkan keyakinan yang disertai ikhtiar.

Dalil Al-Qur’an tentang Kekuatan Tawakal

Al-Qur’an menempatkan tawakal sebagai sumber kekuatan hidup. Allah mencintai orang-orang yang bertawakal dan menjanjikan jalan keluar serta rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka bagi mereka yang bertakwa dan berserah diri kepada-Nya. Tawakal bukan hanya menenangkan hati, tetapi juga membuka pertolongan Allah dalam kehidupan nyata.

Hadits Nabi tentang Tawakal dan Usaha

Rasulullah SAW menjelaskan tawakal melalui perumpamaan burung yang pergi pagi hari dalam keadaan lapar dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang. Burung tidak menunggu rezeki datang, tetapi bergerak dan berusaha. Hadits ini menegaskan bahwa tawakal harus selalu berjalan seiring dengan usaha.

Pandangan Ulama tentang Tawakal

Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa usaha adalah bentuk ketaatan, sedangkan tawakal adalah penyerahan hati. Ibnu Taymiyyah menyatakan bahwa orang yang bertawakal tidak takut miskin dan tidak takut gagal, karena keyakinannya hanya tertuju kepada Allah. Tawakal memberi keberanian untuk memulai meski diri belum sempurna.

Mengapa Kita Harus Bangkit Tanpa Menunggu Sempurna

Banyak orang terjebak pada keinginan untuk menunggu kesiapan yang sempurna. Islam menolak cara berpikir ini. Tidak perlu menunggu mental kuat, kemampuan tinggi, atau keadaan ideal. Allah hanya meminta manusia untuk mulai melangkah, mengambil sebab terbaik, dan menyerahkan hasil kepada-Nya.

Kesimpulan

Tawakal adalah kekuatan yang membuat seseorang berani bangkit tanpa harus menunggu sempurna. Dengan tawakal, hati menjadi lebih tenang dan langkah terasa lebih ringan. Tawakal mengajarkan bahwa tugas manusia adalah berusaha sebaik mungkin, sementara hasil sepenuhnya berada dalam kuasa Allah. Sebagai wujud nyata pengamalan tawakal, kita diajak untuk memperbanyak amal kebaikan, salah satunya melalui sedekah. Memberi dengan ikhlas adalah bentuk keyakinan bahwa Allah tidak akan mengurangi rezeki, melainkan melipatgandakannya. Semoga dengan bertawakal dan membiasakan diri bersedekah, hidup kita dipenuhi keberkahan, dilapangkan rezeki, dan dikuatkan hati untuk terus bangkit.

 

15/12/2025 | Kontributor: Yessi Ade Lia Putri
Belajar Bukan Sekadar Hafalan: Menemukan Makna Ilmu Menurut Perspektif Islam

Belajar dalam Islam bukan hanya soal mengumpulkan informasi atau menghafal kalimat tanpa makna. Ilmu dalam pandangan Islam adalah cahaya yang membimbing hati, menuntun akhlak, dan mengarahkan seseorang menuju kedekatan dengan Allah. Karena itu, proses belajar yang ideal menurut Islam bukanlah sekadar memenuhi pikiran, melainkan proses yang menghidupkan hati dan menumbuhkan amal saleh.

1. Kedudukan Ilmu dalam Islam

Ilmu memiliki kedudukan yang sangat mulia. Allah berfirman:

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan yang diberi ilmu beberapa derajat.”
(QS. Al-Muj?dilah: 11)

Ayat ini menunjukkan bahwa ilmu bukan hanya dimiliki, tetapi diamalkan. Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menegaskan bahwa ilmu yang tidak mendorong seseorang untuk melakukan amal saleh adalah ilmu yang tidak bermanfaat.

Hal ini sejalan dengan firman Allah:

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah hanyalah ulama.”
(QS. F?thir: 28)

Maknanya, ilmu sejati harus menumbuhkan rasa takut, tunduk, dan cinta kepada Allah.

2. Belajar Tidak Hanya Menghafal

Walaupun menghafal memiliki nilai dalam Islam, terutama terkait Al-Qur’an, para ulama sejak dahulu menekankan bahwa pemahaman lebih utama daripada hafalan.

Rasulullah ? bersabda:

“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan, maka Allah jadikan ia paham agama.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Nabi tidak mengatakan menghafal agama, melainkan memahami agama.

Imam Malik berkata:

“Ilmu itu bukan banyaknya riwayat, namun cahaya yang Allah letakkan dalam hati.”

Demikian pula Ibnul Qayyim menegaskan bahwa ilmu yang tidak menghasilkan amal ibarat pohon tanpa buah—terlihat besar, tetapi tidak memberi manfaat.

3. Ilmu sebagai Renungan dan Amalan

Al-Qur’an berkali-kali mengajak manusia untuk merenungkan dan memahami, bukan hanya membaca.

“Maka apakah mereka tidak merenungkan Al-Qur’an?”
(QS. An-Nis?’: 82)

Belajar dalam Islam harus membuat seseorang lebih peka terhadap hikmah kehidupan, lebih bijak, dan lebih berakhlak.

Imam Nawawi menambahkan bahwa menuntut ilmu adalah ibadah terbesar setelah ibadah wajib, menunjukkan bahwa belajar adalah amal besar jika diniatkan karena Allah.

4. Aksi Nyata Menjadikan Belajar Bermakna

Agar belajar tidak berhenti pada hafalan, berikut langkah nyata yang dapat dilakukan:

1.     Meluruskan niat — belajar untuk mencari ridha Allah, bukan popularitas.

2.     Fokus pada pemahaman — gunakan catatan, diskusi, atau peta konsep.

3.     Menghubungkan ilmu dengan kehidupan — renungkan bagaimana ilmu dapat memperbaiki diri.

4.     Mengamalkan ilmu sedikit demi sedikit — ilmu tanpa praktik hanyalah teori kosong.

5.     Mengajarkan kepada orang lain — karena mengajar memperkuat pemahaman.

6.     Menjaga adab penuntut ilmu — rendah hati, menghormati guru, dan menghindari perdebatan sia-sia.

7.     Evaluasi harian — tulis apa yang dipelajari dan bagaimana akan diamalkan.

 

Kesimpulan

Belajar dalam Islam bukan tentang seberapa banyak hafalan yang kita miliki, tetapi seberapa dalam ilmu itu mengubah hati dan kehidupan kita. Al-Qur’an dan hadits, serta pandangan ulama besar, sepakat bahwa ilmu harus melahirkan pemahaman, akhlak, dan amal.

Ilmu yang tidak dipahami hanya menjadi beban, tetapi ilmu yang diamalkan akan menjadi cahaya yang membimbing hidup hingga akhirat.

Semoga kita menjadi penuntut ilmu yang bukan hanya cerdas secara akademik, tetapi juga bijaksana, berakhlak mulia, dan dekat dengan Allah.

 

12/12/2025 | Kontributor: Yessi Ade Lia Putri

Artikel Terbaru

Menghidupkan Kembali Empati: Tantangan Akhlak di Era Modern dalam Pandangan Islam
Menghidupkan Kembali Empati: Tantangan Akhlak di Era Modern dalam Pandangan Islam
Perkembangan zaman modern membawa berbagai kemudahan dalam kehidupan manusia. Kemajuan teknologi, media sosial, dan globalisasi telah mempercepat arus informasi serta memperluas interaksi antarindividu. Namun, di balik manfaat tersebut, muncul tantangan serius dalam aspek akhlak, salah satunya adalah melemahnya empati. Sikap individualistis, minim kepedulian terhadap penderitaan orang lain, serta mudahnya melontarkan ujaran kebencian menjadi fenomena yang semakin sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Dalam Islam, empati bukan sekadar nilai sosial, melainkan bagian dari akhlak mulia (akhlaq al-karimah) yang mencerminkan kualitas iman seseorang. Seorang Muslim tidak hanya dituntut untuk taat dalam ibadah ritual, tetapi juga memiliki kepedulian dan kepekaan sosial terhadap sesama manusia. Konsep Empati dalam Islam Empati dalam Islam berkaitan erat dengan konsep rahmah (kasih sayang), ta’awun (tolong-menolong), dan ukhuwah (persaudaraan). Seorang Muslim dianjurkan untuk mampu merasakan kesulitan orang lain dan terdorong untuk membantu sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Empati tidak berhenti pada rasa iba, tetapi harus diwujudkan dalam sikap dan tindakan nyata yang membawa manfaat. Dalil Al-Qur’an dan Hadits Al-Qur’an menegaskan bahwa Islam adalah agama yang dibangun di atas kasih sayang. Allah SWT berfirman: “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad), melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiya’: 107) Ayat ini menunjukkan bahwa teladan Rasulullah ? adalah rahmat dan kepedulian universal. Allah juga memerintahkan umat manusia untuk saling menolong dalam kebaikan: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan takwa.” (QS. Al-Ma’idah: 2) Rasulullah ? pun menegaskan pentingnya empati melalui sabdanya: “Tidak beriman salah seorang di antara kalian hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim) Hadits ini menunjukkan bahwa empati merupakan indikator kesempurnaan iman. Pandangan Ulama Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menjelaskan bahwa hati yang lembut dan peduli terhadap sesama merupakan tanda kedekatan seorang hamba dengan Allah. Kerasnya hati dan ketidakpedulian sosial, menurut beliau, adalah penyakit rohani yang harus diobati. Ibn Qayyim Al-Jauziyyah menegaskan bahwa kasih sayang adalah inti syariat Islam. Sementara Imam An-Nawawi menekankan bahwa mencintai kebaikan bagi orang lain merupakan prinsip dasar akhlak yang harus diwujudkan dalam kehidupan nyata. Tantangan dan Aksi Nyata Empati di era modern menghadapi tantangan berupa individualisme, kesibukan hidup, serta pengaruh negatif media sosial. Oleh karena itu, empati perlu dihidupkan kembali melalui tindakan sederhana seperti menjaga lisan dan tulisan, membantu sesama, memperkuat silaturahmi, serta aktif dalam kegiatan sosial dan keagamaan. Kesimpulan Empati adalah fondasi penting dalam akhlak Islam yang berlandaskan kasih sayang dan kepedulian sosial. Al-Qur’an, hadits, dan pandangan para ulama telah memberikan panduan jelas bahwa iman sejati harus tercermin dalam sikap peduli terhadap sesama. Di tengah tantangan era modern, setiap Muslim memiliki tanggung jawab untuk menghidupkan kembali empati melalui amal nyata.
ARTIKEL17/12/2025 | Yessi Ade Lia Putri
UMKM Naik Kelas: Strategi Bisnis Halal dan Berkah Menurut Prinsip Ekonomi Islam
UMKM Naik Kelas: Strategi Bisnis Halal dan Berkah Menurut Prinsip Ekonomi Islam
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) memiliki peran penting dalam menggerakkan perekonomian masyarakat. Selain menjadi sumber penghidupan bagi banyak keluarga, UMKM juga berkontribusi besar dalam menciptakan lapangan kerja dan memperkuat ekonomi umat. Namun, tantangan UMKM saat ini bukan hanya bertahan, melainkan mampu naik kelas menjadi usaha yang profesional, berdaya saing, dan berkelanjutan. Dalam perspektif Islam, kegiatan bisnis tidak semata-mata berorientasi pada keuntungan materi. Islam mengajarkan bahwa usaha harus dijalankan secara halal dan penuh keberkahan agar membawa kebaikan bagi pelaku usaha dan masyarakat. Konsep Bisnis Halal dan Berkah dalam Islam Bisnis halal dalam Islam mencakup seluruh proses usaha, mulai dari sumber modal, bahan baku, proses produksi, hingga distribusi. Usaha yang terbebas dari unsur riba, penipuan, dan ketidakjelasan akan menghadirkan ketenangan batin serta kepercayaan konsumen. Allah SWT berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah dari rezeki yang baik yang telah Kami berikan kepadamu.” (QS. Al-Baqarah: 172) Ayat ini menegaskan bahwa rezeki yang halal dan baik menjadi fondasi utama dalam aktivitas ekonomi seorang Muslim. Landasan Al-Qur’an dan Hadits dalam Aktivitas Usaha Islam memberikan panduan tegas terkait etika bisnis. Salah satu prinsip utamanya adalah larangan riba serta keharusan berlaku jujur dalam transaksi. Rasulullah ? bersabda: “Pedagang yang jujur dan amanah akan bersama para nabi, orang-orang shiddiq, dan para syuhada.” (HR. At-Tirmidzi) Hadits ini menunjukkan bahwa kejujuran dalam bisnis memiliki kedudukan mulia di sisi Allah. Pandangan Ulama tentang Etika Bisnis Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menjelaskan bahwa mencari nafkah dengan cara halal merupakan bagian dari ibadah. Ibn Qayyim al-Jawziyyah menegaskan bahwa muamalah harus berlandaskan keadilan dan kemaslahatan. Dengan demikian, keuntungan dalam Islam bukanlah tujuan utama, melainkan sarana untuk menghadirkan manfaat yang lebih luas. Strategi UMKM Naik Kelas Berbasis Ekonomi Islam Agar UMKM dapat berkembang secara berkelanjutan, beberapa strategi berikut dapat diterapkan: 1. Menjamin kehalalan produk dan proses usaha 2. Mengelola keuangan secara syariah dan transparan 3. Menjunjung kejujuran serta keterbukaan informasi 4. Meningkatkan kualitas produk dan profesionalisme kerja 5. Menguatkan tanggung jawab sosial kepada masyarakat Strategi ini membantu UMKM membangun kepercayaan pasar sekaligus menjaga nilai-nilai syariah. Niat dan Etos Kerja Islami dalam Dunia Usaha Keberhasilan usaha tidak hanya ditentukan oleh strategi, tetapi juga oleh niat pelaku usaha. Rasulullah ? bersabda: “Sesungguhnya setiap amal tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim) Niat yang lurus akan melahirkan etos kerja islami seperti amanah, disiplin, kerja keras, dan istiqamah, sehingga usaha tidak hanya tumbuh secara ekonomi, tetapi juga bernilai ibadah. Kesimpulan UMKM yang ingin naik kelas perlu memadukan profesionalisme bisnis dengan nilai-nilai ekonomi Islam. Kehalalan usaha, kejujuran, kualitas kerja, serta kepedulian sosial merupakan kunci keberhasilan yang berkelanjutan. Ketika bisnis dijalankan dengan niat ibadah dan etos kerja islami, usaha tersebut tidak hanya menghasilkan keuntungan materi, tetapi juga mendatangkan ketenangan dan keberkahan.
ARTIKEL17/12/2025 | Yessi Ade Lia Putri
Ketika Tubuh Berbicara: Pentingnya Menjaga Kesehatan sebagai Amanah dalam Islam
Ketika Tubuh Berbicara: Pentingnya Menjaga Kesehatan sebagai Amanah dalam Islam
Dalam kesibukan hidup modern, manusia sering kali baru menyadari pentingnya kesehatan ketika tubuh mulai “berbicara”. Rasa lelah yang berkepanjangan, sakit yang datang berulang, atau emosi yang tidak stabil sering dianggap sepele hingga akhirnya mengganggu ibadah, pekerjaan, dan hubungan sosial. Islam memandang tubuh bukan sekadar alat untuk menjalani kehidupan, tetapi sebagai amanah dari Allah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Tubuh sebagai Amanah dari Allah Islam menegaskan bahwa segala yang dimiliki manusia adalah titipan Allah, termasuk tubuh. Allah berfirman: “Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban.” (QS. Al-Isra: 36) Ayat ini menegaskan bahwa tubuh bukan milik mutlak manusia. Para ulama menjelaskan bahwa menjaga kesehatan termasuk bagian dari menjaga amanah tersebut. Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menyebut tubuh sebagai “kendaraan” bagi ruh. Jika kendaraan itu rusak karena kelalaian, maka ibadah dan ketaatan pun akan terhambat. Kesehatan sebagai Nikmat yang Sering Diabaikan Rasulullah ? mengingatkan umatnya agar tidak meremehkan nikmat sehat. Beliau bersabda: “Ada dua nikmat yang banyak manusia tertipu di dalamnya: kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari) Hadits ini menunjukkan bahwa kesehatan sering baru disadari nilainya ketika sudah hilang. Islam mendorong umatnya untuk bersyukur atas nikmat sehat, dan salah satu bentuk syukur tersebut adalah dengan menjaganya secara sadar dan bertanggung jawab. Menjaga Kesehatan sebagai Bagian dari Ibadah Dalam Islam, ibadah tidak hanya terbatas pada shalat dan puasa. Setiap aktivitas yang diniatkan untuk menaati Allah bernilai ibadah, termasuk menjaga kesehatan. Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah menjelaskan bahwa menjaga tubuh agar tetap sehat merupakan bagian dari tujuan syariat, khususnya dalam menjaga jiwa (hifz an-nafs). Rasulullah ? juga bersabda: “Sesungguhnya tubuhmu memiliki hak atasmu.” (HR. Bukhari dan Muslim) Hadits ini menegaskan pentingnya keseimbangan antara ibadah dan pemenuhan hak tubuh, seperti istirahat, makan yang cukup, dan tidak memaksakan diri. Panduan Islam dalam Menjaga Kesehatan Islam memberikan panduan praktis yang relevan sepanjang zaman. Allah berfirman: “Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan.” (QS. Al-A’raf: 31) Prinsip ini menegaskan pentingnya pola makan seimbang. Selain itu, kebersihan menjadi fondasi kesehatan, sebagaimana sabda Rasulullah ?: “Kebersihan adalah sebagian dari iman.” Islam juga mendorong aktivitas fisik dan menjaga kesehatan mental melalui dzikir, doa, dan tawakal, karena ketenangan hati berpengaruh besar terhadap kondisi tubuh. Ketika Tubuh Berbicara: Dengarkan dan Bertindak Lelah berkepanjangan, sakit berulang, dan stres adalah sinyal yang tidak boleh diabaikan. Allah berfirman: “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” (QS. Al-Baqarah: 195) Mengabaikan kesehatan berarti mengabaikan amanah. Seorang Muslim diajarkan untuk peka terhadap kondisi tubuh, beristirahat saat lelah, dan berikhtiar ketika sakit. Kesimpulan Menjaga kesehatan dalam Islam bukanlah urusan sampingan, melainkan bagian dari amanah dan bentuk nyata ketaatan kepada Allah. Tubuh yang sehat memungkinkan seseorang beribadah dengan lebih khusyuk, bekerja dengan optimal, serta memberi manfaat bagi orang lain. Al-Qur’an, hadits, dan pandangan para ulama menegaskan bahwa merawat jasmani dan rohani adalah wujud syukur atas nikmat Allah. Ketika tubuh mulai “berbicara”, Islam mengajarkan kita untuk mendengarkan, memperbaiki gaya hidup, dan menjaga diri agar tetap berada dalam jalan kebaikan yang diridhai-Nya.
ARTIKEL16/12/2025 | Yessi Ade Lia Putri
Bangkit Tanpa Menunggu Sempurna: Kekuatan Tawakal dalam Mengubah Hidup
Bangkit Tanpa Menunggu Sempurna: Kekuatan Tawakal dalam Mengubah Hidup
Dalam perjalanan hidup, banyak orang enggan melangkah karena takut salah, gagal, atau merasa belum cukup baik. Rasa ragu ini sering membuat seseorang menunda keputusan dan menunggu kondisi ideal yang tak kunjung datang. Padahal dalam Islam, Allah tidak pernah menuntut hamba-Nya untuk menjadi sempurna sebelum memulai. Yang Allah minta adalah usaha terbaik, lalu bersandar sepenuhnya kepada-Nya. Sikap inilah yang disebut tawakal. Makna Tawakal dalam Islam Secara bahasa, tawakal berarti bersandar sepenuhnya. Sedangkan menurut istilah, tawakal adalah mengambil sebab dengan maksimal lalu menyerahkan hasil sepenuhnya kepada Allah. Ibnul Qayyim menyebut tawakal sebagai separuh agama, sementara separuh lainnya adalah kembali kepada Allah. Imam Ahmad menegaskan bahwa tawakal adalah amal hati, bukan sekadar ucapan. Ini menunjukkan bahwa tawakal bukan pasrah tanpa usaha, melainkan keyakinan yang disertai ikhtiar. Dalil Al-Qur’an tentang Kekuatan Tawakal Al-Qur’an menempatkan tawakal sebagai sumber kekuatan hidup. Allah mencintai orang-orang yang bertawakal dan menjanjikan jalan keluar serta rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka bagi mereka yang bertakwa dan berserah diri kepada-Nya. Tawakal bukan hanya menenangkan hati, tetapi juga membuka pertolongan Allah dalam kehidupan nyata. Hadits Nabi tentang Tawakal dan Usaha Rasulullah SAW menjelaskan tawakal melalui perumpamaan burung yang pergi pagi hari dalam keadaan lapar dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang. Burung tidak menunggu rezeki datang, tetapi bergerak dan berusaha. Hadits ini menegaskan bahwa tawakal harus selalu berjalan seiring dengan usaha. Pandangan Ulama tentang Tawakal Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa usaha adalah bentuk ketaatan, sedangkan tawakal adalah penyerahan hati. Ibnu Taymiyyah menyatakan bahwa orang yang bertawakal tidak takut miskin dan tidak takut gagal, karena keyakinannya hanya tertuju kepada Allah. Tawakal memberi keberanian untuk memulai meski diri belum sempurna. Mengapa Kita Harus Bangkit Tanpa Menunggu Sempurna Banyak orang terjebak pada keinginan untuk menunggu kesiapan yang sempurna. Islam menolak cara berpikir ini. Tidak perlu menunggu mental kuat, kemampuan tinggi, atau keadaan ideal. Allah hanya meminta manusia untuk mulai melangkah, mengambil sebab terbaik, dan menyerahkan hasil kepada-Nya. Kesimpulan Tawakal adalah kekuatan yang membuat seseorang berani bangkit tanpa harus menunggu sempurna. Dengan tawakal, hati menjadi lebih tenang dan langkah terasa lebih ringan. Tawakal mengajarkan bahwa tugas manusia adalah berusaha sebaik mungkin, sementara hasil sepenuhnya berada dalam kuasa Allah. Sebagai wujud nyata pengamalan tawakal, kita diajak untuk memperbanyak amal kebaikan, salah satunya melalui sedekah. Memberi dengan ikhlas adalah bentuk keyakinan bahwa Allah tidak akan mengurangi rezeki, melainkan melipatgandakannya. Semoga dengan bertawakal dan membiasakan diri bersedekah, hidup kita dipenuhi keberkahan, dilapangkan rezeki, dan dikuatkan hati untuk terus bangkit.
ARTIKEL15/12/2025 | Yessi Ade Lia Putri
Belajar Bukan Sekadar Hafalan: Menemukan Makna Ilmu Menurut Perspektif Islam
Belajar Bukan Sekadar Hafalan: Menemukan Makna Ilmu Menurut Perspektif Islam
Belajar dalam Islam bukan hanya soal mengumpulkan informasi atau menghafal kalimat tanpa makna. Ilmu dalam pandangan Islam adalah cahaya yang membimbing hati, menuntun akhlak, dan mengarahkan seseorang menuju kedekatan dengan Allah. Karena itu, proses belajar yang ideal menurut Islam bukanlah sekadar memenuhi pikiran, melainkan proses yang menghidupkan hati dan menumbuhkan amal saleh. 1. Kedudukan Ilmu dalam Islam Ilmu memiliki kedudukan yang sangat mulia. Allah berfirman: “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Muj?dilah: 11) Ayat ini menunjukkan bahwa ilmu bukan hanya dimiliki, tetapi diamalkan. Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menegaskan bahwa ilmu yang tidak mendorong seseorang untuk melakukan amal saleh adalah ilmu yang tidak bermanfaat. Hal ini sejalan dengan firman Allah: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah hanyalah ulama.” (QS. F?thir: 28) Maknanya, ilmu sejati harus menumbuhkan rasa takut, tunduk, dan cinta kepada Allah. 2. Belajar Tidak Hanya Menghafal Walaupun menghafal memiliki nilai dalam Islam, terutama terkait Al-Qur’an, para ulama sejak dahulu menekankan bahwa pemahaman lebih utama daripada hafalan. Rasulullah ? bersabda: “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan, maka Allah jadikan ia paham agama.” (HR. Bukhari dan Muslim) Nabi tidak mengatakan menghafal agama, melainkan memahami agama. Imam Malik berkata: “Ilmu itu bukan banyaknya riwayat, namun cahaya yang Allah letakkan dalam hati.” Demikian pula Ibnul Qayyim menegaskan bahwa ilmu yang tidak menghasilkan amal ibarat pohon tanpa buah—terlihat besar, tetapi tidak memberi manfaat. 3. Ilmu sebagai Renungan dan Amalan Al-Qur’an berkali-kali mengajak manusia untuk merenungkan dan memahami, bukan hanya membaca. “Maka apakah mereka tidak merenungkan Al-Qur’an?” (QS. An-Nis?’: 82) Belajar dalam Islam harus membuat seseorang lebih peka terhadap hikmah kehidupan, lebih bijak, dan lebih berakhlak. Imam Nawawi menambahkan bahwa menuntut ilmu adalah ibadah terbesar setelah ibadah wajib, menunjukkan bahwa belajar adalah amal besar jika diniatkan karena Allah. 4. Aksi Nyata Menjadikan Belajar Bermakna Agar belajar tidak berhenti pada hafalan, berikut langkah nyata yang dapat dilakukan: 1. Meluruskan niat — belajar untuk mencari ridha Allah, bukan popularitas. 2. Fokus pada pemahaman — gunakan catatan, diskusi, atau peta konsep. 3. Menghubungkan ilmu dengan kehidupan — renungkan bagaimana ilmu dapat memperbaiki diri. 4. Mengamalkan ilmu sedikit demi sedikit — ilmu tanpa praktik hanyalah teori kosong. 5. Mengajarkan kepada orang lain — karena mengajar memperkuat pemahaman. 6. Menjaga adab penuntut ilmu — rendah hati, menghormati guru, dan menghindari perdebatan sia-sia. 7. Evaluasi harian — tulis apa yang dipelajari dan bagaimana akan diamalkan. Kesimpulan Belajar dalam Islam bukan tentang seberapa banyak hafalan yang kita miliki, tetapi seberapa dalam ilmu itu mengubah hati dan kehidupan kita. Al-Qur’an dan hadits, serta pandangan ulama besar, sepakat bahwa ilmu harus melahirkan pemahaman, akhlak, dan amal. Ilmu yang tidak dipahami hanya menjadi beban, tetapi ilmu yang diamalkan akan menjadi cahaya yang membimbing hidup hingga akhirat. Semoga kita menjadi penuntut ilmu yang bukan hanya cerdas secara akademik, tetapi juga bijaksana, berakhlak mulia, dan dekat dengan Allah.
ARTIKEL12/12/2025 | Yessi Ade Lia Putri
Jika Hari Ini Terasa Berat, Ingatlah Kamu Pernah Menang Kemarin
Jika Hari Ini Terasa Berat, Ingatlah Kamu Pernah Menang Kemarin
Hidup tidak selalu berjalan seperti yang kita harapkan. Ada hari-hari ketika dada sesak, kepala penuh, langkah terasa berat, dan hati seolah kehilangan arah. Namun, Islam mengingatkan kita bahwa ujian tidak pernah hadir untuk melemahkan, melainkan untuk menguatkan. Dan ketika hari ini terasa begitu berat, ingatlah satu hal sederhana: kamu sudah pernah menang kemarin. Setiap manusia pernah melewati masa sulit—dan melewatinya. Itu berarti dalam dirimu ada kekuatan, ada daya juang, dan ada pertolongan Allah yang pernah menyelamatkanmu. Maka hari ini pun tidak berbeda. Allah yang menolongmu kemarin adalah Allah yang sama hari ini dan besok. 1. Kesulitan Adalah Bagian dari Takdir Setiap manusia hidup berdampingan dengan ujian. Ada hari-hari ketika hati penuh beban dan langkah terasa berat. Namun Islam mengajarkan bahwa ujian adalah bagian dari perjalanan kita menuju kedewasaan iman. Allah menegaskan dalam QS. Al-Insyirah ayat 5–6: “Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” Ibnu Katsir menjelaskan bahwa satu kesulitan tidak akan mengalahkan dua kemudahan. Artinya, ketika kamu menghadapi kesulitan hari ini, Allah telah menyiapkan kemudahan yang menyertainya. 2. Mengingat Nikmat Allah sebagai Sumber Kekuatan Allah memerintahkan kita untuk mengingat pertolongan-Nya yang telah lalu. Dalam QS. Al-Maidah ayat 7, Allah berfirman: “Dan ingatlah nikmat Allah padamu…” Imam Al-Qurthubi menafsirkan bahwa mengingat nikmat mampu meneguhkan hati. Ketika hari ini berat, ingatlah bahwa kamu pernah melewati masa sulit dan kamu keluar sebagai pemenang. Itu bukan kebetulan—itu tanda bahwa Allah selalu bersamamu. 3. Rasulullah SAW Pun Pernah Mengalami Hari-Hari Berat Perjalanan hidup Rasulullah SAW penuh dengan ujian: ditolak, dihina, disakiti, bahkan diusir. Namun setiap kesulitan selalu diikuti pertolongan Allah. Beliau bersabda: “Ketahuilah bahwa setelah kesabaran ada kemenangan.” (HR. Tirmidzi) Ibnul Qayyim berkata bahwa siapa yang merenungi perjalanan Rasulullah akan yakin bahwa setiap kesulitan pasti membuka pintu kemudahan baru. Jika Rasulullah mampu melewati badai kehidupan, kamu pun bisa melewati harimu yang berat. 4. Allah Tahu Batas Kemampuanmu Ayat paling menenangkan di QS. Al-Baqarah ayat 286 berbunyi: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai kesanggupannya.” Imam As-Sa’di menjelaskan bahwa ujian tidak pernah diberikan melebihi kapasitas seseorang. Jika hari ini terasa berat, itu berarti kamu mampu—meski kamu belum menyadarinya. 5. Menguatkan Hati dengan Doa dan Tawakal Islam memberikan alat-alat spiritual untuk menenangkan jiwa: dzikir, doa, dan tawakal. Rasulullah SAW mengajarkan doa ketika hati berada di titik terendah: “Ya Allah, rahmat-Mu yang aku harapkan. Jangan Engkau biarkan aku bergantung pada diriku sendiri walaupun hanya sekejap mata…” (HR. Abu Dawud) Doa ini mengingatkan bahwa manusia tidak harus kuat sendirian. Karena pertolongan Allah selalu dekat. 6. Aksi Nyata Saat Hari Terasa Berat Agar pesan ini tidak hanya menjadi motivasi, berikut langkah praktis yang bisa dilakukan: Tulis 3 kemenangan masa lalu yang pernah kamu raih. Beristighfar sambil menarik napas tenang selama 3 menit. Baca QS. Al-Insyirah untuk menenangkan hati. Batasi pikiran negatif dengan menyadari bahwa kamu pernah kuat. Bersedekah, sekecil apa pun, untuk membuka pintu ketenangan. Kesimpulan Jika hari ini terasa berat, ingatlah bahwa kamu pernah mengatasi hari-hari yang jauh lebih sulit. Kamu pernah menang kemarin, dan itu adalah bukti kuat bahwa kamu mampu bangkit lagi hari ini. Ujian bukanlah hukuman, melainkan cara Allah mendidik dan meninggikan derajatmu. Bangkitlah dengan mengingat nikmat-Nya, tenangkan hati dengan doa, dan lembutkan jiwa dengan sedekah. Semoga Allah memberi kemudahan, kelapangan, serta keberkahan dalam setiap langkahmu. Aamiin.
ARTIKEL11/12/2025 | Yessi Ade Lia Putri
Menjadi Muslim yang Bijak di Dunia Maya: Bukan Sekadar Viral
Menjadi Muslim yang Bijak di Dunia Maya: Bukan Sekadar Viral
Di era digital, kita hidup dalam dunia yang serba cepat. Informasi beredar hanya dalam hitungan detik, dan setiap orang memiliki kesempatan untuk berbicara kepada publik tanpa batas. Namun, kebebasan ini sering disalahgunakan demi sensasi dan keinginan untuk viral. Islam mengajarkan bahwa setiap ucapan, tulisan, dan tindakan manusia akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah, termasuk aktivitas kita di dunia maya. Dunia digital bukan ruang bebas nilai. Ia adalah bagian dari kehidupan yang tercatat oleh malaikat sebagaimana firman Allah: “Tidak ada suatu kata pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu siap mencatat.” (QS. Qaf: 18) Ayat ini mencakup kata lisan maupun tulisan. Setiap komentar, unggahan, dan pesan menggambarkan siapa diri kita sebenarnya. 1. Media Sosial: Antara Pahala dan Dosa Di media sosial, seseorang dapat dengan mudah berbuat baik atau justru terjerumus pada dosa. Salah satu bentuk dosa besar yang sering terjadi adalah menyebarkan berita tanpa tabayyun. Allah memperingatkan dalam QS. Al-Hujurat ayat 6 agar kita memverifikasi kebenaran setiap informasi sebelum membagikannya. Rasulullah ? juga menekankan pentingnya menjaga ucapan: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari & Muslim) Dalam konteks digital, ini berarti kita harus memastikan setiap unggahan membawa kebaikan, bukan kemudaratan. 2. Bahaya Mengejar Viral Tidak sedikit orang yang berlomba-lomba membuat konten yang mengundang sensasi demi popularitas. Padahal Rasulullah ? mengingatkan bahwa niat adalah dasar diterima atau ditolaknya sebuah amal. “Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari) Mengejar viral untuk ketenaran dapat menjerumuskan seseorang pada riya, sebuah penyakit hati yang sangat berbahaya. Lebih buruk lagi, ada yang membuka aib orang lain demi mendapatkan perhatian. Padahal Allah melarang keras ghibah dalam QS. Al-Hujurat ayat 12 dan Rasulullah ? menjanjikan pahala besar bagi orang yang menutupi aib saudaranya. 3. Etika Muslim Menurut Ulama • Imam Al-Ghazali Beliau menekankan bahwa seluruh anggota tubuh harus dijaga dari perbuatan dosa. Jika diterapkan pada era sekarang, jari dan keyboard pun termasuk yang harus dijaga dari menuliskan keburukan. • Ibn Qayyim Ibn Qayyim menyatakan bahwa setiap ucapan adalah kesaksian hati. Ini berarti unggahan kita mencerminkan akhlak kita. • Syaikh Ibn Utsaimin Beliau menegaskan bahwa menyinggung orang lain melalui tulisan hukumnya sama seperti menyakiti lewat ucapan lisan — keduanya haram. 4. Prinsip Menjadi Muslim Bijak di Dunia Maya 1. Tahan diri sebelum menulis — pikirkan dampaknya. 2. Saring sebelum sharing — verifikasi sebelum menyebarkan informasi. 3. Fokus pada manfaat, bukan popularitas. 4. Tahan emosi saat berdiskusi. 5. Gunakan media sosial sebagai sarana dakwah dan kebaikan. Kesimpulan Menjadi Muslim yang bijak di dunia maya berarti menjadikan setiap aktivitas digital sebagai cermin akhlak kita. Islam telah mengajarkan bahwa ucapan, tulisan, dan tindakan adalah bagian dari identitas iman. Dengan menahan diri dari konten negatif, berhati-hati sebelum menyebarkan informasi, dan menjaga niat agar tetap bersih, kita sedang membangun jejak amal yang akan kita pertanggungjawabkan kelak.
ARTIKEL11/12/2025 | Yessi Ade Lia Putri
Like dan Komentar: Bagaimana Islam Menilai Interaksi Digital?
Like dan Komentar: Bagaimana Islam Menilai Interaksi Digital?
Di era digital, aktivitas jari sering lebih cepat daripada akal dan hati. Satu klik like, satu komentar spontan, atau satu unggahan emosional dapat membentuk persepsi publik, memengaruhi hubungan, bahkan berdampak pada keberkahan hidup. Media sosial memang memperluas ruang komunikasi manusia, namun Islam tetap menjadi kompas moral yang mengatur bagaimana seorang Muslim berinteraksi di dunia maya. Islam tidak memandang like atau komentar sebagai hal kecil. Dalam syariat, segala bentuk tulisan, dukungan, dan interaksi yang berpotensi memengaruhi orang lain tetap termasuk bagian dari ucapan—yang akan dipertanggungjawabkan. Karena itu, semua aktivitas digital harus mengikuti akhlak Qur’ani dan Sunnah. 1. Segala Ucapan Tercatat, Termasuk di Media Sosial Allah berfirman: “Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaf: 18) Imam Ibn Katsir menjelaskan bahwa ayat ini mencakup ucapan lisan maupun tulisan. Dalam konteks modern, termasuk komentar, caption, status, hingga like yang bermakna dukungan. Like pada konten buruk dapat menjadi dosa, sementara komentar baik dapat menjadi amal. 2. Like sebagai Dukungan dalam Pandangan Fikih Allah melarang mendukung keburukan: “Jangan tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.” (QS. Al-Ma’idah: 2) Ulama seperti Syaikh Shalih Al-Munajjid menegaskan bahwa like pada konten maksiat, gosip, atau fitnah termasuk bentuk dukungan. Sebaliknya, like pada konten kebaikan bernilai pahala karena membantu menyebarkan amal saleh. Maka, hukum like bergantung pada isi kontennya. 3. Komentar: Antara Kebaikan dan Dosa Nabi ? bersabda: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari & Muslim) Para ulama menekankan bahwa tulisan termasuk dalam “ucapan”. Komentar dapat menjadi ibadah jika berisi nasihat, motivasi, atau peringatan yang lembut, namun dapat menjadi dosa jika berisi hinaan, sarkasme, provokasi, atau membuka aib. 4. Ghibah dan Fitnah Digital Nabi ? bersabda: “Ghibah adalah engkau menyebutkan tentang saudaramu sesuatu yang ia benci.” (HR. Muslim) Di media sosial, ghibah terjadi lewat komentar atau unggahan yang membicarakan kekurangan seseorang. Fitnah lebih berbahaya karena dapat viral dan mencemarkan nama baik seseorang secara luas. Sebagian ulama menyebutnya “dosa jariyah”—yang terus berjalan selama konten itu tersebar. 5. Jejak Digital: Pahala atau Dosa Mengalir Nabi ? bersabda: “Siapa yang menunjukkan kepada kebaikan, ia mendapat pahala seperti yang melakukannya.” (HR. Muslim) Dan sebaliknya, siapa memulai keburukan akan menanggung dosanya dan dosa orang yang mengikutinya. Media sosial membuat jejak digital menjadi sangat berdampak: satu komentar buruk dapat memicu ribuan kemudaratan, sementara satu unggahan kebaikan bisa menghasilkan pahala tanpa henti. Kesimpulan Interaksi digital dalam Islam bukanlah hal yang sepele. Setiap like, komentar, dan unggahan adalah bentuk ucapan dan dukungan yang dicatat oleh malaikat. Media sosial dapat menjadi ladang pahala jika digunakan untuk menyebarkan kebaikan, namun juga dapat menjadi sumber dosa jika dipakai untuk menyakiti, memprovokasi, atau mendukung kemaksiatan. Seorang Muslim harus berhati-hati, menjaga adab, dan senantiasa menata niat dalam setiap aktivitas digitalnya. Sebagai wujud nyata dari upaya memperbaiki diri, memperbanyak amal kebaikan tetap menjadi langkah yang dianjurkan. Salah satunya melalui sedekah yang membersihkan hati dan mendatangkan keberkahan. Kini sedekah dapat dilakukan dengan sangat mudah melalui lembaga resmi yang aman dan terpercaya. Semoga dengan menjaga etika digital dan rutin beramal, Allah melapangkan rezeki kita, memperbaiki keadaan kita, serta menjadikan semua kebaikan tersebut sebagai pahala jariyah hingga akhirat.
ARTIKEL10/12/2025 | Yessi Ade Lia Putri
Islam Mengajarkan Produktivitas: Mulai dari Bangun Pagi Hingga Pulang Kerja
Islam Mengajarkan Produktivitas: Mulai dari Bangun Pagi Hingga Pulang Kerja
Produktivitas dalam Islam bukan sekadar tentang bekerja keras atau mengejar target duniawi. Islam mengajarkan bahwa setiap detik kehidupan adalah amanah yang harus digunakan dengan baik. Seorang Muslim tidak hanya bekerja untuk mendapatkan rezeki, tetapi juga untuk meraih keberkahan, memperbaiki diri, dan mendekat kepada Allah. Dari bangun pagi hingga pulang kerja, Islam memberikan panduan lengkap yang menuntun manusia pada ritme hidup yang sehat, efektif, dan penuh pahala. 1. Bangun Pagi: Waktu Penuh Keberkahan Islam menganjurkan umatnya untuk memulai hari sejak fajar. Rasulullah SAW bersabda: “Ya Allah, berkahilah umatku pada waktu paginya.” (HR. Abu Dawud) Para ulama seperti Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa waktu pagi adalah saat hati paling tenang, akal paling jernih, dan energi paling optimal. Karena itu, produktivitas yang dimulai dari pagi akan membawa keberkahan dalam pekerjaan sepanjang hari. Aksi Nyata: Bangun sebelum Subuh. Awali pagi dengan dzikir dan membaca Al-Qur’an. Hindari membuka ponsel setelah bangun agar fokus tidak terpecah. 2. Shalat Subuh: Pondasi Fokus dan Ketenangan Hati Allah berfirman: “Dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.” (QS. Al-Ankabut: 45) Shalat Subuh bukan hanya ibadah, tetapi juga pembentuk mental yang kuat. Ibn Qayyim menjelaskan bahwa seseorang yang menjaga Subuh akan dijaga Allah sepanjang harinya, termasuk dalam urusan pekerjaan dan produktivitas. Aksi Nyata: Setelah Subuh, isi waktu dengan aktivitas bermanfaat, bukan tidur kembali. 3. Pagi Hari: Waktu Terbaik untuk Bekerja dan Belajar Allah juga menegaskan: “Dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan.” (QS. An-Naba: 11) Ayat ini menunjukkan bahwa waktu siang, terutama pagi, adalah momentum ideal untuk bergerak, berpikir, dan menyelesaikan tugas yang penting. Imam Ibnu Katsir menafsirkan bahwa siang adalah waktu paling tepat untuk bekerja karena kondisi tubuh berada pada energi terbaiknya. Aksi Nyata: Prioritaskan tugas berat pada pagi hari. Jauhkan distraksi digital saat bekerja. 4. Efisiensi Lebih Penting Daripada Lembur Produktivitas dalam Islam tidak diukur dari lamanya jam bekerja, tetapi dari kualitas dan keberkahannya. Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya tubuhmu memiliki hak atasmu.” (HR. Bukhari) Imam Ibn Taymiyyah menjelaskan bahwa pekerjaan yang sedikit tetapi berkualitas dan diniatkan karena Allah lebih mulia daripada pekerjaan yang banyak tanpa keikhlasan. Aksi Nyata: Niatkan setiap pekerjaan sebagai ibadah. Ambil waktu istirahat untuk menjaga fokus. 5. Adab Produktivitas: Jujur dan Amanah Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menyampaikan amanah kepada yang berhak.” (QS. An-Nisa: 58) Produktivitas dalam Islam juga mencakup kejujuran, ketepatan waktu, dan tidak menunda pekerjaan. Imam Hasan Al-Bashri berkata, “Menunda-nunda adalah kebiasaan yang menghilangkan waktu dan keberkahan.” Aksi Nyata: Gunakan checklist harian. Kerjakan tugas tanpa menunda. Kesimpulan Produktivitas dalam Islam mencerminkan keseimbangan antara ibadah, kerja, dan istirahat. Dengan memulai hari sejak fajar, menjaga shalat, bekerja dengan niat yang lurus, serta menjunjung amanah dan kejujuran, seorang Muslim tidak hanya menjadi pribadi yang efektif tetapi juga hamba yang lebih dekat kepada Allah. Sebagai bentuk pengamalan nilai-nilai produktivitas dan keberkahan, kita pun dianjurkan memperbanyak amal kebaikan—salah satunya dengan bersedekah. Semoga dengan memperbaiki cara kita memanfaatkan waktu dan memperbanyak amal shalih, Allah membuka pintu rezeki, keberkahan, dan pahala yang terus mengalir hingga akhirat. Aamiin.
ARTIKEL10/12/2025 | Yessi Ade Lia Putri
Ketika Dunia Tidak Ramah, Jadilah Rumah untuk Dirimu Sendiri
Ketika Dunia Tidak Ramah, Jadilah Rumah untuk Dirimu Sendiri
Dalam perjalanan hidup, kita sering menemui masa ketika dunia terasa tidak ramah: orang-orang mengecewakan, situasi tidak berjalan sebagaimana harapan, dan hati terasa sesak oleh tekanan. Pada saat seperti itu, banyak orang mencari tempat untuk berlindung, namun lupa bahwa tempat teraman sesungguhnya adalah diri sendiri yang berpegang pada Allah SWT. Islam mengajarkan bahwa ketenangan bukan berasal dari dunia luar, tetapi dari hati yang bersandar kepada Allah, memelihara jiwa, dan merawat pikiran. 1. Dunia Memang Tempat Ujian Dalam perjalanan hidup, setiap manusia pasti melewati masa ketika dunia terasa tidak ramah. Ada hari ketika orang mengecewakan, keadaan tidak sesuai harapan, beban hidup terasa menumpuk, dan hati menjadi letih. Allah telah mengingatkan bahwa dunia adalah tempat ujian, bukan tempat istirahat sepenuhnya. “Dan sungguh akan Kami uji kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan.” (QS. Al-Baqarah: 155) Imam Ibn Katsir menjelaskan bahwa ujian adalah ketetapan Allah bagi setiap hamba. Maka ketika hidup terasa berat, itu bukan tanda kelemahan, tetapi bagian dari proses pendewasaan. 2. Islam Mengajarkan Untuk Menjaga Diri dan Jiwa Islam tidak hanya mengatur ibadah, tetapi juga kesehatan mental dan emosional. Allah memerintahkan hamba-Nya untuk menjaga diri. “Dan janganlah kamu membinasakan dirimu.” (QS. An-Nisa: 29) Imam Al-Qurthubi menafsirkan bahwa membinasakan diri dapat berupa tindakan menyakiti mental: menekan diri berlebihan, merendahkan diri, atau membiarkan hati tenggelam dalam kesedihan. Rasulullah SAW pun menegaskan: “Sesungguhnya dirimu memiliki hak atasmu.” (HR. Bukhari) Termasuk hak untuk istirahat, tenang, dan merawat diri. 3. Ketenangan Tidak Datang dari Dunia, Tetapi dari Allah Banyak orang mencari tempat berlindung, tetapi lupa bahwa ketenangan sejati datang dari hubungan dengan Allah. “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.” (QS. Ar-Ra’d: 28) Imam As-Sa’di menafsirkan bahwa zikir adalah sumber ketenteraman mendalam. Ketika dunia keras, hati yang terhubung dengan Allah tidak mudah goyah. 4. Menjadi Rumah Bagi Diri Sendiri Menjadi “rumah” bagi diri sendiri berarti mampu menenangkan diri saat kacau, memaafkan saat gagal, dan tetap optimis meski dunia meremehkan. Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa hati adalah “raja” yang menggerakkan seluruh diri — jika hati kuat, seluruh aspek kehidupan ikut kuat. Untuk membangun rumah di dalam diri, kita dapat melakukan beberapa langkah sederhana: memperkuat hubungan dengan Allah setiap hari, memperbanyak istighfar, menulis hal-hal yang disyukuri, membatasi interaksi dengan lingkungan toksik, memberi waktu untuk istirahat dan menenangkan pikiran. Kesimpulan Ketika dunia terasa tidak ramah, Islam mengajarkan kita untuk menemukan tempat aman di dalam diri sendiri dengan kembali kepada Allah. Ketenangan lahir dari hati yang dirawat, jiwa yang disucikan, serta iman yang dijaga melalui zikir, doa, dan muhasabah. Dengan memelihara diri, memaafkan kekurangan, dan terus menumbuhkan kebaikan, kita belajar bahwa rumah terbaik bukanlah tempat, melainkan hati yang dekat dengan Allah. Sebagai bentuk syukur atas nikmat ketenangan dan sebagai wujud pengamalan ajaran Islam tentang kepedulian, kita dianjurkan memperbanyak amal kebaikan—termasuk sedekah. Sedekah membuka pintu rezeki, menenangkan hati, dan menjadi sebab turunnya pertolongan Allah. Semoga dengan menjaga hati, merawat diri, dan rajin berbagi, hidup kita diberkahi dengan kelapangan dan ketenangan dari Allah SWT. Aamiin.
ARTIKEL10/12/2025 | Yessi Ade Lia Putri
Rahasia Otak Manusia: Kenapa Kita Sulit Fokus?
Rahasia Otak Manusia: Kenapa Kita Sulit Fokus?
Di era serba cepat seperti sekarang, banyak orang merasa sulit mempertahankan fokus. Notifikasi yang tidak berhenti, beban pikiran, serta gaya hidup yang serba instan membuat otak bekerja lebih keras dari sebelumnya. Namun, kesulitan fokus bukan hanya soal teknis otak—Islam menegaskan bahwa kondisi hati juga sangat mempengaruhinya. 1. Cara Kerja Otak dan Penyebab Distraksi Secara ilmiah, fokus dikendalikan oleh prefrontal cortex, bagian otak yang bertugas mengatur perhatian dan pengambilan keputusan. Ketika terlalu banyak informasi masuk dalam waktu singkat, otak mengalami information overload sehingga sulit berkonsentrasi. Penelitian modern menemukan bahwa kebiasaan multitasking dan konsumsi media sosial merusak kemampuan fokus jangka panjang. Hal ini menyebabkan seseorang bermaksud bekerja sebentar, namun akhirnya menghabiskan banyak waktu tanpa disadari. Dalam Islam, kondisi ini sangat berkaitan dengan hati (qalb). Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya hati itu berbolak-balik lebih cepat daripada pergerakan panci yang mendidih.” (HR. Ahmad) Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa hati adalah pusat perhatian manusia; jika hati gelisah, pikiran pun tidak akan stabil. 2. Distraksi Menurut Perspektif Ulama Para ulama seperti Ibnul Qayyim menyebutkan bahwa kesibukan yang tidak bermanfaat adalah salah satu pintu setan memasuki hati. Dalam Al-Fawaid, beliau menulis: “Di antara pintu terbesar setan masuk ke hati adalah kesibukan yang sia-sia.” Hal ini selaras dengan situasi zaman sekarang, di mana manusia sibuk dengan hal-hal yang menguras perhatian namun tidak memberi nilai nyata bagi hidup. 3. Dalil Al-Qur’an tentang Fokus dan Ketenangan Al-Qur’an memberikan panduan penting terkait perhatian dan ketenangan hati: Tentang kekhusyukan: “Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya.” (QS. Al-Mu’minun: 1–2) Tentang menjauhi kelalaian: “Dan janganlah engkau mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami.” (QS. Al-Kahfi: 28) Tentang ketenangan: “Hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.” (QS. Ar-Ra’d: 28) Ketenangan hati adalah fondasi utama agar otak dapat fokus. 4. Panduan Nabi untuk Melatih Fokus Beberapa hadits memberikan solusi praktis: Konsisten meski sedikit: “Amalan yang paling dicintai Allah adalah yang dilakukan terus-menerus meski sedikit.” (HR. Bukhari-Muslim) Meninggalkan yang tidak bermanfaat: “Termasuk tanda baiknya Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat baginya.” (HR. Tirmidzi) Hadits-hadits ini menjadi dasar penting bagi latihan fokus dalam keseharian. 5. Aksi Nyata Melatih Fokus (Versi Islami) 1. Bangun sebelum Subuh untuk ketenangan pikiran. 2. Perbanyak dzikir dan tilawah setiap hari. 3. Batasi penggunaan gawai; matikan notifikasi. 4. Terapkan prinsip satu tugas, satu waktu. 5. Tulis tujuan harian sebelum memulai aktivitas. 6. Jauhi maksiat karena dosa melemahkan hati. 7. Luangkan waktu 1–2 jam tanpa gangguan untuk pekerjaan penting. Kesimpulan Kesulitan fokus bukan hanya berasal dari pola kerja otak, tetapi juga kondisi hati yang mudah gelisah dan lalai. Islam mengajarkan bahwa ketenangan, dzikir, dan konsistensi amal adalah fondasi kejernihan pikiran. Sementara itu, sains menjelaskan bahwa distraksi digital, multitasking, dan kelelahan membuat otak sulit mempertahankan perhatian. Dengan memadukan tuntunan agama dan ilmu pengetahuan, kita bisa melatih fokus secara seimbang. Jagalah hati dengan dzikir, kurangi hal tidak bermanfaat, atur penggunaan gawai, dan bentuk kebiasaan sederhana namun konsisten. Semoga Allah memberikan ketenangan dalam hati dan kejernihan dalam pikiran agar setiap langkah kita semakin terarah dan penuh keberkahan.
ARTIKEL09/12/2025 | Yessi Ade Lia Putri
Islam Mengajarkan Setiap Kesulitan Pasti Ada Kemudahan — Benarkah?
Islam Mengajarkan Setiap Kesulitan Pasti Ada Kemudahan — Benarkah?
Setiap manusia pernah berada di titik paling berat dalam hidupnya—menghadapi kegagalan, tekanan batin, kehilangan, atau rasa tidak berdaya. Namun, Islam mengajarkan sebuah prinsip besar yang menjadi sumber ketenangan: tidak ada satu pun kesulitan yang Allah ciptakan tanpa menyertakan kemudahan bersamanya. Keyakinan ini bukan hanya motivasi, tetapi janji Allah yang ditegaskan berkali-kali dalam Al-Qur’an dan hadits. 1. Janji Allah dalam Al-Qur’an Allah berfirman dalam Surah Asy-Syarh ayat 5–6: ??????? ???? ????????? ???????. ????? ???? ????????? ??????? “Maka sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.” Ayat ini diulang dua kali sebagai bentuk penegasan. Para ulama seperti Imam Asy-Syafi’i menjelaskan bahwa ketika Allah mengulang sebuah kalimat, itu menunjukkan kepastian dan kekuatan makna. Beliau menyebut bahwa satu kesulitan tidak akan mengalahkan dua kemudahan. Ibnul Qayyim menambahkan bahwa kata al-‘usr (kesulitan) menggunakan huruf “al” yang menunjukkan satu kesulitan tertentu, sedangkan yusr (kemudahan) tidak memakai “al”, menandakan kemudahan yang banyak dan berulang. Artinya, dalam satu ujian selalu ada lebih dari satu bentuk kemudahan. 2. Hadits Nabi: Kemenangan Datang Setelah Kesabaran Rasulullah SAW bersabda: “Ketahuilah bahwa kemenangan datang bersama kesabaran, kelapangan datang bersama kesulitan, dan sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.” (HR. Tirmidzi) Hadits ini menjelaskan bahwa kesabaran bukanlah sikap pasrah, tetapi upaya terus-menerus dengan keyakinan bahwa hasil terbaik akan Allah berikan pada waktu yang tepat. 3. Mengapa Allah Menciptakan Kesulitan? Para ulama menyebutkan beberapa hikmah: Mendidik hati, agar tidak sombong dan kembali pada Allah. Menghapus dosa, sebagaimana hadits yang menyebut bahwa bahkan duri yang menusuk seorang mukmin menghapus kesalahannya. Mengangkat derajat, seperti ujian yang dialami Nabi Yusuf dan Nabi Ayyub. Menunjukkan kuasa Allah, bahwa pertolongan hanya datang dari-Nya. Kesulitan pada dasarnya adalah sarana penyucian jiwa. Ulama tafsir seperti Al-Qurthubi menekankan bahwa kata “ma‘a” (bersama) dalam ayat tersebut menandakan kemudahan hadir seketika, bukan menunggu lama setelah kesulitan selesai. 4. Aksi Nyata: Langkah Praktis Agar Kemudahan Allah Hadir Islam tidak hanya mengajarkan teori, tetapi juga amalan praktis agar seorang mukmin dapat merasakan kemudahan Allah dalam hidupnya: 1. Memperbanyak istighfar Karena dosa dapat menghalangi datangnya pertolongan. 2. Menjaga salat lima waktu Pertolongan terbesar Allah turun kepada hamba yang menjaga salatnya. 3. Bangun tahajud Waktu ketika doa didengar, hati dilapangkan, dan kemudahan dicurahkan. 4. Banyak bersedekah Rasulullah SAW bersabda bahwa sedekah bisa menolak bala, memperluas rezeki, dan membuka pintu kemudahan dalam urusan hidup. 5. Sabar dan tawakal Ketika seseorang menyerahkan hasil kepada Allah, ia akan menemukan ketenangan yang menjadi sumber kemudahan. Kesimpulan Islam mengajarkan dengan sangat jelas bahwa setiap kesulitan pasti dibarengi dengan kemudahan. Allah menegaskan hal ini melalui ayat-ayat Al-Qur’an, diperkuat oleh hadits, dan dijelaskan oleh para ulama bahwa dua kemudahan selalu menyertai satu kesulitan. Ujian hidup bukanlah hukuman, melainkan cara Allah membersihkan hati, menghapus dosa, dan mengangkat derajat hamba-Nya. Sebagai bentuk pengamalan dari keyakinan tersebut, kita dianjurkan memperbanyak amal saleh, khususnya bersedekah, karena sedekah adalah pintu kelapangan, pelebur kesulitan, serta pembuka keberkahan hidup. Semoga dengan memperkuat hubungan dengan Allah melalui doa, salat, sabar, istighfar, dan sedekah, setiap urusan hidup kita dimudahkan dan hati kita selalu dilimpahi ketenangan.
ARTIKEL09/12/2025 | Yessi Ade Lia Putri
Depresi di Usia Remaja: Kenali, Hadapi, dan Bangkit
Depresi di Usia Remaja: Kenali, Hadapi, dan Bangkit
Depresi pada usia remaja menjadi fenomena yang semakin nyata di era modern. Tekanan akademik, perubahan hormon, pergaulan, dan ketidakpastian masa depan membuat remaja rentan mengalami kesedihan berkepanjangan, kehilangan motivasi, bahkan muncul pikiran untuk menyerah. Islam menekankan pentingnya menjaga kesehatan jiwa karena jiwa yang sehat adalah pondasi bagi kehidupan yang seimbang dan produktif. Apa itu Depresi pada Remaja? Depresi adalah gangguan emosional yang ditandai dengan perasaan sedih mendalam, kehilangan minat, dan ketidakmampuan menikmati aktivitas sehari-hari. Menurut WHO, depresi dapat memengaruhi fungsi sosial, akademik, dan hubungan interpersonal remaja. Gejala yang sering muncul meliputi perubahan suasana hati yang ekstrem, hilangnya motivasi, perasaan putus asa atau tidak berharga, gangguan tidur, kesulitan konsentrasi, dan menarik diri dari teman sebaya. Setiap individu dapat mengalami gejala yang berbeda, sehingga pemahaman yang mendalam sangat diperlukan. Penyebab Depresi pada Remaja Beberapa faktor yang umum memicu depresi adalah: Tekanan akademik dan ekspektasi orang tua, yang menimbulkan stres kronis. Masalah keluarga, seperti perceraian atau kurangnya perhatian emosional. Pergaulan dan bullying, termasuk penolakan sosial atau ejekan teman. Perubahan fisik dan hormonal, membuat remaja lebih sensitif terhadap tekanan emosional. Pengaruh media sosial, seperti membandingkan diri dengan orang lain atau terpapar berita negatif. Perspektif Islam tentang Depresi Islam mengakui adanya ujian hidup, termasuk tekanan emosional. Allah SWT berfirman: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286) Nabi Muhammad SAW juga menekankan pentingnya menjaga keseimbangan emosi: “Apabila salah seorang di antara kalian sedih atau cemas, hendaklah ia berdzikir, memohon ampunan Allah, dan bersedekah.” (HR. Ahmad) Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menegaskan bahwa menjaga hati adalah bagian dari ibadah, karena hati yang sehat memudahkan seseorang menghadapi ujian kehidupan. Strategi Menghadapi Depresi Beberapa langkah yang bisa dilakukan remaja antara lain: Mendekatkan diri kepada Allah, melalui dzikir, doa, shalat, dan membaca Al-Qur’an. QS. Ar-Ra’d: 28 menyebutkan, “Sesungguhnya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” Memelihara hubungan sosial positif, dengan keluarga dan sahabat sebagai tempat curhat dan dukungan. Menjaga kesehatan fisik, seperti olahraga rutin, tidur cukup, dan pola makan seimbang. Konsultasi profesional, jika gejala depresi berat, karena Islam menganjurkan ikhtiar mencari pengobatan (HR. Abu Dawud). Refleksi diri, melalui tafakur, muhasabah, atau menulis jurnal untuk memahami perasaan dan pikiran. Menemukan Tujuan Hidup Salah satu kunci motivasi adalah menemukan tujuan hidup (maq?id al-?ay?h). Nabi Muhammad SAW bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain.” (HR. Ahmad) Mengetahui tujuan hidup memberi motivasi batin yang kuat, membuat remaja lebih mampu menghadapi tekanan, dan menjadikan hidup lebih bermakna. QS. Al-Mu’minun: 115 mengingatkan, “Apakah kamu mengira bahwa Kami menciptakan kamu secara sia-sia, dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” Kisah Nabi Yusuf AS menjadi inspirasi bagi remaja. Meskipun mengalami pengkhianatan, penjara, dan kesulitan besar, ia tetap bersabar, berdoa, dan akhirnya menjadi pemimpin yang memberi manfaat bagi banyak orang (QS. Yusuf: 4-101). Kesimpulan Depresi pada remaja adalah tantangan yang nyata, tetapi dapat diatasi dengan kesadaran diri, pemahaman penyebab, dan motivasi hidup yang kuat. Islam mengajarkan bahwa setiap ujian memiliki hikmah dan solusi, serta menekankan pentingnya menjaga kesehatan jiwa melalui doa, dzikir, ibadah, dan mendekatkan diri kepada Allah. Dengan memahami makna hidup, meneladani kisah para Nabi, dan terus memperkuat iman, remaja dapat melewati masa sulit, menemukan keseimbangan emosional, dan menjadi pribadi yang lebih kuat serta bermanfaat bagi orang lain.
ARTIKEL08/12/2025 | Yessi Ade Lia Putri
STOP Hidup untuk Ekspektasi Orang: Kamu Berhak Menentukan Jalanmu Sendiri
STOP Hidup untuk Ekspektasi Orang: Kamu Berhak Menentukan Jalanmu Sendiri
Ada banyak orang yang terlihat “sukses” di mata manusia, namun di dalam hatinya kosong, lelah, bahkan kehilangan jati diri. Bukan karena ia tidak mampu, tetapi karena ia terlalu lama hidup untuk memenuhi ekspektasi orang lain—orang tua, pasangan, lingkungan, bahkan media sosial. Pertanyaannya: apakah hidup kita memang milik orang lain? Islam hadir sebagai agama yang membebaskan manusia dari perbudakan sesama manusia, menuju penghambaan yang murni hanya kepada Allah SWT. Maka, berhentilah hidup demi validasi manusia. Kamu berhak menentukan jalan hidupmu sendiri—selama tetap berada di jalan yang diridhai-Nya. 1. Hidup untuk Siapa? Allah atau Manusia? Tujuan hidup seorang Muslim bukanlah untuk mendapatkan pengakuan manusia, tetapi untuk meraih ridha Allah. Ketika hidup hanya diarahkan untuk menyenangkan orang lain, maka hati akan mudah lelah karena manusia tidak pernah benar-benar puas. Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa mencari keridaan Allah dengan kemurkaan manusia, maka Allah akan meridhainya dan menjadikan manusia pun ridha kepadanya.” (HR. Tirmidzi) Hadits ini menegaskan bahwa ridha Allah adalah sumber ketenangan sejati, bukan validasi manusia. 2. Ekspektasi Orang Bisa Menjadi Beban Psikologis Tekanan untuk memenuhi standar orang lain sering membuat seseorang hidup dalam kecemasan, takut salah, dan takut gagal. Jika dibiarkan, kondisi ini bisa merusak ketenangan jiwa dan kepercayaan diri. Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, tetapi Dia melihat hati dan amal kalian.” (HR. Muslim) Artinya, nilai seseorang di sisi Allah tidak ditentukan oleh standar manusia, tetapi oleh hati dan amalnya. 3. Kamu Diciptakan dengan Jalan Hidup yang Unik Setiap orang memiliki takdir, proses, dan garis waktu yang berbeda. Tidak semua orang harus berhasil dengan cara yang sama. Rasulullah SAW bersabda: “Setiap orang dimudahkan sesuai dengan tujuan ia diciptakan.” (HR. Bukhari dan Muslim) Hadits ini mengajarkan bahwa setiap orang memiliki jalan hidupnya sendiri, dan tidak perlu membandingkan diri dengan orang lain. 4. Hidup untuk Ekspektasi Orang Itu Tidak Pernah Cukup Hari ini manusia menuntut satu hal, besok muncul tuntutan baru. Jika hidup terus diukur dari standar orang lain, maka kita tidak akan pernah merasa cukup dan tenang. Rasulullah SAW bersabda: “Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya harta, tetapi kekayaan adalah kaya hati.” (HR. Bukhari dan Muslim) Ini menunjukkan bahwa kebahagiaan sejati berasal dari hati yang merasa cukup, bukan dari tuntutan manusia. 5. Menentukan Jalan Hidup Bukan Berarti Durhaka Islam mengajarkan keseimbangan antara berbakti kepada orang tua dan tetap berada dalam kebenaran. Menghormati orang tua itu wajib, tetapi ketaatan kepada Allah tetap utama. Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah.” (HR. Ahmad) Artinya, memilih jalan hidup yang baik dan benar bukanlah durhaka, justru itu wujud tanggung jawab sebagai hamba Allah. 6. Kamu Berhak Bahagia Tanpa Harus Menjadi Versi Orang Lain Bahagia bukan tentang paling cepat sukses, paling kaya, atau paling dipuji. Bahagia adalah ketika hati merasa tenang dan dekat dengan Allah. Rasulullah SAW bersabda: “Sungguh beruntung orang yang masuk Islam, diberi rezeki yang cukup, dan Allah menjadikannya merasa cukup.” (HR. Muslim) Hadits ini menegaskan bahwa rasa cukup adalah kunci kebahagiaan, bukan pengakuan sosial. 7. Aksi Nyata: Berhenti Hidup untuk Ekspektasi Orang Agar tidak berhenti di teori, berikut langkah nyata yang bisa dilakukan: Menuliskan tujuan hidup versi diri sendiri. Mengurangi overthinking terhadap komentar orang. Memperkuat ibadah agar hati lebih kokoh. Belajar berkata “tidak” dengan adab. Memilih lingkungan yang mendukung keimanan dan mental. Rasulullah SAW bersabda: “Orang yang paling dicintai Allah adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.” (HR. Thabrani) Artinya, hidup bukan untuk pembuktian diri, tetapi untuk memberi manfaat. Kesimpulan Hidup untuk terus memenuhi ekspektasi manusia hanya akan membuat hati lelah dan kehilangan arah. Islam mengajarkan bahwa tujuan utama hidup adalah meraih ridha Allah SWT, bukan sekadar validasi dari manusia. Setiap orang memiliki jalan hidup yang berbeda, sehingga membandingkan diri dengan orang lain hanya akan melahirkan kegelisahan. Menentukan jalan hidup sendiri bukanlah bentuk durhaka selama tetap berada dalam nilai iman dan kebaikan. Ketika seseorang berhenti mengejar pengakuan manusia dan mulai berjalan mendekat kepada Allah, hidup akan terasa lebih tenang, lebih ringan, dan lebih bermakna.
ARTIKEL08/12/2025 | Yessi Ade Lia Putri
Kadang Melepas Lebih Menenangkan daripada Mempertahankan
Kadang Melepas Lebih Menenangkan daripada Mempertahankan
Dalam perjalanan hidup, kita sering berhadapan dengan pilihan sulit: bertahan atau melepaskan. Dua-duanya membutuhkan keberanian. Namun sering kali, kita terlalu fokus mempertahankan sesuatu—hubungan, pekerjaan, pertemanan, atau rencana—meski hal itu tidak lagi memberikan ketenangan. Padahal, kadang melepaskan justru membawa kedamaian yang tidak kita dapatkan selama bertahan. Islam mengajarkan bahwa sesuatu yang kita inginkan belum tentu baik untuk kita. Allah berfirman: “Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal ia buruk bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 216) Ayat ini mengingatkan bahwa pandangan manusia terbatas, sementara Allah mengetahui segalanya. Terkadang kita bersikeras menggenggam sesuatu yang sebenarnya sedang Allah jauhkan demi kebaikan kita sendiri. Memaksakan sesuatu yang tidak sejalan hanya akan menguras energi dan membuat hati terus gelisah. Ada perbedaan besar antara berjuang dan memaksakan diri. Berjuang menumbuhkan diri, sementara memaksakan diri mengikis ketenangan. Karena itu, melepaskan bukanlah tanda kelemahan, tetapi bentuk keberanian untuk memilih apa yang lebih baik bagi diri dan hati. Dalam menghadapi keputusan besar—apakah harus bertahan atau melepaskan—Islam memberikan panduan berupa ikhtiar yang dapat menenangkan hati dan meneguhkan langkah. Salah satunya adalah shalat istikharah, sebagaimana diajarkan Nabi Muhammad SAW: “Jika salah seorang dari kalian berniat melakukan suatu urusan, hendaklah ia melakukan shalat dua rakaat lalu berdoa istikharah.” (HR. Bukhari) Istikharah membantu kita menyerahkan pilihan kepada Allah. Jawabannya tidak selalu hadir dalam mimpi, tetapi lebih sering berupa ketenangan hati, kemudahan jalan, atau justru terhalangnya urusan yang tidak baik bagi kita. Selain itu, Allah memerintahkan kita untuk bermusyawarah: “Bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (QS. Ali Imran: 159) Nasihat dari orang-orang bijak dapat membuka pandangan baru yang sebelumnya tertutup oleh emosi atau ketakutan. Ulama juga memberikan kaidah penting: “Mencegah kerusakan lebih utama daripada meraih manfaat.” Artinya, jika sesuatu lebih banyak mendatangkan luka, kegelisahan, dan kerusakan mental, maka melepaskan adalah pilihan yang lebih aman secara syariat maupun akal. Melepaskan juga merupakan bentuk tawakkal. Ibnul Qayyim menyebut tawakkal sebagai “amal hati yang paling indah”, karena di sanalah seorang hamba menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada Allah setelah berusaha. Ketika kita melepaskan sesuatu karena percaya pada penggantian Allah, hati akan terasa lebih ringan. Dalam kehidupan masa kini, melepaskan bisa berarti keluar dari hubungan yang tidak sehat, berhenti mengejar seseorang yang tidak menghargai, pindah dari lingkungan kerja yang toxic, atau merelakan mimpi yang belum tentu baik untuk masa depan. Melepaskan memberi ruang untuk hal-hal baru yang lebih baik. Pada akhirnya, melepaskan bukan tentang kalah atau gagal. Melepaskan adalah langkah penuh keberanian untuk memilih ketenangan. Dan bagi siapa pun yang sedang berada di persimpangan, ingatlah janji Allah: “Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Allah akan memberikan jalan keluar dan rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.” (QS. At-Talaq: 2–3) Maka beranilah. Kadang, melepaskan adalah jalan pulang menuju ketenangan yang selama ini kita cari.
ARTIKEL04/12/2025 | indri irmayanti
Hidup: Bukan Tentang Seberapa Cepat, Tapi Seberapa Sungguh Kita Menjalani
Hidup: Bukan Tentang Seberapa Cepat, Tapi Seberapa Sungguh Kita Menjalani
Di tengah kehidupan modern yang serba cepat, banyak orang terjebak dalam perlombaan tanpa henti. Kita berlomba mengejar pencapaian, jabatan, dan pengakuan, hingga sering lupa menikmati proses hidup itu sendiri. Padahal dalam Islam, hidup tidak dinilai dari seberapa cepat langkah kita, melainkan seberapa sungguh kita menjalaninya dengan kesadaran, keikhlasan, dan kesabaran. Allah SWT berfirman: "Barangsiapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sungguh Kami akan berikan kepadanya kehidupan yang baik." (QS. An-Nahl: 97) Ayat ini menegaskan bahwa kualitas amal lebih utama dibanding kecepatan atau banyaknya pencapaian. 1. Kesungguhan dalam Pandangan Islam Kesungguhan berarti menjalani setiap amal dengan niat yang lurus dan penuh tanggung jawab. Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menjelaskan bahwa amal yang sedikit tetapi dilakukan dengan ikhlas dan konsisten lebih utama daripada amal yang besar namun tanpa kesadaran. Ini menegaskan bahwa kualitas lebih penting daripada kuantitas. 2. Teladan Kesungguhan dari Rasulullah SAW Rasulullah SAW adalah teladan terbaik dalam kesungguhan. Beliau berdakwah dengan penuh kesabaran, tidak tergesa-gesa, dan selalu konsisten dalam kebaikan. Dalam hadits disebutkan: "Amal yang paling dicintai Allah adalah yang dilakukan secara terus-menerus walaupun sedikit." (HR. Muslim) Hadits ini menunjukkan bahwa kesungguhan itu terletak pada ketekunan, bukan pada kecepatan. 3. Hidup Tidak Perlu Terburu-buru Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering merasa tertinggal karena membandingkan diri dengan orang lain. Padahal Allah SWT berfirman: "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya." (QS. Al-Baqarah: 286) Setiap orang memiliki waktu dan prosesnya masing-masing. Terburu-buru hanya akan melahirkan kegelisahan, sementara kesungguhan melahirkan ketenangan. 4. Dampak Kesungguhan bagi Jiwa dan Kehidupan Orang yang menjalani hidup dengan sungguh-sungguh akan: Lebih sabar dalam menghadapi ujian Lebih fokus dan tenang Tidak mudah putus asa Lebih mampu bersyukur Memiliki kepuasan batin yang lebih dalam Kesungguhan juga menjadi sumber kekuatan mental dalam menghadapi tekanan hidup. 5. Aksi Nyata Menjalani Hidup dengan Sungguh-sungguh Beberapa langkah nyata yang bisa dilakukan: Meluruskan niat sebelum beraktivitas Konsisten dalam ibadah dan kebaikan kecil Mengelola waktu dengan bijak Membantu orang lain dengan tulus Melakukan evaluasi diri secara rutin Memperbanyak doa dan dzikir Kisah Nabi Yusuf AS menjadi bukti nyata kesungguhan. Meski difitnah, dipenjara, dan dikhianati, beliau tetap menjaga iman dan kesabaran hingga akhirnya diangkat derajatnya oleh Allah SWT (QS. Yusuf: 100). Kesimpulan Hidup bukan tentang siapa yang paling cepat mencapai tujuan, tetapi siapa yang paling sungguh dalam menjalani setiap prosesnya. Kesungguhan mengajarkan kita tentang ketulusan niat, kesabaran dalam ujian, dan konsistensi dalam kebaikan. Dengan menjalani hidup secara sungguh-sungguh, kita akan merasakan ketenangan, keberkahan, dan makna hidup yang lebih dalam.
ARTIKEL04/12/2025 | Yessi Ade Lia Putri
INGAT! Di Balik Lelahmu Ada Versi Dirimu yang Lebih Kuat
INGAT! Di Balik Lelahmu Ada Versi Dirimu yang Lebih Kuat
Setiap orang pernah berada pada titik lelah—lelah bekerja, lelah berusaha, lelah menata hati, atau lelah menghadapi masalah yang datang silih berganti. Namun dalam Islam, rasa lelah bukan tanda kelemahan. Ia adalah bagian dari proses pendewasaan, peningkatan iman, dan cara Allah membentuk pribadi yang lebih kuat. Lelah adalah Ujian yang Menguatkan Allah menegaskan bahwa ujian adalah bagian dari kehidupan manusia. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman: “Sungguh Kami akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira bagi orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 155) Ayat ini memberi pelajaran bahwa lelah bukanlah hukuman, tetapi sarana peningkatan derajat. Kesabaran dalam menghadapi rasa lelah akan menghasilkan kekuatan batin yang lebih besar dibanding sebelumnya. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan: “Allah tidak mengambil sesuatu kecuali untuk memberi yang lebih baik.” Ini menunjukkan bahwa di balik setiap kesulitan, selalu ada kebaikan yang disiapkan Allah untuk hamba-Nya. Lelah Menghapus Dosa dan Datang sebagai Rahmat Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah seorang muslim ditimpa keletihan, penyakit, kesedihan, kegundahan, gangguan, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapus sebagian dosa-dosanya.” (HR. Bukhari dan Muslim) Hadits ini menjadi penghibur besar. Bahkan lelah yang tidak terlihat manusia pun Allah catat sebagai penghapus dosa. Para ulama menjelaskan bahwa ujian dan lelah adalah tanda kasih sayang Allah, karena hamba diberi kesempatan mendapat pahala tanpa harus melakukan amalan tambahan. Proses Menjadi Versi Diri yang Lebih Kuat Lelah membawa banyak hikmah jika dijalani dengan iman: 1. Mengajarkan keikhlasan Saat usaha maksimal tetap belum membuahkan hasil, seseorang belajar berserah diri kepada Allah tanpa syarat. 2. Membentuk mental dan hati yang lebih tegar Tanpa ujian, tidak ada kedewasaan. Tanpa kesulitan, tidak ada ketangguhan. 3. Mendekatkan diri kepada Allah Di momen paling lelah, manusia biasanya paling tulus dalam berdoa. 4. Mengatur ulang prioritas hidup Rasa jenuh dan jenuh adalah tanda bahwa seseorang sedang menata ulang fokus hidupnya. Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa kesulitan adalah sarana untuk menumbuhkan kebijaksanaan dan kejernihan hati. Motivasi dan Saran Praktis Agar lelah tidak membuatmu rapuh, lakukan langkah konkret berikut: Ambil jeda terencana, bukan menyerah. Istirahat sebentar membuat pikiran lebih tenang. Perbanyak doa, seperti “Hasbunallah wa ni’mal wakil,” yang memberi rasa cukup dan ketenangan. Jaga fisik, karena tubuh yang lelah membuat pikiran mudah stres. Kurangi aktivitas yang menguras energi, seperti konsumsi media sosial berlebihan atau lingkungan toksik. Fokus pada kemajuan kecil, karena perubahan besar lahir dari langkah-langkah kecil yang konsisten. Syukuri proses, bukan hanya hasil. Syukur membuat hati lebih kuat menghadapi tantangan. Penutup Lelah bukan akhir. Ia adalah tanda bahwa kamu sedang bergerak, berproses, dan bertumbuh. Di balik rasa lelahmu hari ini, ada versi dirimu yang lebih kuat, lebih sabar, lebih bijaksana, dan lebih dekat kepada Allah. Teruslah melangkah—Allah melihat setiap usahamu, bahkan yang tidak terlihat oleh manusia sekalipun.
ARTIKEL04/12/2025 | indri irmayanti
Bukan Menyerah, Hanya Memberi Diri Ruang untuk Bernapas
Bukan Menyerah, Hanya Memberi Diri Ruang untuk Bernapas
Di tengah tuntutan hidup yang semakin padat—pekerjaan, keluarga, studi, dan tekanan sosial—tidak sedikit orang merasa lelah hingga muncul keinginan untuk menyerah. Padahal, dalam banyak keadaan, yang dibutuhkan bukan menyerah, melainkan berhenti sejenak untuk menata ulang tenaga, pikiran, dan hati. Dalam Islam, istirahat bukan tanda kelemahan, melainkan bagian dari kebijaksanaan hidup. 1. Istirahat dalam Pandangan Al-Qur’an dan Hadits Al-Qur’an menegaskan bahwa setiap kesulitan selalu disertai kemudahan: “Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah: 5–6) Ayat ini mengajarkan bahwa kelelahan tidak bersifat permanen. Ia hanya fase yang akan berganti dengan kelapangan. Allah juga menegaskan bahwa manusia tidak dibebani di luar kemampuannya (QS. Al-Baqarah: 286), yang berarti mengenali batas diri adalah bagian dari iman. Rasulullah ? bersabda: “Tubuhmu mempunyai hak atas dirimu.” (HR. Bukhari) Hadits ini memperjelas bahwa merawat tubuh, memberi waktu istirahat, dan menjaga kesehatan bukanlah kelalaian, tetapi kewajiban. 2. Pandangan Ulama tentang Pentingnya Jeda Imam Al-Ghazali menjelaskan dalam Ihya’ Ulumuddin bahwa jiwa yang dipaksa terus bekerja tanpa jeda akan mengalami kejenuhan dan penurunan kualitas amal. Sementara Ibn Qayyim menegaskan bahwa hati pun bisa lelah sebagaimana tubuh, sehingga membutuhkan waktu pemulihan agar tetap hidup dan kuat. Artinya, istirahat bukan penghambat produktivitas, tetapi justru penjaganya. 3. Mengapa Istirahat Bukan Tanda Menyerah Beristirahat bukan berarti berhenti berjuang. Sebaliknya, ia memiliki beberapa fungsi penting: Mengisi ulang energi fisik dan mental Menjaga kualitas ibadah dan tanggung jawab Memberi kejernihan berpikir Menjauhkan dari keputusan impulsif Mencegah kelelahan berkepanjangan (burnout) Orang yang terus memaksa diri tanpa jeda justru berisiko kehilangan arah dan motivasi. 4. Tanda-Tanda Seseorang Membutuhkan Istirahat Beberapa tanda umum bahwa seseorang sudah terlalu lelah antara lain: Sulit tidur atau tidur tidak berkualitas Mudah marah dan emosional Kehilangan semangat dan minat Sulit fokus dan mengambil keputusan Merasa cemas tanpa alasan jelas Jika tanda-tanda ini muncul, berhenti sejenak adalah langkah bijak, bukan tanda kegagalan. 5. Lelah Tidak Pernah Sia-Sia di Sisi Allah Rasulullah ? bersabda: “Tidaklah seorang muslim tertimpa kelelahan, kesedihan, penyakit, bahkan duri yang menusuknya, melainkan Allah menghapus dosa-dosanya.” (HR. Bukhari dan Muslim) Setiap letih, air mata, dan luka batin yang dirasakan tidak pernah luput dari perhatian Allah. Maka ketika seseorang merasa hampir menyerah, bisa jadi ia hanya sedang butuh berhenti sebentar untuk kembali kuat. 6. Istirahat adalah Sunnatullah Allah menciptakan hidup dengan irama: Siang untuk beraktivitas Malam untuk beristirahat Ombak datang lalu surut Hujan turun lalu reda Manusia yang menolak istirahat justru melawan pola alam yang telah Allah tetapkan. 7. Aksi Nyata Saat Merasa Lelah Beberapa langkah praktis yang bisa dilakukan: Ambil jeda singkat saat lelah Perbaiki pola tidur Shalat dengan lebih tenang Perbanyak dzikir dan membaca Al-Qur’an Kurangi beban yang tidak prioritas Bergerak secara fisik ringan Berbagi cerita dengan orang terpercaya Batasi konsumsi konten negatif Tetapkan batas untuk diri sendiri Mencari bantuan profesional bila perlu Semua langkah ini bukan tanda menyerah, tetapi bentuk tanggung jawab terhadap diri sendiri. Kesimpulan Lelah adalah bagian dari perjalanan, bukan akhir dari perjuangan. Istirahat bukan tanda kalah, tetapi cara Allah mengajarkan manusia untuk bertahan dengan cara yang lebih sehat. Air mata bukan bukti kelemahan, dan jeda bukanlah pengkhianatan terhadap mimpi. Justru melalui jeda itulah seseorang belajar untuk kembali bangkit dengan hati yang lebih kuat, pikiran yang lebih jernih, dan langkah yang lebih terarah. Hidup tidak selalu tentang berlari cepat, tetapi tentang tahu kapan harus berhenti sejenak agar tidak kehilangan tujuan.
ARTIKEL04/12/2025 | Yessi Ade Lia Putri
Antara Impian dan Kenyataan, Ada Konsistensi yang Sering Ditinggalkan
Antara Impian dan Kenyataan, Ada Konsistensi yang Sering Ditinggalkan
Setiap manusia memiliki impian. Ada yang memimpikan kesuksesan, ketenangan jiwa, keluarga harmonis, ilmu yang bermanfaat, hingga hidup yang diridhai Allah. Namun tidak sedikit impian yang berhenti sebatas rencana. Banyak yang gagal bukan karena tidak mampu, melainkan karena konsistensi yang ditinggalkan di tengah jalan. Kita sering memulai dengan semangat besar, tetapi melemah saat proses menjadi berat. Di sinilah jarak antara impian dan kenyataan semakin terasa. 1. Konsistensi dalam Pandangan Al-Qur’an Allah menegaskan bahwa perubahan tidak terjadi tanpa usaha yang terus dijaga: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11) Ayat ini mengajarkan bahwa perubahan membutuhkan proses yang berulang, bukan semangat sesaat. Impian butuh istiqamah, bukan hanya niat. Allah juga berfirman: “Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (QS. Al-‘Ankabut: 69) Kesungguhan dalam ayat ini bukan berarti sebentar, tetapi ketekunan yang dipelihara dalam waktu panjang. 2. Mengapa Konsistensi Sering Gagal di Tengah Jalan Beberapa penyebab utama seseorang meninggalkan konsistensi: Terjebak euforia awal, semangat tinggi di awal lalu melemah ketika emosi turun. Tidak siap dengan hasil yang lama, ingin perubahan instan di dunia yang serba cepat. Takut tidak diapresiasi, merasa lemah ketika perjuangan berjalan tanpa sorotan. Lelah menghadapi ujian berulang, mengira ujian hanya datang sekali, padahal ia bagian dari perjalanan. Padahal Allah telah mengingatkan: “Dan sungguh, akhir itu lebih baik bagimu daripada permulaan.” (QS. Ad-Dhuha: 4) Artinya, fase terberat sering berada sebelum hasil terbaik. 3. Hadits tentang Nilai Amal yang Konsisten Rasulullah ? bersabda: “Amalan yang paling dicintai Allah adalah amalan yang dilakukan secara terus-menerus meskipun sedikit.” (HR. Bukhari dan Muslim) Hadits ini mengajarkan bahwa keberkahan terletak pada keberlanjutan, bukan hanya pada besarnya amal di awal. 4. Konsistensi dalam Pandangan Ulama Imam Al-Ghazali berkata: “Amal yang sedikit tetapi terus-menerus lebih baik daripada amal yang banyak tetapi terputus.” Sufyan Ats-Tsauri bahkan menegaskan bahwa istiqamah lebih berat daripada ribuan karamah, karena ia menuntut kesabaran setiap hari, bukan keajaiban sesaat. 5. Antara Keinginan dan Proses yang Melelahkan Banyak orang mencintai hasil, tetapi tidak mencintai proses. Mereka ingin sukses tanpa disiplin, ingin tenang tanpa kesabaran, ingin bahagia tanpa luka. Padahal Allah berfirman: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam susah payah.” (QS. Al-Balad: 4) Lelah bukan kesalahan hidup, melainkan bagian dari kehidupan itu sendiri. 6. Takdir Bukan Alasan untuk Berhenti Berusaha Sebagian orang berhenti dengan alasan “ini sudah takdir.” Padahal Allah menegaskan: “Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya.” (QS. An-Najm: 39) Takdir tidak pernah mematikan ikhtiar. Justru ikhtiar adalah bagian dari takdir itu sendiri. 7. Aksi Nyata Menjaga Konsistensi Agar konsistensi tidak hanya menjadi teori: 1. Kecilkan target, besarkan keberlanjutan Mulailah dari yang ringan namun rutin. 2. Ikat niat dengan ibadah Luruskan tujuan agar lelah bernilai pahala. 3. Bangun lingkungan yang menguatkan Berada di sekitar orang yang istiqamah akan menulari semangat. 4. Terima fase turun sebagai bagian dari proses Tidak semua hari harus sempurna. 5. Perbanyak doa agar diberi keteguhan hati Karena istiqamah adalah karunia, bukan semata kekuatan diri. Kesimpulan Impian tidak pernah menuntut kesempurnaan, tetapi menuntut kesetiaan pada proses. Jarak antara impian dan kenyataan sejatinya dijembatani oleh konsistensi. Istiqamah dalam kebaikan, dalam ikhtiar, dalam doa, dan dalam perjuangan adalah bukti kejujuran kita terhadap cita-cita hidup yang lebih bermakna. Seperti yang diajarkan Al-Qur’an, hadits, dan nasihat para ulama, keberhasilan sejati bukanlah hasil dari semangat sesaat, melainkan buah dari langkah kecil yang dijaga setiap hari.
ARTIKEL04/12/2025 | Yessi Ade Lia Putri
Rasanya Jauh dari Allah? Mulailah dari Ibadah yang Paling Sederhana
Rasanya Jauh dari Allah? Mulailah dari Ibadah yang Paling Sederhana
Hampir setiap Muslim pernah mengalami masa ketika hati terasa jauh dari Allah SWT. Ibadah terasa berat, doa seakan tak sampai, dan jiwa dipenuhi kegelisahan. Padahal, rasa “jauh” itu bukan karena Allah meninggalkan kita, tetapi karena kita yang perlahan menjauh tanpa disadari. Kabar baiknya, untuk kembali dekat kepada Allah tidak harus dimulai dari ibadah yang berat. Justru, langkah terbaik adalah memulai dari amalan sederhana yang mudah dilakukan secara konsisten. 1. Allah Itu Dekat—Kita yang Sering Menjauh Ketika hati terasa hampa, sebagian orang mengira bahwa Allah telah meninggalkannya. Padahal, Al-Qur’an menegaskan bahwa Allah sangat dekat dengan hamba-Nya. Allah SWT berfirman: “Aku dekat. Aku mengabulkan doa orang yang berdoa kepada-Ku…” (QS. Al-Baqarah: 186) Ibn Katsir menjelaskan bahwa ayat ini menunjukkan kedekatan Allah melalui ilmu-Nya, pengawasan-Nya, dan jawaban atas doa hamba-hamba-Nya. Artinya, Allah tidak pernah pergi. Kitalah yang perlu kembali mendekat. Ibn Qayyim al-Jauziyyah berkata: “Jarak antara seorang hamba dengan Allah adalah jarak antara hatinya dan taubatnya.” Kembali kepada Allah dimulai bukan dari banyaknya ibadah, tetapi dari hati yang ingin pulang. 2. Mengapa Memulai dari yang Paling Sederhana? Banyak orang berusaha kembali mendekat kepada Allah tetapi merasa harus langsung melakukan ibadah berat. Padahal Rasulullah ? mengajarkan bahwa amalan paling dicintai Allah adalah yang dilakukan secara konsisten meskipun sedikit. Beliau bersabda: “Amalan yang paling dicintai Allah adalah yang paling rutin meski sedikit.” (HR. Bukhari) Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa amalan kecil yang konsisten lebih baik daripada amalan besar yang tidak mampu dijaga. Iman memang naik turun, dan ketika sedang turun, ibadah sederhana adalah cara menghidupkannya kembali. 3. Ibadah Sederhana untuk Memulai Kembali A. Menjaga Shalat Wajib Mulailah dari yang paling mendasar: shalat tepat waktu. Jangan menunggu rasa khusyuk sempurna. Imam Hasan al-Bashri mengatakan bahwa shalat yang awalnya lalai akan perlahan menjadi khusyuk jika terus dijaga. B. Dzikir Ringan di Setiap Waktu Ucapan Astaghfirullah, Alhamdulillah, atau Hasbunallah wa ni’mal wakil adalah dzikir singkat namun penuh pahala. Rasulullah ? bersabda bahwa dua kalimat dzikir yang ringan di lisan tetapi berat di timbangan adalah: Subhanallahi wa bihamdih, Subhanallahil ‘Azhim. C. Membaca Satu Ayat Al-Qur’an Sehari Tidak perlu langsung satu juz. Satu ayat setiap hari setelah shalat sudah cukup untuk membuat hati tetap terikat dengan Al-Qur’an. D. Sedekah Kecil yang Dilakukan Rutin Sedekah tidak harus besar. Satu kebaikan kecil setiap hari, bahkan sekadar senyum yang tulus, sudah termasuk sedekah. 4. Rasa Jauh dari Allah Adalah Tanda Rindu Ibn Qayyim mengatakan bahwa rasa sempit dan gelisah sering kali adalah cara Allah memanggil hamba-Nya agar kembali. Jika hati terasa kosong, itu pertanda bahwa ruh sedang rindu kepada Pemiliknya. 5. Kisah Singkat yang Menguatkan Seorang pemuda di masa Tabi’in pernah merasa hatinya keras dan jauh dari Allah. Hasan al-Bashri menasihatinya: “Bacalah Al-Qur’an meski satu ayat.” Langkah kecil itu mengubah hidupnya hingga ia menjadi ahli ibadah. Ada pula seorang buruh yang selalu mengamalkan dzikir sebelum tidur: tasbih 33x, tahmid 33x, takbir 34x. Amalan sederhana itu membuatnya mulia di mata Allah. Kesimpulan: Rasa jauh dari Allah bukan akhir, tetapi awal perjalanan kembali. Mulailah dari ibadah kecil yang konsisten—shalat tepat waktu, dzikir ringan, satu ayat sehari, dan sedekah kecil. Amalan sederhana itulah yang akan membuka kembali pintu kedekatan dan ketenangan hati.
ARTIKEL03/12/2025 | Yessi Ade Lia Putri
Info Rekening Zakat

Info Rekening Zakat

Mari tunaikan zakat Anda dengan mentransfer ke rekening zakat.

BAZNAS

Info Rekening Zakat