Artikel Terbaru
Upgrade Diri atau Upgrade Gaya Hidup? Menentukan Pilihan yang Bijak dalam Perspektif Islam
Di era modern, banyak orang berlomba-lomba meningkatkan kualitas hidup, baik dari segi materi, penampilan, maupun keterampilan. Namun, muncul dilema: apakah lebih baik fokus pada upgrade diri—mengasah kemampuan, pengetahuan, dan akhlak—atau upgrade gaya hidup—meningkatkan status sosial, penampilan, dan konsumsi materi?
Islam menekankan keseimbangan antara dunia dan akhirat. Allah SWT berfirman:
"Carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari dunia." (QS. Al-Qashash: 77)
Ayat ini menegaskan bahwa dunia itu penting, tetapi bukan tujuan utama. Dengan memahami perspektif ini, setiap Muslim dapat menempatkan prioritas secara bijak.
Upgrade Diri: Investasi Jangka Panjang
Upgrade diri meliputi peningkatan ilmu, akhlak, spiritual, kesehatan, dan keterampilan. Islam menekankan bahwa investasi pada diri sendiri adalah paling mulia karena memberi manfaat dunia dan akhirat.
Ilmu dan Keterampilan: Rasulullah SAW bersabda, “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim.” (HR. Ibnu Majah). Ilmu dan keterampilan membuat seseorang lebih bermanfaat bagi keluarga, masyarakat, dan pekerjaan.
Akhlak dan Spiritual: Rasulullah SAW bersabda, “Orang yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Ilmu tanpa akhlak seperti pohon tanpa buah—tidak memberi manfaat bagi dunia maupun akhirat.
Kesehatan dan Disiplin Diri: Tubuh adalah amanah Allah. Rasulullah SAW bersabda, “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah.” (HR. Muslim). Disiplin dalam ibadah, pola makan, tidur, dan olahraga termasuk upgrade diri yang meningkatkan kualitas hidup.
Fokus pada upgrade diri juga membawa ketenangan batin, kepercayaan diri, dan kebahagiaan yang tahan lama, sehingga tidak mudah terjebak tekanan sosial atau konsumtif.
Upgrade Gaya Hidup: Kebutuhan atau Godaan?
Upgrade gaya hidup meliputi penampilan, barang mewah, atau status sosial. Islam memperbolehkan hidup nyaman, tetapi tidak berlebihan (israf). Allah SWT berfirman:
"Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan." (QS. Al-Isra: 26-27)
Beberapa prinsip penting:
Tidak melampaui kemampuan finansial
Tidak untuk pamer atau riya’
Mendukung produktivitas dan ibadah
Fokus berlebihan pada gaya hidup bisa menimbulkan stres, kecemburuan sosial, dan ketidakpuasan batin. Ulama menekankan bahwa kepemilikan dunia sah asal tidak melalaikan diri dari tanggung jawab, ibadah, atau akhlak.
Kesederhanaan dan Moderasi
Islam menekankan qana’ah, yaitu cukup dan bersyukur. Rasulullah SAW bersabda: “Kaya bukanlah karena banyak harta, tetapi kaya adalah kaya hati.” (HR. Bukhari). Kesederhanaan bukan menolak peningkatan hidup, tetapi menempatkannya sesuai kebutuhan, kemampuan, dan niat yang benar.
Strategi Praktis
1. Evaluasi Niat: Pastikan upgrade diri atau gaya hidup didasari niat baik.
2. Skala Prioritas: Pilih upgrade yang memberi manfaat dunia dan akhirat.
3. Manfaat Jangka Panjang: Ilmu, akhlak, dan keterampilan lebih abadi dibanding barang mewah.
4. Moderasi: Terapkan prinsip wasatiyyah—hidup seimbang.
Kesimpulan
Dalam Islam, upgrade diri sebaiknya menjadi prioritas utama. Menuntut ilmu, memperbaiki akhlak, menjaga kesehatan, dan meningkatkan keterampilan memberi manfaat yang abadi dan memperkuat pondasi hidup. Upgrade gaya hidup diperbolehkan, tetapi harus moderat, sesuai kemampuan, dan mendukung produktivitas serta ibadah. Dengan menyeimbangkan keduanya, seseorang dapat menjalani kehidupan yang berkah, bermanfaat, dan harmonis antara dunia dan akhirat.
ARTIKEL14/11/2025 | Yessi Ade Lia Putri
Bayar Hutang Dulu atau Sedekah Dulu?
Dalam kehidupan sehari-hari, seorang Muslim sering dihadapkan pada dilema antara menyelesaikan kewajiban dan menjalankan amalan sunnah. Salah satu pertanyaan yang paling sering muncul adalah: “Bayar hutang dulu atau sedekah dulu?” Pertanyaan ini tampak sederhana, namun mengandung konsekuensi hukum dan moral yang cukup besar. Untuk menemukan jawaban yang tepat, kita perlu memahami konsep prioritas dalam Islam serta menimbang antara hak manusia dan hak Allah.
1. Hutang: Tanggung Jawab Berat yang Mendahului Amalan Sunnah
Dalam ajaran Islam, hutang adalah urusan yang sangat serius. Rasulullah SAW menjelaskan bahwa jiwa seorang mukmin bisa tertahan karena hutangnya. Bahkan, beliau pernah menolak menshalatkan jenazah seseorang sampai ada sahabat yang bersedia menanggung hutangnya. Hal ini menunjukkan bahwa hutang bukan sekadar persoalan materi, tetapi juga persoalan amanah dan pertanggungjawaban di hadapan Allah.
Hutang termasuk haqqul adami (hak manusia). Hak manusia dalam Islam memiliki posisi yang sangat tinggi. Jika seseorang menunda pelunasan hutang padahal mampu, maka tindakan itu disebut sebagai bentuk kezaliman. Ini memperlihatkan bahwa melunasi hutang bukan sekadar kewajiban sosial, tetapi juga moralitas yang akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat.
Karena hutang adalah kewajiban, maka ia berada di level yang lebih tinggi dibandingkan amalan sunnah seperti sedekah. Kewajiban harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum mengerjakan amalan sunnah yang sifatnya pilihan.
2. Sedekah: Amalan yang Mulia dan Menarik Keberkahan
Sedekah adalah amalan yang luar biasa besar pahalanya. Ia dapat membuka pintu rezeki, melembutkan hati, menghapus dosa kecil, hingga mendatangkan ketenangan jiwa. Banyak ayat dan hadis menjelaskan bahwa Allah melipatgandakan pahala sedekah hingga berkali-kali lipat.
Namun, sedekah adalah amalan sunnah (kecuali zakat atau nazar). Karena sifatnya sunnah, sedekah tidak boleh menghalangi atau menunda kewajiban lain. Islam memiliki prinsip: kewajiban tidak boleh dikorbankan demi amalan sunnah, meski amalan itu sangat besar keutamaannya.
Walau begitu, bukan berarti orang yang berhutang dilarang bersedekah. Islam tetap membuka pintu bagi siapa saja untuk bersedekah, sekalipun ia sedang melunasi hutang, asal tidak mengganggu dan menunda kewajiban tersebut.
3. Kaidah Fikih: Wajib Lebih Utama Daripada Sunnah
Para ulama sepakat bahwa:
“Apabila bertemu antara yang wajib dan yang sunnah, maka dahulukan yang wajib.”
Dalam konteks ini:
Membayar hutang = wajib
Sedekah umum = sunnah
Maka, prioritas jelas: mendahulukan pelunasan hutang lebih utama.
Namun, kaidah ini juga berlaku secara fleksibel. Jika seseorang mampu membayar hutangnya dengan baik dan tidak ada jadwal jatuh tempo yang terlewat, maka ia boleh bersedekah di sela-sela usahanya itu.
4. Hal-Hal yang Perlu Dipertimbangkan Sebelum Memutuskan
Untuk menentukan apakah mendahulukan hutang atau sedekah, ada beberapa aspek penting yang harus diperhatikan:
1. Sudah jatuh tempo atau belum?
Jika sudah jatuh tempo dan Anda mampu membayar, maka hukumnya wajib untuk segera melunasi.
2. Sedekah yang dimaksud: zakat atau sedekah sunnah?
Jika zakat → wajib ditunaikan ketika sudah memenuhi nisab.
Jika sedekah sunnah → tidak boleh mendahului kewajiban hutang.
3. Apakah sedekah akan membuat pembayaran hutang tertunda?
Jika ya, sedekah tidak dianjurkan karena bisa menimbulkan kezaliman terhadap pemberi pinjaman.
4. Apakah sedekah yang diberikan kecil dan tidak memberatkan?
Bersedekah sedikit tetapi istiqamah sangat diperbolehkan, bahkan dianjurkan.
5. Adakah kesepakatan cicilan dengan pemberi hutang?
Jika sudah disepakati cicilan dan Anda membayarnya tepat waktu, Anda boleh bersedekah di luar itu.
5. Contoh Kasus dalam Kehidupan Nyata
Untuk memperjelas pemahaman, berikut beberapa contoh:
Kasus 1: Hutang Sudah Jatuh Tempo
Seseorang memiliki hutang Rp2.000.000 dan sudah jatuh tempo, namun ia ingin sedekah Rp200.000. Hukumnya: bayar hutang dulu. Sedekahnya bisa ditunda.
Kasus 2: Mencicil Hutang Sesuai Kesepakatan
Seseorang mencicil hutang Rp500.000 per bulan. Setelah membayar cicilan, masih ada sisa rezeki. Hukumnya: boleh bersedekah kecil, misalnya Rp10.000–Rp20.000.
Kasus 3: Ingin Sedekah Besar untuk Mengharap Kelapangan Rezeki
Seseorang berharap hutangnya cepat lunas sehingga ia ingin bersedekah dalam jumlah besar. Hukumnya: boleh, asal tidak menunda kewajiban, dan bukan sedekah yang membuat dirinya tambah berhutang atau kesulitan.
6. Sedekah Bisa Menjadi Jalan Pelunasan Hutang, tetapi Tetap Bijak
Banyak ulama menjelaskan bahwa sedekah dapat membuka pintu rezeki, bahkan mempercepat pelunasan hutang. Namun, Islam tidak mengajarkan untuk “nekat” bersedekah besar ketika kewajiban masih terbengkalai.
Sedekah tetap dianjurkan, tetapi dalam porsi yang aman, agar kita tidak menzalimi diri sendiri maupun pemberi hutang.
7. Menyusun Perencanaan Keuangan yang Seimbang
Agar dapat menunaikan kewajiban sekaligus tetap mendatangkan keberkahan, berikut beberapa langkah yang dianjurkan:
Dahulukan kewajiban yang sudah jatuh tempo.
Jangan lupa bayar cicilan tepat waktu.
Sisihkan sedekah kecil namun rutin.
Kurangi pengeluaran yang tidak penting.
Hindari berhutang untuk hal yang tidak mendesak.
Perbanyak doa dan sedekah dengan niat memohon kemudahan.
Dengan manajemen yang baik, seseorang tetap bisa bersedekah tanpa menunda kewajiban.
Kesimpulan
Maka, bayar hutang dulu atau sedekah dulu? Jawabannya adalah: bayar hutang didahulukan, karena hutang adalah kewajiban dan hak manusia yang tidak boleh ditunda. Sedangkan sedekah adalah amalan sunnah.
Namun, sedekah tetap boleh dilakukan selama tidak mengganggu kewajiban dan tidak membuat penundaan pelunasan hutang. Islam mengajarkan keseimbangan: lakukan kewajiban, tetapi jangan tutup pintu kebaikan.
Dengan menata prioritas sesuai tuntunan syariat, kita akan memperoleh kelapangan hati, keberkahan rezeki, dan kemudahan dalam melunasi hutang maupun menjalankan ibadah lainnya.
ARTIKEL14/11/2025 | indri irmayanti
Mendahulukan Shalat Qadha atau Shalat Ada’? Begini Penjelasannya
Dalam aktivitas sehari-hari, seorang muslim bisa saja menghadapi kondisi di mana ia masih memiliki utang shalat (qadha), sementara waktu shalat wajib yang baru (ada’) sudah masuk. Situasi ini sering menimbulkan kebingungan: apakah harus mendahulukan shalat qadha atau langsung melaksanakan shalat ada’? Masalah ini bukanlah sekadar persoalan teknis, tetapi terkait dengan pemahaman fikih dan bagaimana syariat mengatur prioritas ibadah.
Untuk mengetahuinya, perlu dipahami terlebih dahulu perbedaan dasar antara shalat ada’ dan shalat qadha.
Perbedaan Shalat Ada’ dan Shalat Qadha
Shalat ada’ adalah shalat yang dikerjakan tepat pada waktunya sesuai tuntunan syariat. Menjaga waktu shalat sangat ditekankan dalam Islam karena ia merupakan bukti ketaatan seorang hamba kepada Allah. Sebaliknya, shalat qadha adalah shalat pengganti yang dilakukan setelah waktunya terlewat, baik karena lupa, tertidur, atau kelalaian. Walaupun waktunya telah lewat, perintah shalat tidak gugur, sehingga shalat qadha tetap wajib dikerjakan.
Memahami hal ini penting agar seorang muslim tahu kapan shalat wajib harus didahulukan dan kapan qadha dapat dilakukan terlebih dahulu.
Shalat Wajib dan Prioritas Qadha
Shalat wajib pada waktunya memiliki kedudukan yang sangat besar. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Isra ayat 78 untuk menegakkan shalat pada waktunya. Sedangkan tentang shalat qadha, Rasulullah SAW bersabda bahwa siapa yang tertidur atau lupa shalat maka wajib mengerjakannya ketika ia ingat (HR. Muslim).
Dari sini terlihat bahwa kedua jenis shalat memiliki kewajiban masing-masing, tetapi perlu pemahaman dalam mengatur mana yang lebih diprioritaskan.
Kaidah Fikih dalam Menentukan Prioritas
Para ulama memberikan beberapa kaidah umum:
1. Jika waktu shalat wajib hampir habis, maka shalat ada’ harus didahulukan. Menjaga waktu shalat wajib lebih penting daripada mendahulukan qadha. Ini disebutkan dalam Tuhfatu al-Thullab.
2. Jika waktu shalat wajib masih panjang, qadha boleh didahulukan. Dalam Fathul Mu’in dijelaskan bahwa mendahulukan qadha lebih utama selama tidak mengancam habisnya waktu shalat wajib.
3. Qadha tanpa udzur lebih wajib disegerakan daripada qadha dengan udzur. Qadha yang ditinggalkan karena lalai memiliki prioritas lebih tinggi untuk segera dilakukan.
Pendapat Empat Mazhab
Mazhab Syafi’i berpendapat shalat ada’ umumnya didahulukan karena menjaga waktu adalah kewajiban utama. Qadha boleh didahulukan jika waktunya sangat luas dan utangnya sedikit.
Mazhab Hanafi menilai qadha lebih utama dilakukan terlebih dahulu selama waktu shalat wajib masih panjang. Namun jika hampir habis, shalat ada’ harus didahulukan.
Mazhab Maliki menempatkan shalat ada’ sebagai prioritas utama karena waktunya sedang berlangsung. Qadha dikerjakan setelahnya, dan dianjurkan dicicil jika jumlahnya banyak.
Mazhab Hambali melihat qadha harus segera ditunaikan, tetapi tidak boleh sampai melalaikan shalat pada waktunya. Ketika waktu sempit, shalat ada’ tetap didahulukan.
Kesimpulan
Dari seluruh penjelasan ulama dan empat mazhab, dapat disimpulkan bahwa prioritas antara shalat qadha dan shalat ada’ bergantung pada kondisi waktunya. Jika waktu shalat wajib hampir habis, maka shalat ada’ harus segera dilaksanakan. Namun jika waktu masih panjang, shalat qadha boleh didahulukan sebagai bentuk pelunasan tanggungan ibadah. Kedua ibadah ini sama-sama wajib, tetapi menjaga waktu shalat memiliki kedudukan lebih tinggi dalam syariat. Dengan memahami kaidah ini, seorang muslim dapat lebih bijak dalam mengatur ibadah dan menjaga kualitas ketaatannya kepada Allah SWT.
ARTIKEL14/11/2025 | Yessi Ade Lia Putri
Mana yang Lebih Utama: Menabung atau Bersedekah?
Mana yang Lebih Utama: Menabung atau Bersedekah? Memahami Prioritas Menurut Islam
Menabung atau bersedekah: mana yang lebih utama? Pelajari panduan fikih, prioritas ibadah, dan cara menyeimbangkan keduanya sesuai prinsip Islam.
Dalam kehidupan modern, dua hal yang sering menjadi pertimbangan seorang Muslim adalah menabung untuk masa depan dan bersedekah sebagai bentuk ibadah. Keduanya sama-sama baik, sama-sama bermanfaat, dan sama-sama dianjurkan. Namun, mana yang seharusnya didahulukan? Apakah menyimpan uang untuk kebutuhan pribadi lebih utama, ataukah memberikan sebagian harta kepada orang lain lebih besar pahalanya?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu memahami prinsip prioritas dalam Islam, tujuan dari harta, serta bagaimana syariat menuntun kita mengatur keuangan secara seimbang.
1. Menabung: Upaya Perencanaan dan Tanggung Jawab
Menabung adalah tindakan menjaga harta untuk kebutuhan yang akan datang. Islam menganjurkan umatnya untuk tidak hidup boros dan berpikir jauh ke depan. Rasulullah SAW pernah menyimpan makanan untuk keluarganya selama setahun—ini menjadi dasar bahwa menyiapkan cadangan untuk masa depan bukan perbuatan tercela.
Menabung menghindarkan seseorang dari:
berhutang tanpa kebutuhan,
kesulitan di masa depan,
ketergantungan kepada orang lain.
Karena itu, menabung termasuk bentuk ikhtiar dan tanggung jawab terhadap diri sendiri dan keluarga. Allah SWT berfirman agar manusia memperhatikan apa yang dipersiapkannya untuk hari esok (QS. Al-Hasyr: 18). Meskipun ayat ini berkaitan dengan akhirat, ulama menjelaskan bahwa perencanaan dunia juga termasuk perbuatan baik.
Namun, menabung memiliki batas. Ia tidak boleh sampai membuat seseorang kikir atau enggan berbagi. Menabung adalah sarana, bukan tujuan utama.
2. Sedekah: Amalan yang Mengundang Keberkahan
Sedekah memiliki kedudukan istimewa dalam Islam. Banyak ayat dan hadis menjelaskan bahwa sedekah dapat:
melapangkan rezeki,
menghapus dosa,
menolak bala,
menghadirkan kebahagiaan batin,
membuka pintu-pintu keberkahan.
Dalam satu hadis disebutkan: “Harta tidak akan berkurang karena sedekah.” Ini menunjukkan bahwa sedekah bukan sekadar memberi, tetapi juga investasi spiritual yang kembali kepada pelakunya.
Sedekah juga menanamkan sifat empati, kepedulian, dan rasa cukup terhadap apa yang dimiliki. Bahkan sedekah kecil dapat mencairkan hati yang keras dan menghapus rasa sombong.
Namun, seperti halnya menabung, sedekah harus dilakukan dengan penuh kesadaran dan tidak memaksa diri hingga menimbulkan kesulitan.
3. Mana yang Lebih Utama? Menimbang Berdasarkan Kondisi
Islam tidak memberikan jawaban kaku antara menabung atau sedekah. Keduanya bisa menjadi lebih utama tergantung kondisi seseorang.
a. Jika seseorang memiliki kebutuhan mendesak atau tanggungan penting
Misalnya:
kebutuhan keluarga,
biaya sekolah anak,
dana darurat,
kebutuhan pokok,
risiko pekerjaan yang tidak stabil.
Dalam kondisi ini, menabung lebih utama. Ulama menjelaskan bahwa memenuhi kebutuhan diri dan keluarga termasuk sedekah yang paling utama.
Rasulullah SAW bersabda: “Sebaik-baik sedekah adalah kepada keluarga.”
Artinya, memastikan kebutuhan keluarga terpenuhi juga termasuk ibadah.
b. Jika kondisi finansial aman dan kebutuhan pokok terpenuhi
Maka sedekah lebih utama, terutama jika:
ada tetangga atau saudara yang membutuhkan,
ada kesempatan membantu orang lain,
ada program kebaikan yang bisa didukung,
seseorang ingin menambah pahala dan keberkahan.
Pada keadaan ini, menahan harta hanya untuk menabung bisa menjadi bentuk kekikiran halus. Sedekah menjadi cara membersihkan harta dan hati.
4. Menabung dan Sedekah Bisa Sejalan
Islam selalu mendorong keseimbangan. Tidak perlu memilih salah satu secara ekstrem. Yang terbaik adalah menggabungkan keduanya:
sisihkan sebagian untuk tabungan,
sisihkan sebagian untuk sedekah.
Misalnya membagi pendapatan dengan formula:
70% kebutuhan,
20% tabungan,
10% sedekah.
Atau menyesuaikan kemampuan pribadi. Yang penting, sedekah tidak ditinggalkan meskipun sedikit. Rasulullah SAW bersabda: “Lindungi dirimu dari api neraka walau dengan sedekah separuh kurma.”
Ini menunjukkan bahwa sedekah kecil tetap bernilai besar.
5. Panduan Menentukan Prioritas Secara Bijak
Beberapa prinsip berikut bisa digunakan untuk mengambil keputusan:
1. Dahulukan kewajiban, termasuk kebutuhan keluarga.
Jika kebutuhan dasar belum terpenuhi, menabung lebih utama.
2. Jangan tinggalkan sedekah meski sedikit.
Sedekah rutin meski kecil lebih dicintai Allah daripada sedekah besar sesekali.
3. Hindari menabung untuk tujuan keserakahan.
Tabungan bukan untuk memperbanyak harta semata, tetapi menjaga masa depan.
4. Jangan bersedekah hingga mengabaikan diri sendiri.
Islam melarang seseorang bersedekah sampai ia menjadi beban bagi orang lain.
5. Jadikan sedekah sebagai kunci keberkahan tabungan.
Sedekah membuka pintu rezeki, sehingga menabung pun menjadi lebih ringan.
Kesimpulan
Jadi, mana yang lebih utama: menabung atau bersedekah? Jawabannya tergantung kondisi:
Jika kebutuhan pokok belum terpenuhi, menabung lebih utama.
Jika sudah tercukupi, bersedekah menjadi lebih utama.
Yang terbaik adalah menyeimbangkan keduanya.
Islam mengajarkan keseimbangan antara menjaga diri dan keluarga, sekaligus peduli terhadap sesama. Dengan menata keuangan sesuai syariat, seseorang akan mendapatkan keberkahan, ketenangan, dan rezeki yang lebih lapang.
Mana yang Lebih Utama: Menabung atau Bersedekah? Memahami Prioritas Menurut Islam
Menabung atau bersedekah: mana yang lebih utama? Pelajari panduan fikih, prioritas ibadah, dan cara menyeimbangkan keduanya sesuai prinsip Islam.
Dalam kehidupan modern, dua hal yang sering menjadi pertimbangan seorang Muslim adalah menabung untuk masa depan dan bersedekah sebagai bentuk ibadah. Keduanya sama-sama baik, sama-sama bermanfaat, dan sama-sama dianjurkan. Namun, mana yang seharusnya didahulukan? Apakah menyimpan uang untuk kebutuhan pribadi lebih utama, ataukah memberikan sebagian harta kepada orang lain lebih besar pahalanya?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu memahami prinsip prioritas dalam Islam, tujuan dari harta, serta bagaimana syariat menuntun kita mengatur keuangan secara seimbang.
1. Menabung: Upaya Perencanaan dan Tanggung Jawab
Menabung adalah tindakan menjaga harta untuk kebutuhan yang akan datang. Islam menganjurkan umatnya untuk tidak hidup boros dan berpikir jauh ke depan. Rasulullah SAW pernah menyimpan makanan untuk keluarganya selama setahun—ini menjadi dasar bahwa menyiapkan cadangan untuk masa depan bukan perbuatan tercela.
Menabung menghindarkan seseorang dari:
berhutang tanpa kebutuhan,
kesulitan di masa depan,
ketergantungan kepada orang lain.
Karena itu, menabung termasuk bentuk ikhtiar dan tanggung jawab terhadap diri sendiri dan keluarga. Allah SWT berfirman agar manusia memperhatikan apa yang dipersiapkannya untuk hari esok (QS. Al-Hasyr: 18). Meskipun ayat ini berkaitan dengan akhirat, ulama menjelaskan bahwa perencanaan dunia juga termasuk perbuatan baik.
Namun, menabung memiliki batas. Ia tidak boleh sampai membuat seseorang kikir atau enggan berbagi. Menabung adalah sarana, bukan tujuan utama.
2. Sedekah: Amalan yang Mengundang Keberkahan
Sedekah memiliki kedudukan istimewa dalam Islam. Banyak ayat dan hadis menjelaskan bahwa sedekah dapat:
melapangkan rezeki,
menghapus dosa,
menolak bala,
menghadirkan kebahagiaan batin,
membuka pintu-pintu keberkahan.
Dalam satu hadis disebutkan: “Harta tidak akan berkurang karena sedekah.” Ini menunjukkan bahwa sedekah bukan sekadar memberi, tetapi juga investasi spiritual yang kembali kepada pelakunya.
Sedekah juga menanamkan sifat empati, kepedulian, dan rasa cukup terhadap apa yang dimiliki. Bahkan sedekah kecil dapat mencairkan hati yang keras dan menghapus rasa sombong.
Namun, seperti halnya menabung, sedekah harus dilakukan dengan penuh kesadaran dan tidak memaksa diri hingga menimbulkan kesulitan.
3. Mana yang Lebih Utama? Menimbang Berdasarkan Kondisi
Islam tidak memberikan jawaban kaku antara menabung atau sedekah. Keduanya bisa menjadi lebih utama tergantung kondisi seseorang.
a. Jika seseorang memiliki kebutuhan mendesak atau tanggungan penting
Misalnya:
kebutuhan keluarga,
biaya sekolah anak,
dana darurat,
kebutuhan pokok,
risiko pekerjaan yang tidak stabil.
Dalam kondisi ini, menabung lebih utama. Ulama menjelaskan bahwa memenuhi kebutuhan diri dan keluarga termasuk sedekah yang paling utama.
Rasulullah SAW bersabda: “Sebaik-baik sedekah adalah kepada keluarga.”
Artinya, memastikan kebutuhan keluarga terpenuhi juga termasuk ibadah.
b. Jika kondisi finansial aman dan kebutuhan pokok terpenuhi
Maka sedekah lebih utama, terutama jika:
ada tetangga atau saudara yang membutuhkan,
ada kesempatan membantu orang lain,
ada program kebaikan yang bisa didukung,
seseorang ingin menambah pahala dan keberkahan.
Pada keadaan ini, menahan harta hanya untuk menabung bisa menjadi bentuk kekikiran halus. Sedekah menjadi cara membersihkan harta dan hati.
4. Menabung dan Sedekah Bisa Sejalan
Islam selalu mendorong keseimbangan. Tidak perlu memilih salah satu secara ekstrem. Yang terbaik adalah menggabungkan keduanya:
sisihkan sebagian untuk tabungan,
sisihkan sebagian untuk sedekah.
Misalnya membagi pendapatan dengan formula:
70% kebutuhan,
20% tabungan,
10% sedekah.
Atau menyesuaikan kemampuan pribadi. Yang penting, sedekah tidak ditinggalkan meskipun sedikit. Rasulullah SAW bersabda: “Lindungi dirimu dari api neraka walau dengan sedekah separuh kurma.”
Ini menunjukkan bahwa sedekah kecil tetap bernilai besar.
5. Panduan Menentukan Prioritas Secara Bijak
Beberapa prinsip berikut bisa digunakan untuk mengambil keputusan:
1. Dahulukan kewajiban, termasuk kebutuhan keluarga.
Jika kebutuhan dasar belum terpenuhi, menabung lebih utama.
2. Jangan tinggalkan sedekah meski sedikit.
Sedekah rutin meski kecil lebih dicintai Allah daripada sedekah besar sesekali.
3. Hindari menabung untuk tujuan keserakahan.
Tabungan bukan untuk memperbanyak harta semata, tetapi menjaga masa depan.
4. Jangan bersedekah hingga mengabaikan diri sendiri.
Islam melarang seseorang bersedekah sampai ia menjadi beban bagi orang lain.
5. Jadikan sedekah sebagai kunci keberkahan tabungan.
Sedekah membuka pintu rezeki, sehingga menabung pun menjadi lebih ringan.
Kesimpulan
Jadi, mana yang lebih utama: menabung atau bersedekah? Jawabannya tergantung kondisi:
Jika kebutuhan pokok belum terpenuhi, menabung lebih utama.
Jika sudah tercukupi, bersedekah menjadi lebih utama.
Yang terbaik adalah menyeimbangkan keduanya.
Islam mengajarkan keseimbangan antara menjaga diri dan keluarga, sekaligus peduli terhadap sesama. Dengan menata keuangan sesuai syariat, seseorang akan mendapatkan keberkahan, ketenangan, dan rezeki yang lebih lapang.
ARTIKEL14/11/2025 | indri irmayanti
Mana yang Harus Didahulukan: Kebutuhan atau Keinginan?
Mana yang Harus Didahulukan: Kebutuhan atau Keinginan?
Dalam kehidupan modern yang serba cepat dan penuh godaan, manusia sering dihadapkan pada pilihan antara mendahulukan kebutuhan atau memenuhi keinginan. Keduanya penting, namun tingkat urgensinya berbeda. Banyak orang terjebak konsumsi berlebihan karena tidak bisa membedakan mana yang benar-benar penting, sehingga menghadapi masalah finansial, emosional, bahkan spiritual.
Memahami Perbedaan Kebutuhan dan Keinginan
Secara sederhana, needs adalah hal-hal penting yang wajib dipenuhi agar hidup berjalan normal dan stabil, seperti makanan, pakaian layak, tempat tinggal, pendidikan dasar, dan kesehatan. Sedangkan wants bersifat tambahan, untuk kepuasan, gaya hidup, atau kenyamanan ekstra.
Tiga perbedaan utama:
1. Needs bersifat mendesak, wants bisa ditunda.
2. Needs membuat hidup berjalan, wants membuatnya lebih menyenangkan.
3. Needs berdampak jangka panjang, wants biasanya hanya memberi kebahagiaan sesaat.
Tanpa pemahaman ini, seseorang mudah tergoda untuk mengutamakan hal yang tidak penting karena gengsi atau pengaruh lingkungan.
Pandangan Islam tentang Prioritas Hidup
Islam menekankan prinsip: “Dar’ul mafsadat muqaddam ‘ala jalbil mashalih”, artinya mencegah kerusakan lebih utama daripada mencari keuntungan. Hal-hal penting termasuk dharuriyat—perkara yang harus ada agar manusia tidak mengalami kesulitan hidup: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Memenuhi kebutuhan pokok seperti makan, kesehatan, dan pendidikan menjadi kewajiban.
Rasulullah SAW juga mengingatkan pentingnya pengelolaan harta: “Sebaik-baik harta adalah harta yang berada di tangan orang saleh.” (HR. Ahmad). Prioritas utama adalah memenuhi kewajiban, baru kemudian hal tambahan.
Psikologi: Mengapa Keinginan Lebih Menggoda?
Manusia lebih mudah tergoda keinginan karena terkait hormon dopamin, hormon “reward” yang muncul saat membeli barang baru atau memanjakan diri. Hal-hal penting biasanya tidak memicu sensasi, sehingga banyak orang mengabaikannya. Akibatnya muncul fenomena belanja impulsif, ikut tren, membeli barang untuk gengsi, atau FOMO (fear of missing out). Tanpa kontrol diri, seseorang bisa terjebak dalam lingkaran konsumtif.
Manajemen Keuangan: Kebutuhan Harus Didahulukan
Prinsip umum manajemen keuangan: “Prioritaskan kebutuhan, batasi keinginan.” Jika hal penting tidak terpenuhi, hidup akan terganggu. Memenuhi keinginan terlebih dahulu berpotensi menyebabkan defisit anggaran, utang konsumtif, dan stres finansial.
Beberapa alasannya:
Hal penting bersifat jangka panjang, misalnya pendidikan dan kesehatan.
Keinginan cepat hilang, tidak memiliki nilai ekonomi, dan tidak berdampak pada masa depan.
Hal penting menciptakan stabilitas, sedangkan keinginan hanya memberi kebahagiaan sesaat.
Cara Menentukan Prioritas
1. Metode 3 tingkatan: Needs – Wants – Luxury. Needs penting, Wants untuk tambahan, Luxury untuk barang mewah yang sebenarnya tidak perlu.
2. Tunda keputusan 24 jam: Jika bukan kebutuhan, menunda membeli dapat meredakan keinginan sesaat.
3. Catat pengeluaran bulanan: Dengan mengetahui pola pengeluaran, seseorang bisa lebih bijak dalam mengatur keuangan.
Keinginan Tidak Salah, Asal Tepat Prioritas
Keinginan boleh dipenuhi selama tidak melampaui batas, tidak mengganggu kebutuhan utama, tidak boros, dan tidak menimbulkan utang. Islam menganjurkan menikmati dunia dengan cara yang halal dan seimbang. Allah berfirman: “Makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf: 31).
Kesimpulan
Kebutuhan dan keinginan sama-sama bagian dari hidup. Namun, ketika keduanya berbenturan, kebutuhan harus didahulukan karena berkaitan dengan keberlangsungan hidup, stabilitas, dan tanggung jawab. Keinginan hanya boleh diikuti jika kebutuhan telah terpenuhi dan kondisi keuangan memungkinkan. Dengan memahami prioritas, seseorang akan lebih tenang dalam mengambil keputusan, lebih bijak dalam mengelola keuangan, dan lebih stabil secara mental serta spiritual. Mengutamakan kebutuhan bukan berarti menghilangkan kebahagiaan, tetapi menata hidup agar tetap seimbang, bijak, dan sesuai prinsip Islam serta manajemen diri.
ARTIKEL14/11/2025 | Yessi Ade Lia Putri
Mendahulukan yang Wajib, Menyempurnakan dengan Sunnah
Dalam kehidupan sehari-hari, banyak di antara kita yang begitu semangat melakukan amalan sunnah seperti shalat tahajud, dhuha, atau puasa Senin-Kamis. Namun ironisnya, ada yang masih lalai dalam menunaikan kewajiban seperti shalat lima waktu atau membayar zakat. Padahal dalam Islam, ada urutan prioritas yang tidak boleh terbalik. Ibadah yang menjadi keharusan harus menjadi pondasi utama, sedangkan ibadah sunnah berfungsi sebagai penyempurna dan pelengkap.
Rasulullah ? bersabda dalam hadis qudsi: “Tidaklah seorang hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada apa yang Aku wajibkan kepadanya.” (HR. Bukhari)
Hadis ini menunjukkan bahwa menjalankan perintah Allah adalah cara paling dicintai-Nya untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Amalan sunnah memang memiliki nilai besar, tetapi tidak akan bermakna jika yang utama masih diabaikan. Maka, dalam perjalanan menuju ketakwaan, kuncinya adalah mendahulukan yang diperintahkan Allah, lalu menyempurnakan dengan sunnah.
Makna dan Kedudukan Wajib dan Sunnah
Dalam ajaran Islam, hal yang diwajibkan adalah segala perintah Allah yang jika dilakukan mendapat pahala dan jika ditinggalkan berdosa. Sedangkan sunnah adalah amalan yang jika dilakukan mendapat pahala, namun jika ditinggalkan tidak berdosa. Keduanya memiliki nilai dan tempat masing-masing dalam ibadah seorang Muslim.
Ibadah yang menjadi keharusan ibarat pondasi bangunan. Ia menentukan kuat atau rapuhnya bangunan keimanan seseorang. Tanpa pondasi itu, seindah apa pun amalan sunnah yang dikerjakan, akan mudah runtuh karena tidak berdiri di atas dasar yang kokoh.
Sebaliknya, amalan sunnah ibarat hiasan yang memperindah rumah. Ia menambah nilai, melengkapi kekurangan, dan menunjukkan kesungguhan hati seorang hamba dalam mencintai Tuhannya. Inilah keseimbangan yang indah dalam Islam — antara ketaatan karena perintah dan ketulusan karena cinta.
Menata Prioritas Ibadah
Untuk menata prioritas, langkah pertama adalah memastikan kewajiban telah ditunaikan dengan baik. Hal ini menjadi fondasi agar amalan lain memiliki nilai di sisi Allah. Berikut beberapa cara sederhana yang bisa diterapkan:
Jaga shalat tepat waktu, kemudian tambahkan dengan shalat sunnah rawatib untuk menyempurnakan kekurangannya.
Tunaikan zakat dengan benar, lalu lanjutkan dengan sedekah sukarela agar keberkahan harta semakin luas.
Laksanakan puasa Ramadhan secara sempurna, kemudian perbanyak puasa sunnah seperti Senin-Kamis untuk menjaga semangat spiritual sepanjang tahun.
Hormati orang tua dan keluarga, lalu perkuat dengan silaturahmi kepada kerabat dan sahabat agar hubungan sosial tetap terjaga.
Ketika urutan ini dijaga, ibadah kita menjadi lebih seimbang antara perintah utama dan amalan penyempurna. Hati pun terasa lebih tenang karena dasar ketaatan telah kokoh, sementara cinta kepada Allah tumbuh melalui amal yang dilakukan dengan keikhlasan.
Mendahulukan hal yang diwajibkan bukan berarti mengabaikan sunnah. Justru, setelah seseorang menunaikan kewajiban dengan baik, amalan tambahan akan semakin bermakna. Dari sinilah terbentuk keimanan yang utuh — taat karena perintah, dan tekun karena cinta.
ARTIKEL13/11/2025 | indri irmayanti
Mengapa Banyak Orang Sibuk Mengejar Sunnah, Tapi Lupa pada yang Wajib?
Mengapa Banyak Orang Sibuk Mengejar Amalan Sunnah tapi Lupa pada yang Wajib?
Dalam kehidupan beragama, setiap muslim tentu ingin menjadi hamba yang taat dan dekat dengan Allah SWT. Namun, semangat itu sering kali tidak diiringi dengan pemahaman yang benar tentang prioritas dalam beribadah. Banyak orang bersemangat menjalankan amalan sunnah seperti umroh, sedekah besar-besaran, atau tasyakuran, tetapi mengabaikan kewajiban utama seperti menafkahi keluarga, membayar utang, atau menunaikan zakat.
Padahal, dalam kaidah fiqih ditegaskan: ???????? ???????? ???? ????????? “Amalan wajib lebih utama daripada amalan sunnah.”
Kaidah ini menjadi pengingat penting bahwa ibadah harus ditempatkan sesuai kadar kewajibannya. Allah SWT lebih mencintai amalan wajib karena ia merupakan bentuk ketaatan sejati dan pengakuan terhadap perintah-Nya. Rasulullah SAW bersabda dalam hadits Qudsi:
“Tidak ada amal seorang hamba yang paling Aku cintai selain apa yang Aku wajibkan kepadanya. Dan hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan sunnah hingga Aku mencintainya.” (HR. Bukhari)
Hadits ini menjelaskan bahwa jalan menuju cinta Allah dimulai dengan menunaikan kewajiban, baru kemudian disempurnakan dengan ibadah sunnah. Amalan sunnah tidak akan bernilai tinggi bila kewajiban masih diabaikan.
Sebagai contoh, seseorang yang masih memiliki utang atau tanggungan keluarga, namun memaksakan diri menggelar acara besar atau berangkat umroh, sesungguhnya telah menyalahi prinsip prioritas. Islam tidak mengajarkan keberkahan melalui pelanggaran tanggung jawab. Justru keberkahan datang dari menunaikan kewajiban dengan penuh keikhlasan dan tanggung jawab.
Para ulama juga menegaskan pentingnya mendahulukan yang wajib. Imam al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum ad-Din menyebutkan:
“Barang siapa sibuk dengan amal sunnah namun melalaikan yang wajib, maka amal sunnahnya tertolak.”
Imam Nawawi menambahkan dalam Syarah Shahih Muslim:
“Wajib itu jika dikerjakan mendapat pahala besar dan jika ditinggalkan berdosa, sedangkan sunnah jika ditinggalkan tidak berdosa. Maka mendahulukan wajib atas sunnah adalah keharusan.”
Fenomena masyarakat yang lebih tertarik pada amalan sunnah sering kali muncul karena kurangnya pemahaman tentang fiqh al-awlawiyyat—ilmu yang mengajarkan tentang skala prioritas dalam beragama. Banyak yang mengejar amalan sunnah karena terlihat lebih “spiritual” atau menarik perhatian orang lain, padahal hikmah terbesar justru terletak pada ketaatan terhadap kewajiban.
Menunaikan kewajiban juga memiliki hikmah besar bagi kehidupan. Shalat menjaga agama, zakat menjaga harta dan solidaritas sosial, puasa menjaga jiwa, dan nafkah menjaga keberlangsungan keluarga. Semua itu termasuk bagian dari maqashid asy-syariah, tujuan utama syariat Islam yang menjaga kehidupan manusia secara utuh dan seimbang.
Karena itu, langkah terbaik bagi setiap muslim adalah menata ulang prioritas ibadah. Dahulukan yang wajib, laksanakan dengan penuh keikhlasan, kemudian sempurnakan dengan amalan sunnah seperti sedekah, shalat malam, dan puasa sunnah. Ibadah yang seimbang inilah yang membawa ketenangan hati dan keberkahan hidup.
Kesimpulannya, amalan wajib adalah bukti cinta sejati seorang hamba kepada Allah SWT. Amalan sunnah menjadi pelengkap yang memperindah ibadah, bukan pengganti kewajiban. Jangan sampai semangat mengejar sunnah membuat kita lalai terhadap yang wajib. Keberkahan hidup tidak terletak pada banyaknya amalan tambahan, tetapi pada kesungguhan dalam menunaikan kewajiban yang Allah perintahkan.
ARTIKEL13/11/2025 | Yessi Ade Lia Putri
Mandi Wajib Setelah Melahirkan: Segera atau Menunggu Nifas Selesai?
Bingung mandi wajib setelah melahirkan atau menunggu nifas selesai? Simak panduan fikih Syafi’iyyah agar ibadah tetap sah dan aman.
Dalam ajaran Islam, kebersihan dan kesucian memiliki kedudukan yang sangat penting, terutama terkait sahnya ibadah. Salah satu wujud kesucian ini adalah mandi wajib, yaitu mandi yang dilakukan untuk menghilangkan hadas besar. Bagi wanita, salah satu kondisi yang mewajibkan mandi adalah setelah melahirkan, yang disebut mandi wiladah. Namun, dalam praktiknya muncul pertanyaan: apakah mandi wajib dilakukan segera setelah melahirkan, atau menunggu masa nifas selesai?
Pertanyaan ini sangat penting karena terkait sahnya shalat, puasa, dan ibadah lainnya, serta menjaga kesucian sebelum hubungan suami istri. Artikel ini akan membahas pandangan fikih terkait mandi wiladah, perbedaan dengan nifas, serta urutan prioritas yang dianjurkan oleh para ulama.
Mandi Wiladah: Pengertian dan Dasar Hukum
Dalam kitab-kitab fikih Syafi’iyyah, disebutkan enam kondisi yang mewajibkan mandi:
Masuknya kepala kemaluan laki-laki ke dalam kemaluan perempuan
Keluarnya air mani
Suci dari haid
Suci dari nifas
Melahirkan (mandi wiladah)
Kematian
Seorang wanita yang baru melahirkan diwajibkan mandi, disebut mandi wiladah. Hal ini berlaku bagi semua kondisi kelahiran: bayi lahir utuh, janin, atau gumpalan darah dan daging. Bahkan jika melahirkan dalam keadaan kering, mandi ini tetap dianjurkan.
Menurut Al Fiqhiy Al Manhaji ‘ala Manhaji Imam Asy-Syafi’i, wanita yang melahirkan hukumnya seperti orang junub karena bayi berasal dari air mani ayah dan ibu. Darah yang keluar saat melahirkan dianggap darah fasad, sedangkan darah yang muncul sesudahnya disebut darah nifas, yang memiliki aturan tersendiri.
Asy-Syathiri dalam Nailur Rajaa bi Syarhi Safinatin Najaa menekankan bahwa mandi wiladah wajib dilakukan meski bayi lahir dalam kondisi kecil atau hanya berupa gumpalan daging, karena setiap kelahiran menimbulkan hadas besar.
Perbedaan Pendapat Ulama tentang Mandi Wiladah dan Nifas
Ulama berbeda pendapat terkait apakah mandi wiladah harus dilakukan segera atau menunggu nifas selesai:
Pendapat yang menunda mandi: Ulama Malikiyyah dan Hanabilah, seperti Ibnu Qudamah Al-Maqdisi (Al-Mughni 1/429) dan referensi dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah (41/15), berpendapat mandi tidak diwajibkan segera. Menurut mereka, syariat hanya mewajibkan mandi bagi wanita yang suci dari nifas, sehingga mandi wiladah bukan kewajiban mutlak.
Pendapat yang mewajibkan mandi segera: Ulama Syafi’iyyah, termasuk pendapat Lajnah Da’imah lil Ifta’, berpendapat mandi wiladah wajib dilakukan segera setelah melahirkan, meski darah nifas belum keluar. Alasan mereka, kelahiran hampir selalu menimbulkan nifas, dan mandi wajib memastikan wanita suci untuk menunaikan ibadah shalat dan puasa, serta memperbolehkan hubungan suami istri setelahnya.
Pendapat pertengahan: Ulama seperti Syaikh Ibn ‘Utsaimin (Syarhul Mumti’ 1/281) menyarankan sikap pertengahan. Ia menekankan mandi wajib setelah melahirkan tetap dianjurkan, tetapi memperhatikan kondisi fisik dan keluarnya darah. Hal ini mengakomodasi perbedaan pendapat sekaligus menjaga kesucian dan kenyamanan ibu.
Mandi Wiladah dan Nifas: Mana yang Didahulukan?
Secara fikih, nifas adalah darah yang keluar setelah melahirkan dan menandai kondisi biologis tertentu, berlangsung beberapa hari. Sedangkan mandi wiladah adalah mandi yang diwajibkan karena melahirkan itu sendiri, terlepas dari adanya darah.
Dari perspektif mazhab Syafi’iyyah:
Mandi wiladah dilakukan segera setelah melahirkan untuk memastikan kesucian dari hadas besar, terutama jika ibu ingin melaksanakan shalat atau puasa.
Nifas tetap dihitung sebagai darah yang menunda pelaksanaan ibadah tertentu sampai selesai dan mandi dilakukan.
Dengan demikian, secara praktis: mandi wiladah didahulukan, meskipun nifas masih berlangsung. Ibu bisa mandi untuk bersuci dari hadas besar, lalu menunaikan shalat atau puasa. Namun, jika darah nifas keluar setelahnya, urusan nifas tetap diikuti sampai darah berhenti sebelum bersetubuh atau melakukan ibadah tertentu yang memerlukan kesucian penuh.
Contoh Praktis dan Tips bagi Wanita Muslimah
Segera mandi setelah melahirkan: Misalnya seorang ibu melahirkan di pagi hari dan kondisi fisiknya memungkinkan, mandi wiladah (mandi wajib) bisa dilakukan sebelum waktu shalat Dhuhur agar ibadahnya sah.
Perhatikan kondisi fisik: Jika terlalu lelah, mandi bisa dilakukan secara bertahap atau dengan bantuan keluarga.
Pantau darah nifas: Meski mandi sudah dilakukan, nifas tetap dihitung hingga darah berhenti, baru diperbolehkan bersetubuh atau menunaikan ibadah tertentu yang memerlukan kesucian penuh.
Konsultasi medis: Ibu dianjurkan berkonsultasi dengan tenaga medis untuk memastikan kondisi fisik mendukung mandi dan ibadah pasca-persalinan.
Pelaksanaan ibadah: Setelah mandi wajib, ibu bisa menunaikan shalat, puasa, membaca Al-Qur’an, atau amalan sunnah lain yang sebelumnya tertunda.
Kesimpulan
Mandi wajib setelah melahirkan atau mandi wiladah memiliki prioritas tinggi untuk menjaga kesucian dari hadas besar. Dalam konteks fikih Syafi’iyyah:
Mandi wajib (mandi wiladah) didahulukan segera setelah melahirkan, meski nifas belum selesai, agar shalat, puasa, dan ibadah lain tetap sah.
Nifas tetap dihitung sampai darah berhenti; mandi wiladah tidak menggantikan aturan nifas terkait bersetubuh atau ibadah tertentu.
Sikap pertengahan dianjurkan: mandi segera jika kondisi fisik memungkinkan, tetapi perhatikan kenyamanan dan kesehatan ibu.
Dengan mengikuti urutan ini, wanita muslimah dapat menunaikan ibadah dengan sah, sambil tetap menjaga kesucian dan keselamatan pasca-persalinan.
ARTIKEL13/11/2025 | indri irmayanti
Makan Dulu atau Shalat Dulu? Menemukan Keseimbangan antara Kebutuhan Jasmani dan Kekhusyukan Ibadah
Makan Dulu atau Shalat Dulu? Menemukan Keseimbangan antara Kebutuhan Jasmani dan Kekhusyukan Ibadah
Seringkali seorang muslim berada dalam dilema: adzan sudah berkumandang, makanan telah tersaji, dan perut terasa lapar. Pertanyaan sederhana ini sebenarnya menyentuh hal yang lebih dalam: bagaimana Islam mengatur keseimbangan antara kebutuhan jasmani dan tuntunan ruhani dalam beribadah? Apakah mendahulukan makan berarti menomorduakan ibadah, atau justru bagian dari menjaga kekhusyukan shalat?
Rasulullah SAW memberikan panduan melalui sabdanya yang diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:
"Apabila makan malam telah disajikan, maka dahulukanlah makan malam sebelum shalat Maghrib. Dan janganlah kalian tergesa-gesa dalam makan kalian." (HR. Bukhari no. 672, Muslim no. 557)
Hadits ini menekankan bahwa ketika seseorang lapar dan makanan sudah tersedia, dianjurkan makan terlebih dahulu sebelum shalat. Tujuannya bukan karena makanan lebih penting, tetapi agar ibadah dilakukan dengan hati yang tenang dan penuh khusyu’.
Makna dan Hikmah Hadits
Dalam Islam, khusyu’ adalah ruh ibadah. Tanpanya, shalat hanya menjadi gerakan fisik tanpa makna. Allah SWT berfirman:
"Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya." (QS. Al-Mu’minun: 1–2)
Para ulama menegaskan bahwa shalat tanpa khusyu’ tetap sah secara hukum, namun kehilangan nilai di sisi Allah. Rasulullah SAW menganjurkan makan terlebih dahulu agar hati tenang, fokus, dan tidak terganggu oleh rasa lapar. Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menulis: “Disunnahkan makan terlebih dahulu jika makanan telah disajikan dan seseorang membutuhkannya, agar hati tidak terganggu ketika shalat.”
Pandangan Empat Mazhab
Mazhab Syafi’i menekankan bahwa mendahulukan makan diperbolehkan jika makanan sudah tersedia dan seseorang lapar, dengan syarat waktu shalat masih panjang. Mazhab Hambali sejalan, menambahkan bahwa khusyu’ dalam shalat adalah sunnah mu’akkadah, sehingga makan dapat membantu tercapainya kekhusyukan. Mazhab Maliki menegaskan pentingnya keseimbangan: jika seseorang lapar dan waktunya memungkinkan, makan dahulu agar shalat tenang; namun jika waktu hampir habis, shalat harus didahulukan. Mazhab Hanafi menekankan kehati-hatian agar makan tidak dijadikan alasan menunda shalat, dan mendahulukan makan hanyalah mubah atau sunnah tergantung kondisi.
Adab Makan Sebelum Shalat
Walaupun diperbolehkan, Islam menekankan adab: makan secukupnya, tidak berlebihan, jangan tergesa-gesa, dan tetap memperhatikan waktu shalat. Dengan demikian, seseorang bisa menjaga keseimbangan jasmani dan ruhani.
Kapan Makan, Kapan Shalat
Beberapa pedoman praktis dapat diambil:
Jika sangat lapar dan makanan sudah tersaji, makan secukupnya agar shalat dapat dilakukan dengan khusyu’.
Jika waktu shalat hampir habis, shalat harus didahulukan.
Jika tidak terlalu lapar atau makanan belum siap, shalat didahulukan.
Hindari makan berlebihan hingga membuat malas beribadah.
Kesimpulan
Islam mengajarkan keseimbangan antara kebutuhan jasmani dan ruhani. Mendahulukan makan ketika lapar bukan menomorduakan ibadah, tetapi menjaga agar shalat dilakukan dengan sepenuh hati. Semua amalan, baik makan maupun ibadah, bertujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan kesadaran dan keikhlasan. Dengan memahami prinsip ini, seorang muslim mampu menata hidupnya agar jasmani terjaga, hati tenang, dan ibadah maksimal.
ARTIKEL13/11/2025 | Yessi Ade Lia Putri
Mengejar Shalat Tahajud tapi Shalat Subuh Jadi Kesiangan?
Shalat tahajud dikenal sebagai ibadah malam yang sangat istimewa. Rasulullah SAW bersabda bahwa shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam (HR. Muslim). Karena itu, banyak orang bersemangat untuk bangun di sepertiga malam, mendirikan tahajud, dan bermunajat kepada Allah SWT.
Namun sayangnya, tak jarang semangat itu justru menimbulkan masalah baru. Setelah tahajud, seseorang tertidur kembali dan akhirnya kesiangan shalat Subuh. Lalu, apakah ibadah seperti itu tetap bernilai di sisi Allah?
Dalam Islam, urutan prioritas ibadah sangat jelas. Perkara wajib selalu lebih utama daripada perkara sunnah. Allah berfirman dalam hadits Qudsi:
“Tidak ada amalan yang paling Aku cintai kecuali apa yang telah Aku wajibkan atas hamba-Ku...” (HR. Bukhari)
Dari hadits ini, para ulama menjelaskan bahwa amalan wajib merupakan bentuk ketaatan yang paling dicintai Allah. Sementara amalan sunnah hanyalah pelengkap dan penyempurna dari yang wajib. Maka, jika seseorang mendahulukan yang sunnah namun lalai terhadap yang wajib, berarti ia telah salah menempatkan prioritas.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan:
“Allah tidak akan menerima amalan sunnah dari seorang hamba sebelum ia menunaikan yang wajib.”
Artinya, shalat tahajud tidak akan bernilai sempurna jika membuat seseorang tertinggal Subuh. Tahajud seharusnya menjadi penguat semangat dalam ibadah wajib, bukan penghalang untuk menunaikannya.
Oleh karena itu, jika ingin meraih keutamaan tahajud tanpa kehilangan Subuh, aturlah waktu istirahat dengan bijak. Bangun di waktu mendekati Subuh — misalnya 30–40 menit sebelumnya — agar masih sempat shalat tahajud dua rakaat dan tetap siap menyambut Subuh tepat waktu.
Ibadah yang benar bukan hanya dinilai dari jumlah rakaat, tetapi dari ketepatan dalam menunaikan apa yang Allah perintahkan terlebih dahulu. Menjaga shalat Subuh tepat waktu jauh lebih utama daripada tahajud yang membuat kita lalai dari kewajiban.
Karena pada akhirnya, Allah tidak menilai siapa yang paling banyak beribadah, melainkan siapa yang paling taat dalam menunaikan perintah-Nya sesuai urutan yang benar.
ARTIKEL12/11/2025 | indri irmayanti
Mana yang Harus Didahulukan Haji atau Umroh?
Setiap muslim tentu memiliki keinginan besar untuk menunaikan ibadah ke Tanah Suci, baik itu haji maupun umroh. Kedua ibadah ini memiliki keutamaan dan nilai spiritual yang sangat tinggi, karena sama-sama dilaksanakan di Baitullah, tempat yang dimuliakan Allah SWT.
Namun, sering muncul pertanyaan: mana yang seharusnya didahulukan, haji atau umroh? Untuk menjawabnya, perlu dipahami lebih dalam mengenai kedudukan, hukum, dan kondisi yang melatarbelakangi kedua ibadah tersebut.
Sejarah dan Makna Ibadah Haji dan Umroh
Asal-usul ibadah haji dan umroh berawal dari perintah Allah SWT kepada Nabi Ibrahim AS sebagaimana tercantum dalam surat Al-Hajj ayat 27:
“Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus, mereka datang dari segenap penjuru yang jauh.”
Ayat ini menjadi dasar bagi manusia untuk datang ke Baitullah guna melaksanakan ibadah haji. Nabi Ibrahim AS bersama putranya, Nabi Ismail AS, membangun Ka’bah sebagai rumah pertama yang dijadikan tempat ibadah bagi manusia.
Sejak saat itu, haji dan umroh menjadi simbol ketaatan, pengorbanan, dan penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah SWT. Pelaksanaannya sempat menyimpang di masa jahiliyah, hingga akhirnya Nabi Muhammad SAW datang dan menyempurnakan tata cara ibadah ini sesuai dengan syariat Islam.
Hukum Haji dan Umroh
Secara bahasa, haji berarti menyengaja atau menuju ke suatu tempat. Dalam konteks syariat, haji berarti menyengaja datang ke Baitullah untuk melaksanakan ibadah tertentu pada waktu tertentu, dengan syarat dan rukun yang telah ditentukan.
Haji merupakan rukun Islam kelima, sebagaimana sabda Rasulullah SAW dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim:
“Islam dibangun atas lima perkara: bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan salat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadan, dan menunaikan haji bagi yang mampu.”
Karena itu, hukum haji adalah wajib bagi setiap muslim yang telah memenuhi syarat istitha’ah, yaitu mampu secara fisik, finansial, dan keamanan perjalanan.
Sementara itu, umroh secara bahasa berarti berkunjung atau berziarah. Dalam syariat, umroh adalah ibadah yang dilakukan dengan cara thawaf di Ka’bah, sa’i antara Shafa dan Marwah, dan tahallul (bercukur).
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukumnya.
Mazhab Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa umroh hukumnya sunnah muakkadah (sangat dianjurkan).
Mazhab Syafi’i dan Hanbali berpendapat bahwa umroh wajib dilakukan sekali seumur hidup bagi yang mampu.
Perbedaan dan Prioritas Antara Haji dan Umroh
Meskipun memiliki kesamaan dalam rukun dan tempat pelaksanaan, haji dan umroh berbeda dalam waktu dan ketentuannya. Haji hanya bisa dilakukan pada waktu tertentu, yaitu pada bulan Dzulhijjah, sedangkan umroh bisa dilaksanakan kapan saja sepanjang tahun.
Dalam hal prioritas, seluruh ulama sepakat bahwa haji wajib didahulukan apabila seseorang hanya mampu melaksanakan salah satunya. Hal ini karena haji merupakan kewajiban dan termasuk rukun Islam. Imam An-Nawawi menjelaskan:
“Apabila seseorang hanya mampu melaksanakan salah satu antara haji dan umroh, maka yang wajib adalah mendahulukan haji, karena ia termasuk dalam rukun Islam.”
Namun dalam praktiknya, banyak umat Islam yang menunaikan umroh terlebih dahulu sebelum berhaji, terutama di negara seperti Indonesia yang memiliki antrean haji panjang. Umroh dapat menjadi persiapan spiritual sekaligus latihan dalam memahami tata cara ibadah haji agar lebih siap secara mental dan fisik saat waktunya tiba.
Nilai Spiritual dan Hikmah
Baik haji maupun umroh, keduanya memiliki makna spiritual yang dalam. Haji mengajarkan kesabaran, pengorbanan, dan ketundukan total kepada Allah SWT. Sedangkan umroh menjadi simbol kerinduan dan kecintaan seorang muslim terhadap Baitullah.
Rasulullah SAW bersabda:
“Umroh ke umroh berikutnya adalah penghapus dosa di antara keduanya, dan haji mabrur tidak ada balasan selain surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menunjukkan bahwa kedua ibadah tersebut membawa keutamaan besar. Meski haji memiliki derajat lebih tinggi karena wajib, umroh juga bernilai pahala besar dan menjadi sarana pembersih dosa.
Kesimpulan
Haji dan umroh merupakan dua ibadah agung yang menjadi lambang penghambaan total kepada Allah SWT. Keduanya memiliki keutamaan dan nilai spiritual yang sangat tinggi, namun berbeda dalam hukum dan waktu pelaksanaannya.
Bagi yang sudah memenuhi syarat istitha’ah, haji harus didahulukan karena termasuk rukun Islam dan merupakan kewajiban seumur hidup. Sedangkan umroh, meski hukumnya bisa sunnah atau wajib tergantung pendapat ulama, tetap menjadi ibadah yang sangat dianjurkan sebagai bentuk penyucian diri dan peningkatan iman.
Pada akhirnya, baik haji maupun umroh bukan sekadar perjalanan fisik menuju Tanah Suci, melainkan perjalanan spiritual untuk memperbarui janji ketaatan kepada Allah SWT, menumbuhkan rasa rendah hati, dan memperkuat ukhuwah sesama umat Islam.
ARTIKEL12/11/2025 | Yessi Ade Lia Putri
Antara Kewajiban Zakat dan Keindahan Wakaf
Zakat adalah kewajiban yang menjadi salah satu rukun Islam, sementara wakaf merupakan amalan sunnah yang penuh pahala dan manfaat. Keduanya sangat mulia, tetapi dalam pandangan syariat, kedudukannya berbeda. Pertanyaannya: mana yang harus didahulukan?
Dalam semangat beribadah, banyak orang ingin berlomba dalam kebaikan—berwakaf, membangun masjid, atau membantu fakir miskin. Namun, kadang semangat tersebut tidak diiringi dengan pemahaman tentang prioritas amal. Seseorang bisa saja rajin berwakaf, tetapi lupa bahwa ia belum menunaikan zakat yang wajib atas hartanya. Padahal, Islam menekankan bahwa amalan wajib harus didahulukan sebelum amalan sunnah.
Allah SWT berfirman:
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” (QS. At-Taubah: 103)
Ayat ini menegaskan bahwa zakat bukan sekadar sedekah biasa, melainkan kewajiban spiritual dan sosial. Rasulullah SAW juga memperingatkan, orang yang enggan menunaikan zakat akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat dengan sangat berat (HR. Bukhari dan Muslim).
Sementara itu, wakaf adalah amalan jariyah yang sangat dianjurkan karena pahalanya terus mengalir. Rasulullah SAW bersabda:
“Apabila manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim)
Namun, sebesar apa pun pahala wakaf, ia tetap tidak dapat menggantikan kewajiban zakat. Imam Al-Ghazali berkata, “Menjalankan amalan sunnah tanpa menyempurnakan yang wajib sama saja seperti membangun atap tanpa fondasi.”
Contohnya, seseorang memiliki harta yang sudah mencapai nisab. Ia ingin mewakafkan sebagian hartanya untuk pembangunan masjid, tetapi belum menunaikan zakat. Dalam hal ini, zakat harus didahulukan karena merupakan kewajiban pokok, sedangkan wakaf adalah penyempurna.
Islam tidak melarang memperbanyak amalan sunnah. Justru, setelah menunaikan kewajiban, amal sunnah menjadi tanda cinta dan kedekatan dengan Allah SWT. Karena itu, yang utama adalah menegakkan kewajiban terlebih dahulu, baru kemudian memperindahnya dengan amal-amal tambahan seperti wakaf, sedekah, dan kebaikan sosial lainnya.
Seorang Muslim sejati bukan hanya dermawan, tetapi juga cerdas dalam menata amal—mendahulukan yang wajib, lalu menyempurnakannya dengan keindahan yang sunnah.
ARTIKEL12/11/2025 | indri irmayanti
Antara Puasa Qadha Ramadhan dan Puasa Sunnah di Bulan Syawal
Pendahuluan
Setelah sebulan penuh menjalankan ibadah puasa Ramadhan, umat Islam disambut dengan bulan Syawal — bulan penuh berkah dan kesempatan untuk menambah amal kebaikan. Salah satu ibadah yang dianjurkan adalah puasa enam hari di bulan Syawal, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
“Barang siapa berpuasa Ramadhan, kemudian diikuti dengan enam hari di bulan Syawal, maka dia seperti berpuasa sepanjang tahun.” (HR. Muslim)
Namun, bagaimana jika seseorang masih memiliki utang puasa Ramadhan (qadha)? Apakah boleh langsung berpuasa sunnah Syawal, atau harus mengganti puasanya terlebih dahulu? Pertanyaan ini sering muncul dan penting dipahami agar ibadah menjadi lebih tepat dan bermakna.
Puasa Qadha dan Puasa Syawal
Puasa qadha adalah ibadah wajib untuk mengganti puasa Ramadhan yang tertinggal karena alasan syar’i seperti sakit, haid, atau bepergian. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 184:
“Maka barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka wajib menggantinya pada hari-hari yang lain.”
Sedangkan puasa Syawal adalah ibadah sunnah muakkadah (sangat dianjurkan) yang dilakukan selama enam hari di bulan Syawal setelah Idul Fitri. Puasa ini memiliki keutamaan besar karena menyempurnakan pahala puasa Ramadhan dan bernilai seperti berpuasa setahun penuh.
Hukum dan Prioritas
Perbedaan keduanya terletak pada tingkat kewajiban. Puasa qadha bersifat wajib dan harus didahulukan, sedangkan puasa Syawal bersifat sunnah dan tidak berdosa jika ditinggalkan. Dalam hadis Qudsi, Allah SWT berfirman:
“Tidak ada amalan yang lebih Aku cintai dari hamba-Ku kecuali apa yang telah Aku wajibkan atasnya.” (HR. Bukhari)
Maka, mendahulukan puasa qadha lebih utama dan menunjukkan tanggung jawab seorang muslim terhadap kewajiban agamanya.
Pendapat Ulama
Ulama memiliki dua pandangan utama:
1. Mazhab Syafi’i dan Hambali: Wajib mendahulukan puasa qadha sebelum puasa Syawal. Imam Nawawi menegaskan bahwa pahala puasa Syawal hanya diperoleh setelah seseorang menyempurnakan puasa Ramadhan.
2. Mazhab Hanafi dan sebagian ulama kontemporer: Membolehkan puasa Syawal terlebih dahulu karena waktu pelaksanaannya terbatas, sementara qadha bisa dilakukan sebelum Ramadhan berikutnya.
Sebagian ulama juga memperbolehkan menggabungkan niat qadha dan puasa Syawal dalam satu puasa, meski sebagian lainnya tidak menyarankan agar pahala masing-masing tetap utuh.
Menunda Puasa Qadha
Menunda qadha tanpa alasan syar’i dianggap makruh, bahkan bisa berdosa jika melewati Ramadhan berikutnya. Imam Malik berpendapat, orang yang menunda qadha hingga Ramadhan tiba kembali wajib menggantinya dengan fidyah. Ini menunjukkan pentingnya segera menunaikan kewajiban sebelum mengejar amalan sunnah lainnya.
Mengatur Niat dan Waktu
Ada dua cara yang bisa dilakukan:
1. Terpisah – Dahulukan puasa qadha, lalu lanjutkan dengan puasa Syawal. Ini lebih aman dan berpahala sempurna.
2. Gabung niat – Jika mengikuti ulama yang membolehkan, cukup berniat “mengqadha puasa Ramadhan sekaligus puasa Syawal.” Cara ini bisa dilakukan jika waktu Syawal terbatas.
Makna dan Hikmah
Puasa qadha melatih tanggung jawab dan disiplin dalam menunaikan kewajiban. Sementara puasa Syawal menumbuhkan semangat istiqamah dalam beribadah setelah Ramadhan.
Keduanya saling melengkapi — puasa qadha sebagai bentuk kepatuhan, dan puasa Syawal sebagai penyempurna ketaatan. Melalui keduanya, umat Islam belajar menyeimbangkan antara kewajiban dan keutamaan dalam mencapai ketakwaan yang sejati.
Kesimpulan
Baik puasa qadha maupun puasa Syawal sama-sama memiliki nilai ibadah yang tinggi. Namun secara hukum, puasa qadha harus diutamakan karena merupakan kewajiban. Setelah itu, puasa Syawal menjadi penyempurna amal dan bukti kesungguhan dalam menjaga ketaatan setelah Ramadhan. Dengan menyeimbangkan keduanya, seorang muslim dapat menjaga hubungan dengan Allah secara utuh — antara tanggung jawab dan keikhlasan beribadah.
ARTIKEL12/11/2025 | Yessi Ade Lia Putri
Rajin Shalat Sunnah, Tapi Sering Menunda yang Wajib?
Menata Prioritas Ibadah
Banyak orang bersemangat menunaikan ibadah sunnah seperti tahajud, dhuha, atau rawatib, namun justru sering menunda shalat wajib. Padahal, Islam mengajarkan keseimbangan: mendahulukan yang wajib sebelum mengejar keindahan amalan sunnah.
Perkara wajib adalah perintah langsung dari Allah SWT — jika dikerjakan berpahala, jika ditinggalkan berdosa. Sementara perkara sunnah, meski sangat dianjurkan, tidak bisa menggantikan kewajiban. Ibarat bangunan, amal wajib adalah fondasi, sedangkan sunnah adalah hiasan. Tanpa fondasi, hiasan itu tak berarti.
Mengapa Wajib Lebih Utama
Rasulullah SAW bersabda dalam hadis Qudsi riwayat Imam Bukhari:
“Tidak ada amalan yang paling Aku cintai yang dilakukan oleh hamba-Ku untuk mendekat kepada-Ku selain amalan yang Aku wajibkan atasnya. Dan hamba-Ku senantiasa mendekat kepada-Ku dengan amalan sunnah hingga Aku mencintainya.”
Hadis ini menunjukkan bahwa jalan utama menuju cinta Allah dimulai dari amal wajib. Sunnah baru menjadi sempurna jika kewajiban telah dijalankan.
Sayangnya, sebagian orang justru terbalik. Ada yang rajin shalat malam tapi menunda Subuh, atau dermawan dalam sedekah sunnah tapi belum menunaikan zakat wajib. Padahal, menunda kewajiban berarti melalaikan perintah Allah SWT.
Menjaga kewajiban bukan sekadar rutinitas, melainkan bukti ketaatan sejati. Seseorang yang disiplin menjalankan yang wajib akan lebih mudah menumbuhkan keikhlasan dalam ibadah sunnahnya.
Keseimbangan dalam Beribadah
Islam tidak melarang memperbanyak amalan sunnah. Namun, amalan itu baru bermakna jika pondasi kewajiban telah kuat. Shalat tahajud akan indah bila Subuh tak terlewat, sedekah sunnah bernilai tinggi bila zakat sudah ditunaikan.
Mari kita tata ulang prioritas ibadah: tegakkan kewajiban terlebih dahulu, lalu sempurnakan dengan sunnah. Dengan begitu, amal kita tak hanya banyak, tapi juga benar di sisi Allah SWT.
Sebagai bentuk kepedulian, jangan lupa menunaikan zakat, infak, dan fidyah melalui BAZNAS Kota Sukabumi untuk menebar keberkahan bagi sesama.
ARTIKEL12/11/2025 | indri irmayanti
Ilmu Agama dan Ilmu Dunia: Kunci Keseimbangan Hidup Seorang Muslim
Dalam kehidupan modern, banyak orang berfokus pada ilmu dunia demi jabatan dan kesuksesan. Namun, tidak sedikit yang melupakan pentingnya ilmu agama. Padahal, dalam Islam, ilmu agama merupakan kewajiban setiap muslim, sedangkan ilmu dunia adalah kebutuhan yang berguna untuk menjalani kehidupan. Keduanya tidak bertentangan, justru saling melengkapi agar manusia hidup dengan benar dan bermartabat.
Ilmu Agama: Kewajiban Setiap Muslim
Rasulullah SAW bersabda:
“Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah)
Hadis ini menegaskan kewajiban mempelajari ilmu agama, yakni ilmu yang membuat seorang muslim memahami ajaran Islam, mengenal halal dan haram, serta mampu menjalankan ibadah dengan benar. Tanpa ilmu agama, seseorang mudah tersesat meski memiliki kecerdasan tinggi dalam urusan dunia.
Ilmu agama mengajarkan tauhid, ibadah, dan akhlak, yang menjadi pedoman agar hidup tidak keluar dari tujuan utama: mengabdi kepada Allah SWT. Sebagaimana firman-Nya dalam QS. Adz-Dzariyat ayat 56:
“Dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.”
Ilmu Dunia: Kebutuhan untuk Kehidupan
Islam tidak melarang umatnya mempelajari ilmu dunia seperti sains, teknologi, atau ekonomi. Semua itu penting untuk kemaslahatan umat, namun kedudukannya adalah fardhu kifayah — cukup sebagian umat yang mempelajarinya.
Ilmu dunia menjadi bernilai ibadah jika disertai niat yang benar. Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Artinya, menuntut ilmu dunia pun bisa menjadi ibadah apabila diniatkan untuk mencari ridha Allah dan memberi manfaat bagi orang lain.
Keseimbangan Antara Keduanya
Islam mengajarkan keseimbangan. Ilmu agama tanpa ilmu dunia membuat seseorang pasif, sementara ilmu dunia tanpa agama dapat menjerumuskan pada kesombongan. Keduanya harus berjalan beriringan — ilmu agama menjadi pedoman, ilmu dunia menjadi alat untuk berbuat kebaikan.
Kesimpulan
Ilmu agama wajib dipelajari agar manusia tidak kehilangan arah hidup dan selalu berada di jalan Allah. Sementara ilmu dunia perlu dikuasai untuk menunjang kehidupan dan memberi manfaat bagi sesama. Keseimbangan antara keduanya akan melahirkan pribadi berilmu, berakhlak, dan berdaya guna bagi dunia serta akhirat.
ARTIKEL12/11/2025 | Yessi Ade Lia Putri
Niat Sahur : Lafal, Keutamaan, dan Cara Melafalkannya dengan Benar
Sebelum menunaikan puasa ramadhan terdapat salah satu amalan penting yang sebaiknya tidak ditinggalkan, yakni sahur. Ada banyak keutamaan sahur untuk itu penting untuk kita juga memperhatikan niat sahur. Niat sahur tidak hanya sekedar formalitas tapi dapat membantu memastikan keabsahan puasa. Mari selengkpanya kita bahas niat sahur, lafal niat sahur, keutamaan, hingga cara melafalkannya dengan benar.
Lafal Niat Sahur yang Benar
Untuk memulai puasa, pertama lafalkan niat sahur yang diucapkan dengan kesadaran dan keikhlasan dalam menjalanakan ibadah puasa semata-mata karena Allah swt.
Berikut adalah lafal niat sahur yang umum digunakan:
Nawaitu shauma ghadin ‘an ada’i fardhi syahri Ramadhana hadzihis sanati lillahi ta’ala.
Artinya: "Aku niat berpuasa esok hari untuk menunaikan kewajiban puasa bulan Ramadhan tahun ini, karena Allah Ta’ala."
Waktu untuk membaca niat sahur harus dilakukan setiap malam sebelum fajar selama bulan Ramadhan. Hal ini sesuai dengan pendapat dalam Mazhab Syafi’i yang menyatakan bahwa niat puasa wajib diperbarui setiap harinya.
Keutamaan Niat Sahur dalam Puasa
Melaksanakan niat sahur memiliki beberapa keutamaan yang penting bagi setiap Muslim.
niat sahur menegaskan kesungguhan dan komitmen kita dalam menjalankan ibadah puasa. Dengan niat yang tulus, puasa yang kita laksanakan akan lebih bermakna dan diterima oleh Allah SWT.
niat sahur membedakan antara puasa yang dilakukan karena kewajiban agama dengan puasa yang mungkin dilakukan karena alasan lain, seperti diet atau kesehatan. Dengan melafalkan niat sahur, kita menegaskan bahwa puasa yang kita jalankan semata-mata untuk memenuhi perintah Allah SWT.
niat sahur juga menjadi pembeda antara puasa umat Islam dengan puasa yang dilakukan oleh umat lain. Rasulullah SAW bersabda, "Perbedaan antara puasa kita dan puasa ahli kitab adalah makan sahur."
waktu sahur adalah waktu yang penuh berkah. Rasulullah SAW bersabda, "Sahur sepenuhnya mengandung berkah. Maka itu, jangan kalian meninggalkannya meskipun kalian hanya meminum seteguk air karena Allah dan malaikat bershalawat untuk mereka yang bersahur."
Dengan memahami keutamaan-keutamaan tersebut, kita diharapkan dapat lebih menghargai dan tidak mengabaikan niat sahur dalam setiap pelaksanaan puasa.
Cara Melafalkan Niat Sahur dengan Benar
Agar niat sahur yang kita ucapkan sah dan diterima, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melafalkannya.
Waktu Pelafalan
Niat sahur harus dilafalkan pada malam hari sebelum terbit fajar. Hal ini sesuai dengan hadis Rasulullah SAW yang menyatakan, "Siapa yang tidak berniat di malam hari sebelum fajar, maka tiada puasa baginya.
Kesadaran Penuh
Saat melafalkan niat sahur, pastikan kita dalam keadaan sadar dan memahami makna dari niat yang diucapkan. Hindari melafalkan niat dalam keadaan mengantuk atau setengah sadar.
Bahasa yang Digunakan
Meskipun lafal niat sahur dalam bahasa Arab lebih utama, bagi yang tidak memahami bahasa Arab, diperbolehkan melafalkannya dalam bahasa yang dipahami, seperti bahasa Indonesia. Yang terpenting adalah memahami makna dan tujuan dari niat tersebut.
Pengucapan yang Jelas
Usahakan untuk melafalkan niat sahur dengan pengucapan yang jelas dan tidak tergesa-gesa. Hal ini untuk memastikan bahwa niat yang diucapkan benar dan sesuai dengan tuntunan.
Konsistensi
Lafalkan niat sahur setiap malam selama bulan Ramadhan. Meskipun ada pendapat yang membolehkan niat untuk sebulan penuh, namun untuk kehati-hatian, sebaiknya niat diperbarui setiap malam.
Kesalahan Umum Melafalkan Niat Sahur
1. Menunda Niat hingga Setelah Fajar
Salah satu kesalahan yang sering terjadi adalah menunda niat sahur hingga setelah fajar atau bahkan saat hari sudah siang. Padahal, menurut pendapat Mazhab Syafi’i dan Hambali, niat puasa wajib harus dilakukan sebelum fajar. Jika seseorang lupa berniat pada malam hari, maka puasanya tidak sah dan harus diganti di kemudian hari. Oleh karena itu, penting untuk selalu mengingat dan melafalkan niat sahur sebelum waktu Subuh tiba.
2. Melafalkan Niat Tanpa Kesadaran Penuh Dalam Islam
niat bukan hanya sekadar bacaan yang diucapkan, tetapi juga mencerminkan kesungguhan hati dalam menjalankan ibadah. Banyak orang melafalkan niat
3. sahur dalam keadaan setengah sadar karena mengantuk atau terburu-buru.
Hal ini dapat mengurangi kekhusyukan dalam beribadah. Sebaiknya, pastikan diri dalam keadaan sadar dan memahami maksud dari niat yang diucapkan.
4. Menganggap Niat Sahur Hanya Sah Jika Diucapkan Secara Lisan.
Beberapa orang berpikir bahwa niat sahur harus selalu diucapkan dengan lisan agar sah. Padahal, dalam Islam, niat sejatinya adalah ketetapan dalam hati. Jika seseorang telah memiliki keinginan kuat untuk berpuasa esok hari dan hal itu terpatri dalam pikirannya, maka niatnya sudah sah meskipun tidak diucapkan secara verbal. Namun, mengucapkannya tetap dianjurkan untuk memperjelas dan memperkuat niat tersebut.
5. Menganggap Satu Kali Niat di Awal Ramadhan Sudah Cukup untuk Sebulan
Ada sebagian orang yang berniat untuk berpuasa selama satu bulan penuh hanya dengan satu kali niat di awal Ramadhan. Meskipun ada pendapat yang membolehkan hal ini, tetapi mayoritas ulama, khususnya dari Mazhab Syafi’i, berpendapat bahwa niat sahur harus diperbarui setiap malam sebelum puasa dimulai. Oleh karena itu, lebih baik melafalkan niat setiap malam agar lebih yakin bahwa ibadah puasa yang dijalankan sah dan sesuai tuntunan.
6. Membaca Niat dengan Lafal yang Tidak Tepat.
Terkadang, seseorang bisa keliru dalam membaca lafal niat sahur, baik karena terburu-buru atau kurang memahami bacaan yang benar. Jika terjadi kesalahan dalam pengucapan yang menyebabkan perubahan makna, maka sebaiknya segera diperbaiki dan diucapkan kembali dengan lafal yang tepat. Untuk itu, penting bagi setiap Muslim untuk menghafalkan dan memahami bacaan niat sahur yang benar agar tidak terjadi kekeliruan.
Niat sahur merupakan elemen penting dalam ibadah puasa yang tidak boleh diabaikan. Dengan niat yang benar dan kesungguhan hati, puasa yang kita jalankan akan lebih bermakna dan mendapat berkah dari Allah SWT. Menghindari kesalahan dalam melafalkan niat sahur juga menjadi bagian dari usaha kita dalam menyempurnakan ibadah. Oleh karena itu, pastikan untuk selalu berniat sebelum fajar, melafalkannya dengan sadar, dan memahami esensi dari niat itu sendiri agar puasa yang kita jalani sah dan penuh keberkahan.
ARTIKEL11/11/2025 | Yessi Ade Lia Putri
Apakah Boleh Puasa Tanpa Sahur : Ini Jawaban Menurut Islam
Puasa adalah menahan nafsu dari terbit fajar hingga tenggelamnya matahari, biasanya puasa diawali dengan makan sebelum terbit fajar yang dikenal dengan sahur. Namun, bagaiman jika berpuasa tanpa sahur ? Dalam Islam, sahur adalah sunnah yang sangat dianjurkan. tetapi apakah sahur menjadi syarat sahnya puasa? Artikel ini akan mengupas tuntas hukum, manfaat, dan dalil mengenai sahur dalam Islam.
Hukum Sahur dalam Islam
Banyak umat Muslim bertanya, apakah boleh puasa tanpa sahur? Dalam Islam, sahur bukanlah syarat sahnya puasa, melainkan amalan sunnah yang sangat dianjurkan. Rasulullah SAW bersabda:
"Makan sahur itu mengandung berkah, maka janganlah kalian meninggalkannya, walaupun hanya dengan seteguk air." (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban)
Dari hadits tersebut, dapat disimpulkan bahwa apakah boleh puasa tanpa sahur? Jawabannya adalah boleh, tetapi sangat disayangkan jika melewatkan sahur karena banyaknya keberkahan yang terdapat di dalamnya.
Allah SWT juga berfirman dalam potongan ayat Al-Qur'an yang berbunyi :
"wa kuloo washraboo hattaa yatabaiyana lakumul khaitul abyadu minal khaitil aswadi minal fajri summa atimmus Siyaama ilal layl"
Artinya : “ Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa hingga malam..." ( Al - Baqarah : 187 )
Ayat ini menunjukkan bahwa sahur adalah waktu terakhir sebelum memulai puasa, tetapi tidak disebutkan sebagai syarat wajib dalam menjalankan puasa.
Hukum dan Pendapat Ulama
Sebagian ulama sepakat bahwa apakah boleh puasa tanpa sahur, jawabannya adalah boleh. Namun, mereka tetap menganjurkan sahur karena memiliki banyak manfaat. Berikut beberapa pendapat ulama:
Mazhab Syafi'i dan Hambali
Dalam pandangan Mazhab Syafi'i dan Hambali, sahur adalah sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan). Jika seseorang melewatkan sahur, puasanya tetap sah, tetapi ia kehilangan keberkahan yang dijanjikan oleh Rasulullah SAW.
Mazhab Hanafi
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa apakah boleh puasa tanpa sahur, jawabannya tetap boleh. Namun, beliau menekankan bahwa sahur memiliki dampak besar dalam membantu seseorang menjalankan puasa dengan lebih baik.
Mazhab Maliki
Dalam Mazhab Maliki, sahur juga bukan syarat sah puasa, tetapi dianjurkan. Mereka menegaskan bahwa sunnah ini memiliki hikmah besar dalam menjaga ketahanan tubuh selama berpuasa.
Pendapat Ulama Kontemporer
Ulama modern seperti Syaikh Ibn Utsaimin juga menegaskan bahwa apakah boleh puasa tanpa sahur, jawabannya boleh, tetapi sangat dianjurkan untuk dilakukan.
Manfaat Sahur dalam Puasa
Meskipun apakah boleh puasa tanpa sahur diperbolehkan, sahur memiliki banyak manfaat, baik dari segi spiritual maupun kesehatan:
Mendapat Keberkahan
Rasulullah SAW menyebutkan bahwa sahur adalah waktu penuh berkah. Dengan makan sahur, seseorang akan mendapatkan keberkahan dalam ibadah puasanya.
Menjaga Stamina Selama Berpuasa
Sahur membantu tubuh tetap memiliki energi sepanjang hari. Jika seseorang bertanya apakah boleh puasa tanpa sahur, mungkin bisa, tetapi tubuh bisa menjadi lebih lemah karena tidak ada asupan gizi sebelum puasa dimulai.
Mengurangi Rasa Lapar dan Haus
Dengan sahur, seseorang dapat mengurangi rasa lapar yang ekstrim selama puasa. Ini membantu menjaga fokus dalam beribadah dan aktivitas sehari-hari.
Mengikuti Sunnah Rasulullah SAW
Sahur adalah sunnah yang sangat dianjurkan. Meskipun apakah boleh puasa tanpa sahur diperbolehkan, mengikuti sunnah Rasulullah SAW selalu membawa manfaat.
Membantu Bangun Lebih Awal untuk Ibadah
Sahur membuat seseorang terbiasa bangun lebih awal, sehingga bisa menunaikan shalat tahajud dan memperbanyak dzikir sebelum waktu subuh tiba.
Setelah membahas berbagai aspek mengenai apakah boleh puasa tanpa sahur, dapat disimpulkan bahwa sahur bukanlah syarat sahnya puasa, tetapi merupakan amalan sunnah yang sangat dianjurkan. Dalil dari hadits dan Al-Qur'an menunjukkan bahwa meskipun seseorang boleh berpuasa tanpa sahur, namun ia akan kehilangan keberkahan yang dijanjikan oleh Rasulullah SAW.
Bagi yang ingin menjalankan ibadah puasa dengan lebih baik, sebaiknya tetap melaksanakan sahur, meskipun hanya dengan seteguk air. Dengan begitu, ibadah puasa dapat dijalankan dengan lebih maksimal dan penuh keberkahan.
ARTIKEL11/11/2025 | indri irmayanti
Dalil Hukum Kurban
Bulan Dzulhijjah identik dengan perayaan hari raya idul adha dan ibadah kurban. Kurban sendiri sudah ada saat zaman nabi Ibrahim yang Allah perintahkan untuk menyembelih nabi Ismail, anak yang sudah lama diharapkan.
Menyembelih kurban menunjukan sikap tawadhu kepada Allah swt serta melatih keiklasan serta ketenangan hati kepada Allah. Berikut beberapa dalil perintah serta keutamaan kurban dalam Al-Quran dan hadist.
1. Ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah
Peirntah berkurban terdapat dalam QS. Al-Kautsar ayat 2
"Maka laksanakanlah sholat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah)."
Dalam ayat ini shalat Allah memerintahkan untuk shalat dan berkurban. Meski ibadah kurban adalah sunnah muakkad tapi kurban adalah salah satu ibadah utama untuK mendekatkan diri kepada Allah
“Katakanlah: sesungguhnya shalatku, sembelihanku (kurban), hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” [Qur’an Surat Al An’am : 162]
Kita harus ikhlas semata-mata karena Allah ketika mengerjakan ibadah baik shalat maupun kurban.
2. Ibadah sebagai bentuk Syukur
"Dan bagi tiap-tiap umat telah kami syariatkan penyembelihan (kurban) supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan yang Maha Esa, karena itu berserahdirilah kamu kepada-Nya, dan berilah kabar gembira pada orang-orang yang tunduk (patuh) pada Allah." (Al-Hajj ayat 34).
daging kurban merupakan rezeki yang Allah berikan untuk kita lebih bertawkal kepada Allah Swt. pada proses penyembelihannya pun diharuskan menyebut nama Allah.
3. Ibadah untuk berbagi kepada fakir miskin
"Maka makanlah sebagiannya (daging kurban) dan berilah makan orang yang merasa cukup dengan apa yang ada padanya (orang yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Daging daging kurban dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai keridhaan Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya." (Al-Hajj ayat 36-37).
Allah memerintahkan sebagian daging kurban diberikan kepada fakir miskin. Hal tersebut juga merupakan bentuk kita meraih gelar takwa dengan berbagi kepada sesama. Di BAZNAS Jabar kami melayani pembagian kurban sampai desa pelosok di Jawa Barat yang masih kesulitan mendapatkan daging
4. Pemberat amal
“Tidak ada amalan anak cucu Adam pada hari raya kurban yang lebih disukai Allah melebihi dari mengucurkan darah (menyembelih hewan kurban), sesungguhnya pada hari kiamat nanti hewan-hewan tersebut akan datang lengkap dengan tanduk-tanduknya, kuku-kukunya, dan bulu- bulunya. Sesungguhnya darahnya akan sampai kepada Allah –sebagai kurban– di manapun hewan itu disembelih sebelum darahnya sampai ke tanah, maka ikhlaskanlah menyembelihnya.” (HR. Ibn Majah dan Tirmidzi)
ARTIKEL11/11/2025 | indri irmayanti
Mengungkap Keistimewaan Bulan Suci Ramadhan: Bulan yang Ditunggu Umat Islam
Bulan Suci Ramadhan merupakan bulan yang mulia, dimana didalamnya penuh dengan keberkahan dan magfirah ( ampunan ) dari Allah swt. Dengan begitu, seluruh umat islam di dunia menyambutnya dengan penuh suka cita.
Salah satu perintah yang diwajibkan pada bulan Ramadhan yaitu umat muslim diperintahkan untuk berpuasa Ramadhan sebagai mana yang telah diwajibkan bagi orang-orang sebelum kita agar mencapai kemuliaan yaitu derajat taqwa.
Bahkan ternyata puasa sudah dilakukan oleh orang-orang dan kaum sebelumnya, seperti yang dikisahkan di dalam Al-quran tentang nadzar Siti Maryam ibunya Nabi Isa As. Sebagaimana firman Allah swt didalam Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 183 :
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.
Apa saja keutamaan Bulan Suci Ramadhan?
1. Bulan Diturunkannya Kitab Suci Al – Qur’an
Ramadhan merupakan bulan yang sangat istimewa karena didalamnya Allah swt. menurunkan kitab suci Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW sebagai petunjuk bagi umatnya, Hal ini dijelaskan dalam QS. Al – Baqaroh (2) : 185 , yang artinya :
“Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang batil).”
2. Pahala yang Dilipatgandakan
Setiap amal kebaikan yang kita lakukan di bulan suci ramadhan, akan dibalas dengan pahala yang berlipat ganda. Sebagaimana Rasululloh saw bersabda :
"Setiap amal kebaikan yang dilakukan oleh anak Adam akan dilipatgandakan, satu kebaikan dilipatgandakan sepuluh hingga tujuh ratus kali lipat." (HR. Muslim).
3. Malam Lailatul Qadar
Didalam Bulan Suci Ramadhan ada satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan yaitu Malam Lailatul Qadar , pada malam ini seluruh umat muslim dianjurkan untuk meningkatkan ibadah kepada Allah swt. Karena pada malam ini seluruh doa yang telah dipanjatkan akan terkabul dan seluruh dosa akan diampuni oleh Allah swt.
4. Dikabulkannya Doa
Diantara keistimewaan pada bulan suci Ramadhan adalah terkabulnya doa setiap muslim yang memanjatkan doa pada saat melaksanakan ibadah puasa. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis :
"Tiga doa yang tidak akan ditolak: doa orang yang berpuasa hingga berbuka, doa pemimpin yang adil, dan doa orang yang terzalimi." (HR. Tirmidzi)
5. Pintu Surga Dibuka
Keistimewaan yang selanjutnya pada bulan suci Ramadhan yaitu pintu-pintu surga dibuka dan pintu-pintu neraka ditutup. serta setan-setan pun dibelenggu, sehingga umat Islam memiliki kesempatan besar untuk meningkatkan ibadah dan menghindari perbuatan maksiat.
Bulan Suci Ramadhan merupakan bulan yang penuh keberkahan, ampunan, dan juga kemuliaan. Seluruh umat Islam dianjurkan untuk memanfaatkan momen ini dengan sebaik – baiknya, seperti meningkatkan ibadah, memperbanyak amal kebaikan, dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Semoga pada Ramadhan tahun ini kita semua diberikan kekuatan dan kesempatan untuk menjalani Ramadhan dengan sebaik-baiknya serta mendapatkan segala keberkahan yang ada di dalamnya. Aamiin.
ARTIKEL11/11/2025 | Yessi Ade Lia Puri
Mengenal 12 Rakaat Shalat Sunnah Rawatib Kunci Kebahagiaan Spiritual
Shalat sunnah rawatib adalah shalat sunnah yang dilakukan sebelum dan sesudah shalat fardhu (wajib). Ibadah ini menjadi bentuk penyempurna dari shalat lima waktu yang seringkali tidak dikerjakan dengan kekhusyukan penuh. Rasulullah SAW sangat menekankan pentingnya shalat ini, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits
“Barang siapa yang shalat 12 rakaat dalam sehari semalam selain yang wajib, maka akan dibangunkan untuknya rumah di surga.” (HR Muslim)
Mengenal 12 Rakaat Shalat Sunnah Rawatib
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Rasulullah SAW bersabda:
“Barangsiapa menjaga dalam mengerjakan shalat sunnah dua belas rakaat, maka Allah akan membangunkan rumah untuknya di surga, yaitu empat rakaat sebelum dzuhur, dua rakaat setelah dzuhur, dua rakaat setelah maghrib, dua rakaat setelah isya, dan dua rakaat sebelum subuh.” (HR Tirmidzi)
Adapun hukum shalat sunnah rawatib beserta jumlah rakaatnya, sebagai berikut:
12 Rakaat Shalat Sunnah Rawatib Muakkad
Hukum shalat sunnah rawatib muakkad adalah sunnah yang dianjurkan, hanya saja tingkatannya sedikit di bawah fardhu (wajib). Berikut shalat rawatib muakkad, yaitu:
2 rakaat sebelum shalat subuh
2 rakaat sebelum shalat dzuhur
2 rakaat sesudah shalat dzuhur
2 rakaat sesudah shalat maghrib
2 rakaat sesudah shalat isya
12 Rakaat Shalat Sunnah Rawatib Ghairu Muakkad
Hukum shalat ini adalah ghairu muakkad artinya pelaksanaannya sunnah yang tidak begitu dikuatkan. Berikut beberapa shalat sunnah rawatib ghairu muakkad, yaitu:
2 rakaat sesudah shalat dzuhur
4 rakaat sebelum shalat ashar
2 rakaat sebelum shalat maghrib
2 rakaat sebelum shalat isya
Demikian penjelasan mengenai 12 rakaat shalat sunnah rawatib yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw dalam tiap shalat fardhu. Semoga kita senantiasa selalu diberikan kemudahan dalam menjalankan ibadah kepada-Nya.
ARTIKEL11/11/2025 | indri irmayanti

Info Rekening Zakat
Mari tunaikan zakat Anda dengan mentransfer ke rekening zakat.
BAZNAS
Info Rekening Zakat
