Artikel Terbaru
Sedekah Kecil, Dampaknya Besar—Tapi Banyak Orang Meremehkan
Di tengah kesibukan kehidupan sehari-hari, banyak orang beranggapan bahwa sedekah harus dalam jumlah besar agar bernilai di mata Allah. Paradigma ini sering membuat umat Islam menunda atau bahkan enggan untuk bersedekah, padahal Islam sangat mendorong setiap orang untuk berbagi, sekecil apa pun bentuknya. Sedekah kecil memiliki pengaruh yang luar biasa, baik bagi penerima maupun pemberinya, bahkan dapat menjadi penentu keselamatan di akhirat.
Artikel ini akan mengulas mengapa sedekah kecil begitu berharga, didukung oleh dalil Al-Qur’an, hadits, dan pandangan ulama, sebagai pengingat untuk tidak pernah meremehkan amal kebaikan.
1. Hakikat Sedekah dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an menegaskan bahwa nilai sedekah bukan terletak pada nominalnya, melainkan pada potensi balasan yang dijanjikan Allah SWT. Dalam Surah Al-Baqarah ayat 261, Allah berfirman:
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. Al-Baqarah: 261)
Sebuah benih yang kecil berpotensi menghasilkan 700 kali lipat, bahkan lebih, karena Allah melipatgandakannya sesuai kehendak-Nya. Hal ini menunjukkan bahwa amal yang tampak sepele di mata manusia bisa menjadi sumber keberkahan luar biasa di sisi Allah.
Lebih jauh, Allah menekankan keikhlasan:
“Dan mereka memberi makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan, karena mengharap keridhaan Allah, dan mereka berkata: ‘Kami memberi makanan ini hanyalah karena Allah semata, kami tidak menginginkan balasan dan tidak pula terima kasih dari kalian.’” (QS. Al-Insan: 8-9)
Ayat ini menegaskan bahwa keikhlasan jauh lebih penting daripada besar kecilnya sedekah.
2. Sedekah dalam Hadits Nabi
Rasulullah SAW menekankan pentingnya konsistensi dan memperluas makna sedekah hingga mencakup hal-hal non-materi.
A. Konsistensi Lebih Dicintai
Beliau bersabda:
“Amalan yang paling dicintai Allah adalah yang terus-menerus meskipun sedikit.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sedekah kecil yang rutin menunjukkan kedisiplinan dan keterikatan hati pada ketaatan, lebih utama daripada sedekah besar yang dilakukan sesekali.
B. Sedekah Penyelamat dari Api Neraka
Nabi SAW juga bersabda:
"Jagalah diri kalian dari api neraka, meskipun hanya dengan sepotong kurma." (HR. Bukhari dan Muslim)
Seorang ulama menjelaskan bahwa sepotong kurma yang disedekahkan dengan ikhlas dapat berfungsi sebagai pelindung dari azab. Ini menunjukkan bahwa ukuran kecil tidak mengurangi nilai amal.
C. Sedekah Tidak Hanya Materi
Rasulullah SAW bersabda:
“Sedekah itu wajib bagi setiap muslim. Dan apabila kamu tidak mampu, kata-kata yang baik pun termasuk sedekah.” (HR. Muslim)
Bahkan senyum tulus kepada sesama sudah dikategorikan sedekah (HR. Tirmidzi). Dengan demikian, sedekah mudah dilakukan siapa pun, tanpa harus menunggu kaya.
3. Perspektif Ulama
Imam Al-Ghazali menekankan kontinuitas ibadah:
“Sedekah yang sedikit namun terus-menerus dapat menumbuhkan keberkahan yang jauh lebih besar daripada harta banyak yang dikeluarkan sekali-sekali.”
Syaikh Yusuf Al-Qaradawi menegaskan bahwa Allah melihat keikhlasan hati, bukan kuantitas materi. Sedekah kecil dari orang yang terbatas hartanya justru menunjukkan keberanian melawan sifat kikir dan mendatangkan pahala besar.
4. Dampak Sedekah Kecil
A. Dampak bagi Pemberi
Sedekah berfungsi sebagai pembersih dosa, pelindung dari murka Allah, dan penambah rezeki. Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Sedekah tidak akan mengurangi harta.” (HR. Muslim)
Setiap harta yang dibagikan di jalan Allah justru menjadi sumber keberkahan dan dijamin Allah akan ditambah.
B. Dampak bagi Penerima
Sedekah kecil dapat meringankan beban, memberi harapan, dan menciptakan solidaritas sosial. Bahkan hal sederhana seperti memberi air minum, makanan ringan, atau pulsa bisa membawa kebahagiaan besar bagi penerimanya.
Dalam skala kolektif, sedekah kecil yang dikumpulkan secara konsisten dapat membangun program sosial yang bermanfaat bagi banyak orang, mempererat tali persaudaraan, dan meningkatkan kepedulian terhadap sesama.
5. Memulai Sedekah Kecil
Banyak orang menunda sedekah karena menunggu kaya atau merasa malu. Padahal Al-Qur’an menegaskan:
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah (biji atom) pun, niscaya dia akan melihat balasannya.” (QS. Al-Zalzalah: 7)
Cara memulainya:
Rutinitas Harian: Sisihkan sedikit uang setiap hari.
Sedekah Non-Materi: Senyum, kata-kata baik, atau membantu orang lain.
Salurkan Tepat Sasaran: Pastikan sedekah digunakan untuk hal bermanfaat.
Kesimpulan
Sedekah kecil bukanlah amalan sepele. Dari perspektif Al-Qur’an, hadits, dan ulama, sedekah sekecil apa pun dapat mendatangkan manfaat besar bagi penerima dan pemberi. Kunci nilainya terletak pada keikhlasan niat dan konsistensi dalam melakukannya.
Jangan menunggu kaya atau sempurna, karena setiap kebaikan, sekecil apa pun, dicatat Allah dan akan dibalas dengan pahala berlipat. Mulailah dari yang kecil, lakukan secara rutin, dan rasakan keberkahan serta kebahagiaan yang menyertainya. Sedekah kecil yang konsisten adalah langkah nyata menuju hati yang lapang, rezeki yang berkah, dan kehidupan yang lebih bermanfaat bagi sesama.
ARTIKEL25/11/2025 | Yessi Ade Lia Putri
Jangan Tahan Zakatmu: Ketika Keberkahan Berubah Menjadi Dosa Karena Harta Telah Mencapai Nisab
Dalam Islam, kekayaan bukanlah milik mutlak manusia, melainkan amanah dari Allah yang harus dikelola dengan bijak. Salah satu kewajiban penting adalah menunaikan hak orang lain dari apa yang dimiliki, seperti sedekah atau zakat, agar hidup dan kekayaan tetap diberkahi. Menunda kewajiban ini ketika aset telah mencapai nisab dapat mengubah keberkahan menjadi kerugian atau bahkan dosa.
Harta, Nisab, dan Kewajiban
Kewajiban membersihkan kekayaan berlaku untuk berbagai jenis aset. Beberapa contohnya:
Emas dan Perak – Nisab emas 85 gram, perak 595 gram, dengan kewajiban dikeluarkan 2,5% dari total kepemilikan setelah satu tahun.
Uang Tunai dan Tabungan – Nisab sama dengan emas, ukuran kewajiban 2,5% setelah haul.
Perdagangan – Barang dagangan, modal usaha, dan keuntungan wajib dibersihkan sebesar 2,5% setelah satu tahun kepemilikan.
Pertanian – Hasil panen wajib dikeluarkan 5% jika ada biaya irigasi, 10% jika panen hanya mengandalkan hujan.
Hewan Ternak – Sapi, kambing, unta, dan hewan lain wajib dibersihkan haknya saat cukup umur sesuai jumlah tertentu.
Kewajiban ini tidak hanya menyucikan aset, tetapi juga membuka pintu rezeki dan keberkahan bagi pemilik dan masyarakat.
Dampak Menunda Kewajiban
Menunda kewajiban membersihkan aset tidak hanya berdampak spiritual, tetapi juga sosial:
Kekayaan yang stagnan cenderung tidak membawa berkah.
Menimbulkan dosa pribadi karena mengingkari perintah Allah.
Menghambat kepedulian sosial, sebab bantuan tidak sampai ke yang membutuhkan.
Mengurangi barokah dalam hidup dan usaha.
Kisah Inspiratif: Keajaiban Kewajiban yang Dilaksanakan
Ahmad, seorang pedagang kaya, menunda kewajiban ini karena ingin menunggu kekayaannya bertambah. Setahun kemudian, hartanya stagnan, proyek gagal, dan hubungan dengan mitra bisnis renggang. Suatu hari, temannya mengingatkan, “Kekayaan yang tidak dibersihkan dari hak orang lain tidak akan diberkahi.”
Ahmad akhirnya menunaikan kewajibannya dengan tulus, menyalurkan sebagian asetnya untuk membantu fakir, miskin, dan anak yatim. Hasilnya luar biasa: usahanya kembali berkembang, proyek lancar, mitra menjadi kooperatif, dan hubungan sosial harmonis. Ahmad menyadari bahwa menunda kewajiban justru menghalangi keberkahan dalam hidupnya.
Hikmah yang Bisa Diambil
Sumber keberkahan – Menunaikan hak orang lain membersihkan aset dan membuka pintu rezeki.
Ketenangan hati – Ketaatan membawa damai batin.
Hubungan sosial harmonis – Aset yang disalurkan membangun silaturahmi dan empati.
Meningkatkan syukur dan rendah hati – Menyadari kekayaan hanyalah amanah Allah.
Keberkahan menyeluruh – Tidak hanya finansial, tetapi juga spiritual dan sosial.
Kesimpulan
Menunda hak orang lain dari kekayaan yang telah mencapai nisab dapat mengurangi keberkahan dan berubah menjadi dosa. Menunaikan kewajiban tepat waktu, menghitung nisab dengan benar, menggunakan lembaga resmi, dan menjaga niat ikhlas membuat aset menjadi bersih, hati tenang, dan masyarakat sejahtera.
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan kebaikan apa saja yang kamu kerjakan untuk dirimu, niscaya kamu akan mendapatinya di sisi Allah.” (QS. Al-Baqarah: 110)
Menunaikan kewajiban ini adalah kunci keberkahan hidup, bentuk taat, dan cara meraih ridha Allah.
ARTIKEL25/11/2025 | indri irmayanti
Sudah Gajian? Yuk Pastikan Hak Mustahik Lewat Zakatmu!
Setiap awal bulan, notifikasi transfer gaji selalu menjadi penanda dimulainya siklus baru rezeki. Rasa syukur dan kebahagiaan menyelimuti, diiringi perencanaan pengeluaran untuk kebutuhan, cicilan, dan tabungan. Namun, sebagai seorang Muslim, ada kewajiban penting yang tidak boleh dilupakan: Zakat Mal, khususnya Zakat Penghasilan atau Zakat Profesi.
Zakat bukan sekadar kewajiban finansial, tetapi juga instrumen sosial yang menyeimbangkan hak antara pemberi dan penerima serta membersihkan harta. Saat rezeki diterima, sesungguhnya terdapat bagian hak mustahik—mereka yang berhak menerima zakat—yang wajib disalurkan.
1. Zakat: Pilar Agama dan Pembersih Harta
Zakat adalah rukun Islam ketiga, yang kedudukannya selalu digandengkan dengan salat dalam banyak ayat Al-Qur’an. Hal ini menunjukkan pentingnya zakat bagi hubungan vertikal seorang hamba dengan Allah (habluminallah) maupun hubungan horizontal dengan sesama (habluminannas).
Allah SWT berfirman:
"Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk." (QS. Al-Baqarah [2]: 43)
Selain itu, zakat berasal dari kata “zaka” yang berarti suci, bersih, dan berkembang. Allah berfirman:
"Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka." (QS. At-Taubah [9]: 103)
Menurut Ibnu Qudamah (Al-Mughni), zakat berfungsi membersihkan hati dari kikir dan egoisme. Imam Al-Ghazali menekankan bahwa zakat mendidik hati agar peduli terhadap sesama.
2. Zakat Penghasilan: Ijtihad Ulama Modern
Zakat Penghasilan memang tidak disebutkan secara eksplisit di masa Nabi SAW, tetapi para ulama kontemporer melakukan ijtihad berdasarkan analogi (qiyas) dengan jenis zakat lain.
Syaikh Yusuf Al-Qaradawi menjelaskan bahwa pendapatan rutin dan besar (al-mal al-mustafad) wajib dizakatkan. Dasarnya adalah perintah umum:
"Wahai orang-orang yang beriman! Infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik..." (QS. Al-Baqarah [2]: 267)
Para ulama menetapkan bahwa zakat penghasilan dihitung saat diterima gaji atau setelah mencapai haul dan nishab, dengan kadar 2,5%.
3. Delapan Golongan Mustahik
Kewajiban menunaikan zakat juga berarti memastikan hak delapan golongan mustahik terpenuhi (QS. At-Taubah [9]: 60):
1. Fakir – hampir tidak memiliki penghidupan.
2. Miskin – memiliki harta tapi tidak cukup kebutuhan dasar.
3. Amil – pengurus zakat.
4. Muallaf – orang baru masuk Islam yang membutuhkan dukungan.
5. Riqab – memerdekakan budak atau membebaskan utang.
6. Gharim – orang berutang yang tidak mampu melunasi.
7. Fi Sabilillah – perjuangan di jalan Allah, termasuk pendidikan dan dakwah.
8. Ibnu Sabil – musafir yang kehabisan bekal.
Setiap gaji yang kita zakati akan langsung membantu mereka yang membutuhkan.
4. Praktik Zakat dari Gaji dan Keutamaannya
Langkah praktis:
Hitung nishab: Setara 85 gram emas per tahun (atau sekitar Rp 7 juta per bulan jika harga emas Rp 1 juta/gram).
Kalkulasi 2,5%: Tentukan zakat dari penghasilan bruto atau neto sesuai pendapat yang diikuti.
Salurkan tepat sasaran: Agar zakat benar-benar membantu mustahik, disarankan disalurkan melalui lembaga terpercaya.
Konsisten: Menunaikan zakat rutin tiap bulan membuat ibadah lebih mudah dan membiasakan kebaikan.
Keutamaan menunaikan zakat:
Membersihkan harta dan jiwa.
Mendatangkan keberkahan dan pahala yang berlipat.
Membantu menyejahterakan masyarakat dan mengurangi kesenjangan sosial.
Rasulullah SAW bersabda:
"Tidak akan pernah berkurang harta karena sedekah, dan Allah tidak akan menambahkan kepada seorang hamba yang pemaaf selain kemuliaan." (HR. Muslim)
Allah juga berfirman: "Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dialah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya." (QS. Saba' [34]: 39)
Kesimpulan
Menunaikan zakat dari gaji bukan sekadar kewajiban finansial, tetapi investasi spiritual dan sosial. Dengan menyisihkan 2,5% dari penghasilan, kita membersihkan harta, membantu delapan golongan mustahik, dan menumbuhkan kepedulian terhadap sesama. Zakat juga membersihkan jiwa dari sifat kikir, menumbuhkan empati, serta menegakkan keadilan sosial.
Setiap gaji yang diterima adalah amanah, dan menunaikan zakat memastikan keberkahan rezeki serta pahala yang terus mengalir. Menjadikan zakat bagian dari rutinitas bulanan adalah bentuk nyata pengamalan rukun Islam ketiga dan sarana mendekatkan diri kepada Allah sambil menyejahterakan masyarakat.
ARTIKEL25/11/2025 | Yessi Ade Lia Putri
Stop Jadi Muzaki Formalitas: 4 Dosa Besarnya Menurut Islam
Pendahuluan
Zakat dalam Islam bukan sekadar ritual tahunan. Ia adalah amanah, ibadah, dan instrumen sosial yang menjaga keseimbangan antara pemilik harta dan mereka yang membutuhkan. Namun realitas hari ini menunjukkan banyak Muslim menjadi muzaki formalitas—menunaikan zakat tanpa ruh keimanan, tanpa memahami tujuan, dan sekadar memenuhi kewajiban administratif.
Muzaki formalitas adalah seseorang yang mengeluarkan zakat karena faktor eksternal: tuntutan sosial, gaji, atau intervensi komunitas, bukan karena kesadaran spiritual. Ia mengukur zakat melalui angka dan nama baik, bukan manfaat bagi mustahik. Muzaki formalitas merasa telah berbuat baik, padahal zakatnya kehilangan nilai ibadah.
Ciri-ciri muzaki formalitas antara lain: berzakat demi pencitraan, hanya menggugurkan kewajiban, menganggap zakat sebagai biaya operasional sosial, tidak peduli sasaran penerima, dan memberi dengan cara merendahkan penerima. Islam tidak hanya melihat zakat dari sisi teknis, tetapi niat, tujuan, dan dampaknya. Ketika zakat dilakukan tanpa ikhlas, seorang muzaki formalitas hanya memindahkan uang tanpa membersihkan jiwanya.
1. Riya: Menginfakkan Harta Demi Pujian Manusia
Riya adalah dosa spiritual paling halus. Seorang muzaki formalitas sering menginfakkan hartanya agar terlihat dermawan. Hal ini membatalkan pahala zakat.
Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu batalkan sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia.” (QS. Al-Baqarah: 264)
Rasulullah ? bersabda:
“Barang siapa yang melakukan suatu amal untuk dipuji manusia, maka Allah akan memperlihatkan (aibnya) kepada manusia.” (HR. Muslim)
Imam Al-Ghazali menyebut riya sebagai syirik kecil, karena menjadikan manusia sebagai tujuan ibadah. Contoh nyata: memamerkan nominal zakat, berfoto saat menyerahkan zakat, atau menjadi donatur hanya agar namanya terpampang.
2. Zalim: Menahan Zakat atau Mengurangi Hak Mustahik
Zalim dalam zakat terjadi ketika muzaki menunda zakat, mengurangi nisab, atau menyalurkannya ke pihak yang tidak berhak.
Allah memperingatkan:
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak, dan tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka beritakanlah kepada mereka azab yang pedih.” (QS. At-Taubah: 34)
Rasulullah ? bersabda:
“Harta yang tidak dikeluarkan zakatnya akan menjadi seekor ular botak pada Hari Kiamat yang membelit pemiliknya.” (HR. Bukhari)
Menurut Imam Asy-Syafi’i, zakat adalah hak mustahik. Menunda zakat atau memberi di bawah ketentuan berarti mengambil hak orang yang berhak menerimanya.
3. Tidak Tepat Sasaran: Zakat Menjadi Hadiah Sosial
Kesalahan besar seorang muzaki formalitas adalah menyalurkan zakat kepada pihak yang tidak berhak demi pencitraan, hubungan profesional, atau politik.
Allah menegaskan delapan golongan penerima dalam QS. At-Taubah: 60: fakir, miskin, amil, muallaf, budak, gharimin, fisabilillah, dan ibnu sabil. Ibn Qudamah menegaskan zakat kepada selain mereka adalah batil. Contoh: zakat dijadikan sponsor acara, diberikan kepada teman kaya, atau dikemas sebagai CSR untuk brand.
4. Menghina Mustahik: Memberi dengan Merendahkan
Sebagian muzaki formalitas memandang penerima zakat sebagai “orang kecil” sehingga memberi dengan hinaan, perekaman wajah, atau tuntutan ucapan terima kasih.
Allah berfirman:
“Janganlah kamu membatalkan sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya serta menyakiti (perasaan penerima).” (QS. Al-Baqarah: 264)
Imam Ibn Rajab menegaskan: siapa memberi sambil merendahkan, ia merusak amalnya.
Kesimpulan
Zakat bukan transaksi sosial atau simbol status, tetapi ibadah yang menyucikan jiwa. Muzaki formalitas akan terperangkap dalam empat dosa besar: riya, zalim, salah sasaran, dan merendahkan mustahik. Zakat yang benar adalah zakat yang ikhlas, sesuai syariat, tepat sasaran, dan menjaga kehormatan. Harta hanyalah titipan, jangan biarkan ego memadamkan pahala kita.
ARTIKEL25/11/2025 | indri irmayanti
STOP Bersedekah Demi Formalitas! 5 Dosa Besar yang Menghancurkan Amalmu
Sedekah adalah amalan mulia yang menghubungkan seorang hamba dengan Tuhannya sekaligus memberikan manfaat bagi sesama. Dalam Islam, sedekah tidak hanya terbatas pada nominal uang. Senyum, membantu orang yang kesulitan, menuntun orang buta, menyingkirkan bahaya di jalan, atau sekadar memberikan nasihat yang menenangkan juga termasuk sedekah. Rasulullah ? bersabda: “Senyummu kepada saudaramu adalah sedekah.” (HR. Tirmidzi)
Sedekah memiliki nilai spiritual yang besar. Allah berfirman: “Kamu tidak akan memperoleh kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.” (QS. Ali Imran: 92)
Ayat ini menegaskan bahwa sedekah sejati bukan sekadar sisa, tetapi sesuatu yang dicintai. Memberi bukan karena terpaksa atau ingin terlihat baik di mata manusia, tetapi karena cinta kepada Allah dan empati kepada sesama.
Pandangan Ulama Tentang Keikhlasan dalam Sedekah
Imam Ibn Qayyim berkata, “Sedekah menghapus dosa seperti air memadamkan api.” Namun beliau juga memperingatkan: tanpa keikhlasan, sedekah hanyalah gerakan fisik, bukan ibadah hati. Imam As-Syafi’i menegaskan, “Amal itu sesuai tujuannya. Jika engkau mencari dunia melalui amalmu, engkau mendapat dunia. Jika engkau mencari akhirat, engkau mendapat akhirat.” Imam Al-Ghazali menyebut riya sebagai penyakit spiritual yang menjadikan manusia—bukan Allah—sebagai tujuan utama beramal.
Contoh Sedekah yang Benar
Nilai sebuah amal tidak ditentukan besarnya nominal. Memberi dengan penuh keikhlasan, menjaga martabat penerima, serta menghasilkan manfaat nyata adalah ciri utama sedekah yang baik. Allah berfirman: “Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik daripada sedekah yang disertai menyakiti (perasaan).” (QS. Al-Baqarah: 263)
Sedikit namun menjaga kehormatan jauh lebih mulia daripada banyak namun merendahkan.
5 Dosa Besar yang Menghancurkan Pahala Sedekah
1. Riya (Pamer Amal) Motivasi mencari pujian, popularitas, atau konten bisa menghapus pahala. Allah mengecam riya: “Maka celakalah orang-orang yang shalat… yang berbuat riya.” (QS. Al-Ma’un: 4–6) Nabi ? bersabda: “Syirik kecil itu adalah riya.” (HR. Ahmad) Sedekah berubah menjadi “marketing diri”, bukan ibadah.
2. Menyakiti Perasaan Penerima Mengungkit, merendahkan, atau menghina penerima menghancurkan nilai amal. “Janganlah kamu membatalkan sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti perasaan.” (QS. Al-Baqarah: 264)
3. Demi Popularitas atau Branding Sosial Menampilkan wajah penerima yang menangis demi views atau citra adalah bentuk riya publik. Syaikh Ibnu Utsaimin berkata: menunjukkan amal boleh jika untuk mengajarkan, bukan ketenaran.
4. Harta Haram Memberi dari hasil korupsi, penipuan, riba, atau bisnis haram tidak diterima. Nabi ? bersabda: “Allah itu Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik.” (HR. Muslim)
5. Mental Transaksional Beramal agar bisnis lancar atau keuntungan dunia lainnya adalah niat yang salah. “Sesungguhnya amal itu tergantung niat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Solusi Agar Sedekah Diterima Allah
Pertama, bersihkan niat sebelum memberi. Tanyakan: “Jika tidak ada kamera, apakah aku tetap akan memberi?” Kedua, sembunyikan sedekah, sebagaimana Nabi ? menyebut golongan yang memberi tanpa diketahui bahkan oleh tangan kirinya (HR. Bukhari dan Muslim). Ketiga, salurkan melalui lembaga terpercaya seperti BAZNAS agar tepat sasaran serta menghindari pencitraan. Keempat, pastikan sumber harta halal. Terakhir, yakini bahwa pahala datang dari Allah, bukan dari manusia.
Sedekah adalah ibadah hati. Jika dilakukan demi formalitas, ia hanya menjadi topeng, bukan jalan menuju ridha Allah.
ARTIKEL25/11/2025 | indri irmayanti
Bangkit Jadi Muzzaki! Saatnya Wujudkan Perubahan Besar Lewat Zakatmu
Zakat bukan sekadar kewajiban syariat yang harus ditunaikan setiap tahun. Lebih dari itu, zakat adalah sistem ilahi yang dirancang untuk membangun keadilan sosial, menyeimbangkan ekonomi umat, serta membersihkan jiwa dari sifat tamak dan cinta dunia. Dalam sejarah peradaban Islam, kemajuan masyarakat justru lahir ketika para muzzaki memahami peran mereka sebagai pilar distribusi kesejahteraan.
Allah Ta’ala berfirman:
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka…” (QS. At-Taubah: 103)
Ayat ini menegaskan bahwa zakat bukan hanya membersihkan harta, tetapi juga menyucikan jiwa. Imam Al-Qurthubi menjelaskan bahwa zakat adalah bukti keimanan seseorang dan tanda keseriusan dalam menjalankan perintah Allah.
Mengapa Kita Perlu Bangkit Menjadi Muzzaki?
1. Zakat Menegakkan Keadilan Sosial
Ibn Taymiyyah menyebutkan bahwa salah satu tujuan syariat zakat adalah iqâmatul ‘adl—menegakkan keadilan. Harta tidak boleh hanya berputar pada kelompok kaya, sebagaimana Allah mengingatkan dalam QS. Al-Hasyr: 7. Zakat membuat distribusi kekayaan menjadi lebih merata dan menghadirkan peluang bagi yang lemah untuk bangkit.
2. Zakat Mengangkat Kesulitan Saudara Seiman
Rasulullah ? bersabda: “Siapa yang melepaskan satu kesulitan seorang mukmin di dunia, maka Allah akan melepaskan darinya satu kesulitan pada hari kiamat.” (HR. Muslim)
Zakat adalah salah satu cara paling nyata untuk meringankan beban saudara kita. Ketika muzzaki menunaikan zakat dengan ikhlas, maka kebutuhan dasar mustahik dapat terpenuhi, bahkan menjadi jalan lahirnya generasi yang lebih kuat.
3. Zakat Memperluas Keberkahan Harta
Imam Nawawi menegaskan bahwa harta tidak akan berkurang dengan sedekah. Ini sejalan dengan hadis Nabi: “Harta tidak akan berkurang karena sedekah.” (HR. Muslim) Apalagi zakat, yang kedudukannya lebih tinggi dan lebih besar pahalanya.
Zakat: Motor Penggerak Transformasi Umat
Dalam sejarah Islam, terutama pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, zakat pernah membuat negara hampir kehabisan penerima. Hal ini terjadi karena dua faktor utama: kesadaran para muzzaki dan pengelolaan zakat yang profesional.
Para fuqaha seperti Imam As-Syafi’i juga menegaskan bahwa zakat dapat diberikan dalam bentuk modal usaha untuk menciptakan kemandirian ekonomi. Inilah yang membuat zakat bukan sekadar bantuan sesaat, tetapi investasi dalam pemberdayaan.
Zakat juga memperkuat ukhuwah. Ibnu Katsir menyebut zakat sebagai rabithah ijtima’iyyah—ikatan sosial yang menyatukan hati kaum muslimin. Ketika yang mampu membantu yang lemah, maka tercipta masyarakat yang solid, kuat, dan peduli.
Kesimpulan
Menjadi muzzaki berarti mengambil peran besar dalam perubahan masyarakat. Zakat bukan hanya membersihkan harta, tetapi juga membentuk keadilan, menolong sesama, menggerakkan ekonomi, serta menyucikan hati. Dengan menunaikan zakat dan memperbanyak sedekah, kita bukan hanya membantu orang lain, tetapi juga menyiapkan bekal terbaik untuk akhirat.
Mari jadikan zakat sebagai kebiasaan yang penuh keikhlasan. Setiap kebaikan yang kita berikan akan kembali menjadi keberkahan, kelapangan rezeki, dan pahala yang terus mengalir hingga hari kemudian.
Saatnya bangkit menjadi muzzaki dan wujudkan perubahan besar melalui zakatmu!
ARTIKEL25/11/2025 | Yessi Ade Lia Putri
Menjadi Muzaki Cerdas: Memahami Hak Mustahik dan Keberkahan Harta
Pendahuluan
Dalam Islam, harta bukan milik mutlak manusia. Ia hanyalah titipan Allah yang harus dikelola sesuai syariat. Zakat menjadi mekanisme keadilan sosial: mengambil sebagian harta dari orang yang mampu (muzaki) dan memberikannya kepada pihak yang berhak (mustahik). Dengan memahami peran keduanya, seorang Muslim tidak hanya menjalankan kewajiban, tetapi juga menjaga keberkahan hidup dan ketenangan jiwa.
Siapa Itu Muzaki?
Muzaki adalah Muslim yang wajib menunaikan zakat karena hartanya sudah memenuhi tiga syarat:
Mencapai nisab, yaitu jumlah minimal harta yang menentukan kewajiban zakat.
Mencapai haul, yaitu kepemilikan harta selama satu tahun hijriah (untuk sebagian jenis harta).
Harta berkembang, memiliki potensi bertambah nilai atau manfaat.
Allah berfirman:
“Ambillah zakat dari harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” (QS. At-Taubah: 103)
Ayat ini menunjukkan bahwa zakat bukan sekadar donasi, tetapi kewajiban penyucian harta dan hati pemiliknya.
Rasulullah SAW juga bersabda:
“Sesungguhnya Allah mewajibkan zakat pada harta mereka. Ia diambil dari orang kaya mereka dan dikembalikan kepada orang miskin di antara mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menegaskan, zakat menurunkan rasa cinta dunia. Ibn Taymiyyah menyebut, orang yang menahan zakat berarti menahan hak orang lain — suatu bentuk kezaliman sosial.
Siapa Itu Mustahik?
Mustahik adalah pihak yang berhak menerima zakat. Allah menetapkan delapan golongan secara jelas:
“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang fakir, miskin, amil, muallaf, memerdekakan budak, orang berhutang, untuk jalan Allah, dan untuk ibnu sabil…” (QS. At-Taubah: 60)
Para ulama menegaskan zakat tidak boleh keluar dari 8 kategori ini. Imam Nawawi mengatakan bahwa mustahik memiliki hak, bukan sekadar hadiah. Ibnu Qudamah menambahkan, fakir dan miskin memiliki prioritas tertinggi karena tujuan zakat adalah mengangkat taraf hidup mereka.
Kewajiban Muzaki
Menyalurkan zakat sesuai syariat, bukan asal memberikan pada orang yang terlihat miskin.
Mengetahui nisab, misalnya nisab emas = 85 gram emas.
Tidak menunda zakat. Rasulullah SAW memperingatkan:
“Tidak ada orang yang memiliki emas dan perak namun tidak menunaikan zakatnya, kecuali di hari kiamat keduanya dipanaskan lalu diseterakan ke tubuhnya.” (HR. Muslim)
Hak Mustahik
Menerima zakat tanpa direndahkan. Allah berfirman:
“Dan pada harta-harta mereka ada hak bagi orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak meminta.” (QS. Adz-Dzariyat: 19) Ayat ini menunjukkan bahwa hak orang miskin melekat pada harta orang kaya.
Dibantu hingga mandiri. Imam Malik mencontohkan pemberian zakat produktif: modal usaha yang mengangkat mustahik menjadi mandiri sehingga suatu hari ia menjadi muzaki.
Keberkahan Harta
Rasulullah SAW bersabda:
“Harta tidak akan berkurang karena sedekah.” (HR. Muslim)
Ibn Qayyim menjelaskan, zakat bukan menghancurkan harta tetapi menjaga keberkahannya. Kekurangan nominal diganti oleh ketenangan hidup, kelapangan rezeki, dan hubungan sosial yang baik.
Solusi Praktis Menjadi Muzaki Cerdas
Gunakan lembaga zakat resmi. BAZNAS atau LAZ memiliki verifikasi mustahik, distribusi tepat sasaran, program pemberdayaan, dan audit transparan.
Catat harta secara rutin. Cara sederhana: total aset (tabungan, usaha, emas, investasi) dikurangi utang. Jika mencapai nisab, zakat wajib dibayar. Muzaki yang baik tidak menebak, tetapi menghitung.
Tingkatkan literasi zakat. Ikuti kajian, baca buku fiqih, konsultasi ahli. Imam Abu Hanifah berkata, “Belajar ilmu zakat itu wajib sebagaimana ilmu shalat.”
Jaga niat. Allah melarang pamer:
“Janganlah kamu menghilangkan pahala sedekahmu dengan menyebut-nyebut pemberian dan menyakiti.” (QS. Al-Baqarah: 264) Zakat adalah ibadah, bukan konten media sosial.
Kesimpulan
Menjadi muzaki adalah kehormatan. Ketika zakat disalurkan sesuai syariat, memahami hak mustahik, mengikuti pandangan ulama, serta menggunakan saluran yang profesional—zakat menjadi energi keberkahan yang mengangkat martabat masyarakat. Harta tidak berkurang oleh zakat; justru hati dan kehidupan yang bertambah lapang.
ARTIKEL25/11/2025 | indri irmayanti
STOP! Menormalisasi HP pada Anak: 7 Dampak Besar yang Menghancurkan Masa Depannya
Di tengah kehidupan modern, ponsel pintar (HP) sering dianggap sebagai solusi instan. Anak rewel? Diberikan HP. Anak bosan? Diberikan HP. Kebiasaan ini lama-kelamaan menjadi normal, bahkan dianggap strategi parenting. Padahal normalisasi HP pada anak kecil adalah bahaya besar yang dampaknya terasa bertahun-tahun kemudian. Anak berkembang melalui interaksi nyata, bukan layar.
1. Gangguan Perkembangan Otak dan Fokus
Usia dini adalah fase emas perkembangan saraf. Anak perlu stimulasi langsung: berlari, berbicara, bermain, dan bertanya. Layar menyajikan hiburan cepat, membuat otak anak terbiasa akan reward instan. Akibatnya, fokus melemah, anak sulit bertahan pada tugas yang memerlukan kesabaran. Mereka mudah bosan ketika menghadapi buku atau pelajaran.
2. Hambatan Sosial-Emosional
Empati, komunikasi, dan kemampuan sosial terbentuk melalui interaksi manusia. Anak yang terlalu sering menatap layar lebih sulit membaca ekspresi, memahami perasaan, dan mengontrol emosi. Mereka mudah tantrum karena menuntut stimulus instan seperti di HP. Ketika dewasa, mereka cenderung rapuh secara emosional dan kesulitan membangun hubungan.
3. Gangguan Tidur dan Kesehatan
Cahaya biru dari layar menghambat produksi melatonin, hormon yang mengatur tidur. Anak yang tidur terlambat akan kelelahan, sulit fokus, dan mudah marah. Selain itu, duduk terlalu lama dan menunduk merusak postur tulang belakang, mata, hingga keseimbangan fisik jangka panjang.
4. Ketergantungan Psikologis
Aplikasi dirancang untuk menciptakan kecanduan. Setiap scroll atau reward dalam gim memicu dopamin. Anak yang belum memiliki kontrol diri akan mencari kesenangan cepat dan sulit berhenti. Mereka tidak bisa bermain tanpa HP, tidak bisa menunggu, dan tidak mampu menikmati aktivitas sederhana.
5. Paparan Konten Negatif
Internet bukan ruang aman. Video, iklan, atau rekomendasi algoritma bisa menampilkan konten kekerasan, seksual, atau gaya hidup tak sesuai nilai Islam. Tanpa kontrol, anak menyerap nilai dan perilaku yang tidak seharusnya mereka lihat pada usia tersebut.
6. Mengikis Akhlak dan Spiritualitas
Kerusakan terbesar sering tidak terlihat: hilangnya rasa malu, disiplin, dan sensitivitas iman. Allah memerintahkan:
“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” (QS. At-Tahrim: 6)
Perintah ini mencakup penjagaan akidah, akhlak, dan pendidikan. Rasulullah ? juga bersabda:
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari No. 1296 & Muslim No. 2658)
Jika HP menjadi “guru”, maka internetlah yang membentuk fitrahnya.
7. Penurunan Prestasi Akademik
Anak terbiasa video cepat, gim warna-warni, atau konten lucu. Buku terasa membosankan. Mereka sering menunda tugas dan sulit fokus. Prestasi bukan semata soal IQ; ia lahir dari kebiasaan disiplin dan kemampuan berpikir mendalam, yang rusak oleh overstimulasi digital.
Solusi Ringkas untuk Orang Tua
Batasi usia sangat dini. Anak <7 tahun sebaiknya tanpa HP pribadi.
Jadilah teladan. Anak meniru orang tua.
Sediakan alternatif menarik: permainan nyata, buku, seni, aktivitas keluarga.
Gunakan kontrol dan pengawasan. HP hanya dipakai dalam konteks edukasi.
Utamakan interaksi manusia. Bicara, bermain, dan ajari adab.
Kesimpulan
Normalisasi HP pada anak bukan tanda modern, melainkan kelalaian yang berbahaya. Efeknya merusak otak, emosi, akhlak, dan masa depan. HP adalah alat bantu — bukan pengasuh, bukan guru, dan bukan dunia anak. Orang tua harus kembali memegang peran utama dalam membimbing generasi.
ARTIKEL24/11/2025 | indri irmayanti
Stop Hate Comment: Islam Mengajarkan Kita untuk Menjaga Hati dan Jari
Di era digital seperti sekarang, media sosial menjadi tempat berkumpulnya jutaan manusia setiap hari. Sayangnya, perkembangan teknologi ini tidak selalu diiringi dengan akhlak yang baik. Fenomena hate comment—komentar penuh kebencian, hinaan, fitnah, dan merendahkan orang lain—menjadi hal yang lumrah. Padahal, dalam Islam, menjaga lisan dan tulisan merupakan bagian dari ibadah. Apa yang kita ucapkan, ketik, dan sebarkan di dunia maya memiliki konsekuensi besar, baik di dunia maupun akhirat.
1. Setiap Kata Akan Dimintai Pertanggungjawaban Dalam Islam, tidak ada satu kata pun yang keluar dari lisan seseorang kecuali dicatat oleh malaikat. Begitu juga tulisan di kolom komentar. Meski hanya mengetik satu kalimat pendek, itu tetap dianggap sebagai “ucapan” yang akan dipertanggungjawabkan kelak. Karena itu, seorang Muslim dituntut untuk lebih berhati-hati sebelum mengetik sesuatu yang berpotensi menyakiti orang lain atau menimbulkan permusuhan.
2. Larangan Menghina, Mencaci, dan Merendahkan Orang Lain Hate comment sering berisi hinaan atau merendahkan seseorang—baik fisik, pekerjaan, pilihan hidup, maupun kesalahan yang pernah dilakukan. Dalam Islam, perbuatan seperti ini jelas dilarang. Allah memerintahkan kita untuk tidak saling mencela dan tidak memanggil dengan gelar-gelar buruk. Menghina seseorang di komentar media sosial sama saja dengan mencacinya secara langsung. Bahkan bisa lebih berbahaya karena disaksikan banyak orang.
3. Fitnah dan Tuduhan Tanpa Bukti Adalah Dosa Besar Banyak komentar negatif muncul dari informasi yang tidak pasti atau hanya ikut-ikutan. Ada orang yang menuduh tanpa bukti, menyebarkan gosip, atau mempermalukan seseorang dengan cerita yang belum tentu benar. Dalam Islam, fitnah lebih kejam dari pembunuhan karena dapat merusak nama baik dan kehidupan seseorang. Menuduh, menyebarkan rumor, atau memberikan komentar yang mengandung hoaks termasuk dalam perbuatan dosa besar.
4. Komentar Jahat Bisa Menjadi “Dosa Jariyah” Islam mengenal konsep “amal jariyah”—kebaikan yang terus mengalir pahalanya. Tapi kebalikannya juga ada: dosa yang terus mengalir. Jika seseorang membuat komentar penuh kebencian dan komentar itu dibagikan, ditiru, atau menimbulkan kerusakan yang lebih besar, maka dosa tersebut akan terus mengalir kepada pelakunya. Satu komentar buruk dapat menjadi rantai panjang keburukan di dunia maya.
5. Menyakiti Hati Sesama Muslim Termasuk Perbuatan Zalim Hate comment kerap kali menyakiti perasaan seseorang, bahkan dapat membuat orang depresi atau kehilangan kepercayaan diri. Islam mengajarkan bahwa menyakiti hati sesama Muslim termasuk perbuatan zalim. Setiap Muslim wajib menjaga hubungan baik, saling menghormati, dan tidak membuat orang lain merasa rendah diri. Menyakiti melalui tulisan di internet sama buruknya dengan menyakiti secara langsung.
6. Berkata Baik atau Diam Islam memberikan pedoman sederhana namun sangat kuat: “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” Prinsip ini sangat relevan dengan perilaku di media sosial. Jika komentar kita tidak membawa manfaat, lebih baik kita menahan diri. Sebuah diam lebih mulia daripada komentar yang menyakiti.
Penutup
Hate comment bukan hanya masalah etika, tetapi juga masalah iman. Islam mengajarkan kita untuk menjaga lisan dan tulisan agar tidak merugikan orang lain. Di dunia digital yang serba cepat, kita perlu lebih bijak, lebih tenang, dan lebih bertakwa sebelum mengetik apa pun. Jaga jari, jaga hati, dan jadikan media sosial sebagai ladang pahala, bukan sumber dosa.
ARTIKEL24/11/2025 | Yessi Ade Lia Putri
Antara Munfik yang Ikhlas dan Munfik yang Pamer: 7 Pelajaran dari Dalil Syariat
Dalam kehidupan sehari-hari, istilah munfik sering muncul dalam konteks ibadah dan kebaikan. Kata munfik berasal dari bahasa Arab “anfaqa” yang berarti menginfakkan atau membelanjakan harta untuk kebaikan. Syariat Islam menekankan bahwa niat dan cara seseorang berinfak sangat menentukan kualitas amalnya. Tidak semua yang terlihat sebagai kebaikan di mata manusia diterima oleh Allah jika niatnya salah. Di sinilah muncul perbedaan antara munfik yang ikhlas dan munfik yang pamer.
Pengertian Munfik
Secara umum, munfik adalah orang yang membelanjakan hartanya untuk kebaikan, seperti sedekah, zakat, infak di jalan Allah, atau membantu orang yang membutuhkan. Allah berfirman:
“Perumpamaan orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, tiap tangkai berisi seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. Al-Baqarah: 261)
Ayat ini menegaskan bahwa setiap harta yang disalurkan untuk kebaikan akan mendapatkan balasan yang berlipat dari Allah, asal dilakukan dengan ikhlas, bukan untuk riya’ atau pamer. Jika seseorang berinfak hanya untuk menunjukkan diri di hadapan manusia agar dipuji, amalnya bisa menjadi sia-sia. Inilah yang disebut munfik yang pamer.
7 Pelajaran dari Dalil Syariat Tentang Munfik
1. Niat adalah Kunci Penerimaan Amal Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya setiap amal tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Niat ikhlas untuk mencari ridha Allah menjadikan amal diterima, sedangkan niat pamer atau riya’ bisa menghapus pahala.
2. Riya’ Merusak Keberkahan Infak Allah berfirman:
“Dan mereka menafkahkan hartanya hanya agar dilihat manusia. Tidak ada bagi mereka pahala sedikit pun di sisi Allah.” (QS. Al-Baqarah: 264)
Pamer atau riya’ mengurangi keberkahan amal, bahkan bisa menjadi dosa besar.
3. Infak yang Ikhlas Menenangkan Hati Infak yang dilakukan dengan ikhlas menimbulkan ketenangan batin, kepuasan, dan kebahagiaan. Ulama menjelaskan bahwa ikhlas membuat hati ringan dan jauh dari beban kesombongan atau rasa ingin dipuji manusia.
4. Perbuatan Ikhlas Mendatangkan Balasan Tak Terduga Rasulullah SAW bersabda:
“Senyumanmu kepada saudaramu adalah sedekah. Memberi minum air kepada hewan juga sedekah. Dan setiap kebaikan yang dilakukan dengan ikhlas akan dilipatgandakan pahala-Nya.” (HR. Ahmad)
Setiap amal kebaikan, bukan hanya uang, jika dilakukan ikhlas akan mendapatkan ganjaran dari Allah.
5. Rahasia Amal adalah Bentuk Ketaatan Tertinggi Menjaga amal tetap rahasia merupakan bentuk ketaatan tertinggi. Pahala tetap utuh, kehormatan diri terjaga, dan hati menjadi tenang. Rasulullah SAW pun sering bersedekah tanpa diketahui orang lain.
6. Dampak Munfik yang Pamer pada Hubungan Sosial Munfik yang pamer bisa memicu iri dan rendah diri pada orang lain, merusak ukhuwah. Sebaliknya, munfik yang ikhlas memperkuat persaudaraan karena orang lain tidak merasa dibandingkan.
7. Membedakan Munfik yang Ikhlas dan Munfik yang Pamer di Era Modern Di era digital, pamer amal sangat mudah lewat media sosial. Penting membedakan berbagi untuk menginspirasi dengan riya’. Infak tetap bisa diumumkan untuk manfaat orang lain, tapi niat harus ikhlas, bukan mencari pujian.
Kesimpulan
Menjadi munfik yang ikhlas adalah tujuan setiap muslim dalam beramal. Infak yang ikhlas menenangkan hati, mendatangkan keberkahan, dan menghasilkan pahala yang berlipat ganda. Sebaliknya, munfik yang pamer merusak pahala, membawa riya’, dan berpotensi menimbulkan kecemburuan sosial.
Untuk itu, mari selalu menjaga niat dalam setiap amal kebaikan, menyalurkan sedekah dengan tulus, dan berusaha menjadikan setiap infak sebagai jalan mendekatkan diri kepada Allah. Dengan niat yang ikhlas, setiap kebaikan yang kita lakukan akan membawa manfaat bagi diri sendiri, orang lain, dan mendapat pahala yang terus mengalir hingga akhirat.
ARTIKEL24/11/2025 | Yessi Ade Lia Putri
Ketika Munfiq Menjadi Munafik: Bahaya Sedekah Hanya Demi Gengsi
Di era media sosial, sedekah semakin sering muncul dalam bentuk konten. Wajah fakir miskin direkam, tangisan anak yatim dijadikan footage dramatis, dan amplop donasi difoto lengkap dengan logo lembaga. Dalam konteks ini, seorang munfiq (orang yang bersedekah) bisa berubah menjadi munafik—bukan karena ia tidak bersedekah, tetapi karena hatinya menjadikan sedekah sebagai panggung ego. Inilah bahaya sedekah yang dilakukan hanya demi gengsi.
Sedekah Sebagai Pertunjukan, Bukan Ibadah
Sedekah adalah ibadah hati sebelum ibadah harta. Allah menegaskan:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan pahala sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti perasaan penerima.” (QS. Al-Baqarah: 264)
Ayat ini menunjukkan dua racun sedekah: riyaa’ (ingin dipuji) dan mann (menyombongkan pemberian). Ketika pemberian diumbar demi citra, maka sedekah tidak lagi menuju Allah, tetapi menuju manusia.
Rasulullah ? bersabda:
“Amalan itu tergantung niatnya.” (HR. Bukhari & Muslim)
Niat adalah inti ibadah. Sedekah Rp 1 juta karena Allah lebih mulia daripada sedekah Rp 100 juta demi kamera.
Ciri Munfiq yang Terperangkap Munafik
Sedekah untuk dipuji, bukan untuk membantu. Tujuan utama adalah reputasi: “Dia dermawan”, “Dia influencer dakwah”, “Dia filantropis.”
Memamerkan penerima sebagai objek konten. Fakir, janda, anak yatim dijadikan bahan visual. Martabat mereka dilucuti agar terlihat “menyentuh”.
Menggunakan sedekah untuk politik atau bisnis. Bantuan menjadi alat negosiasi kepentingan—bukan bentuk kasih sayang.
Padahal Allah mengingatkan sifat orang munafik:
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, padahal Allah-lah yang menipu mereka.” (QS. An-Nisa: 142)
Munafik bukan hanya berpura-pura beriman—ia termasuk yang menipu Allah melalui amal luar, namun hatinya rusak.
Pandangan Ulama: Sedekah Paling Mulia Adalah Yang Disembunyikan
Para ulama salaf bersedekah malam hari, menyamarkan identitas, bahkan menyampaikan makanan melalui pintu belakang. Mereka menjaga amalan agar tidak terkontaminasi riyaa’.
Imam Al-Ghazali berkata:
“Amal yang dicampuri riyaa’ adalah amal rusak yang menggugurkan pahala.”
Sedekah bukan sekadar transfer harta, tetapi latihan menundukkan ego. Jika sedekah membuat hati sombong, maka sedekah itu merusak diri.
Bolehkah Sedekah Dipublikasikan?
Boleh, jika tujuannya edukasi, bukan pencitraan.
Allah berfirman:
“Jika kamu menampakkan sedekahmu, maka itu baik. Tetapi jika kamu menyembunyikannya dan memberikannya kepada fakir miskin, itu lebih baik bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 271)
Publikasi boleh ketika:
mendorong masyarakat ikut beramal,
meningkatkan kesadaran sosial,
atau transparansi lembaga.
Namun niat harus dijaga. Ketika hati gembira karena views, bukan ridha Allah, itu tanda bahaya.
Kembali ke Hakikat Sedekah
Munfiq sejati tidak membutuhkan spotlight. Ia tenang meski manusia tidak tahu. Sedekahnya menyuburkan keimanan, bukan popularitas. Sedekah yang benar mengangkat penerima, bukan mengangkat kamera.
Di akhirat, Allah tidak menilai viralitas sedekahmu—Ia menilai hatimu saat memberi. Jika sedekah menjadi jalan riyaa’, maka ia berubah dari ibadah menjadi dosa.
ARTIKEL24/11/2025 | indri irmayanti
Mau Berubah Tapi Takut Dinilai? Ini Perspektif Islam yang Bisa Nge-Boost Kamu
Ingin berubah jadi pribadi yang lebih baik tapi takut dinilai? Kamu nggak sendirian. Banyak orang ingin memperbaiki diri—lebih rajin ibadah, lebih sabar, lebih dekat sama Allah—tapi rasa takut dicibir atau dianggap sok suci sering bikin langkah jadi mundur. Padahal, Islam punya cara pandang yang bisa banget bikin kamu lebih berani melangkah.
1. Perubahan Itu Bernilai Besar di Sisi Allah
Allah SWT sudah kasih dorongan kuat untuk berubah:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11)
Menurut tafsir Ibnu Katsir, ayat ini adalah motivasi bahwa perubahan kecil pun dihargai oleh Allah. Jadi meski orang lain nggak lihat perkembanganmu, Allah sudah menghitung setiap langkahmu.
Sentimen positif: Apa pun langkah kecilmu menuju kebaikan, itu sudah jadi investasi besar untuk akhirat.
2. Wajar Takut Dinilai, Tapi Jangan Sampai Menghambat
Takut dinilai itu manusiawi. Tapi kalau berlebihan, itu bisa jadi penghalang utama dalam hijrah.
Sentimen negatif: Rasa takut yang tak terkontrol bisa bikin kamu terjebak dan tidak bergerak sama sekali.
Nabi SAW mengingatkan:
“Setiap anak Adam pasti berbuat salah. Dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang bertaubat.” (HR. Tirmidzi)
Artinya? Kamu nggak harus sudah sempurna baru boleh berubah. Semua orang mulai dari nol.
3. Fokus Pada Penilaian Allah, Bukan Penilaian Manusia
Rasulullah SAW bersabda:
“Allah tidak melihat rupa kalian dan harta kalian, tetapi Dia melihat hati dan amal kalian.” (HR. Muslim)
Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa manusia sering tertipu oleh penilaian manusia lain, padahal penilaian itu tidak menentukan apa pun di hadapan Allah. Jadi kalau kamu takut disebut sok alim, ingat: yang nilai kamu bukan mereka.
4. Mulai dari yang Kecil dan Konsisten
Dalam Islam, perubahan itu tidak harus besar. Yang penting konsisten.
Rasulullah SAW bersabda:
“Amalan yang paling dicintai Allah adalah yang dilakukan terus-menerus meskipun kecil.” (HR. Bukhari)
Mulailah dari hal sederhana:
Shalat tepat waktu
Mengurangi dosa digital
Membaca satu halaman Al-Qur’an
Menjaga lisan
Perbanyak istighfar
Perubahan kecil tapi terus dilakukan jauh lebih bernilai daripada perubahan drastis yang hanya bertahan sebentar.
5. Komentar Orang Itu Ujian, Bukan Penghalang
Kadang, orang mengomentarimu bukan karena kamu salah. Mereka hanya belum siap melihatmu berubah.
Allah sudah mengingatkan:
“Apakah manusia mengira mereka akan dibiarkan berkata: ‘Kami beriman’, sedangkan mereka tidak diuji?” (QS. Al-Ankabut: 2)
Komentar negatif itu ujian, bukan sinyal untuk berhenti. Justru itu tanda kamu sedang naik level.
6. Kamu Berhak Menjadi Versi Terbaikmu
Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa kekuatan terbesar seorang hamba adalah keikhlasan. Ketika kamu ikhlas berubah untuk Allah, hati akan terasa lebih ringan, dan omongan manusia tidak lagi menakutkan.
Perubahan itu hakmu. Kamu tidak perlu izin siapa pun untuk jadi lebih baik.
Kesimpulan
Takut dinilai itu wajar, tapi jangan sampai menghentikan langkahmu. Islam mendukung siapa pun yang ingin memperbaiki diri, meski pelan. Mulailah dari hal kecil, jaga niat tetap ikhlas, dan fokus pada penilaian Allah. Karena hanya itu yang benar-benar penting.
ARTIKEL21/11/2025 | indri irmayanti
Hijrah Bukan Gagal, Kamu Hanya Belum Tahu Cara Memulainya
Dalam perjalanan hidup, ada masa ketika hati tiba-tiba ingin berubah menjadi lebih baik. Keinginan itu disebut hijrah. Namun banyak orang merasa gagal sebelum benar-benar memulai. Baru beberapa hari meninggalkan kebiasaan buruk, jatuh lagi. Baru mulai rajin ibadah, lalu futur. Akhirnya muncul pikiran: “Sepertinya aku gagal hijrah.”
Padahal kamu tidak gagal — kamu hanya belum tahu cara memulai hijrah dengan benar.
1. Hijrah Itu Proses Bertahap, Bukan Instan
Hijrah bukan perubahan dalam sehari. Para sahabat pun ditempa sedikit demi sedikit.
Allah berfirman:
“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami, pasti Kami beri petunjuk kepada jalan-jalan Kami.” (QS. Al-Ankabut: 69)
Ibn Katsir menjelaskan bahwa hidayah turun sebanding dengan kesungguhan, bukan kecepatan. Jadi ketika kamu jatuh, itu tidak berarti gagal — itu bagian dari proses Allah membentukmu.
2. Jatuh Bangun Itu Tanda Kamu Sedang Bergerak
Rasulullah ? bersabda:
“Setiap anak Adam pasti berbuat salah, dan sebaik-baik yang bersalah adalah yang bertaubat.” (HR. Tirmidzi)
Imam An-Nawawi menyebutkan bahwa Allah mencintai hamba yang kembali setelah terjatuh. Sahl At-Tustari berkata:
“Langkah pertama menuju Allah adalah menyadari kelemahan diri.”
Jika kamu merasa lemah, sering salah, atau belum kuat — itu artinya hatimu sedang dipanggil untuk membaik.
3. Mulai dari yang Kecil, Tapi Konsisten
Salah satu penyebab seseorang merasa gagal hijrah adalah memulai terlalu besar. Padahal Nabi ? bersabda:
“Amalan yang paling dicintai Allah adalah yang paling konsisten meski sedikit.” (HR. Bukhari & Muslim)
Imam Asy-Syafi’i menekankan bahwa amalan kecil namun terjaga lebih mengubah hati daripada amalan besar yang tidak bertahan lama.
Mulailah dari:
meningkatkan kualitas shalat,
membaca 1–2 halaman Al-Qur’an,
mengurangi maksiat sedikit demi sedikit.
Perubahan kecil tetap berharga di sisi Allah.
4. Lingkungan Menentukan Kuat-Tidaknya Hijrah
Kadang seseorang bukan gagal, tetapi sendirian.
Rasulullah ? bersabda:
“Seseorang mengikuti agama temannya.” (HR. Abu Dawud)
Al-Ghazali menyebut teman sebagai “cermin hati.” Maka carilah lingkungan yang mendukungmu:
teman yang juga ingin berubah,
komunitas kajian,
circle yang mengingatkanmu kepada Allah.
Hijrah tanpa teman sering membuat hati rapuh.
5. Hijrah Itu Perang Melawan Nafsu — Wajar Jika Berat
Allah berfirman:
“Barang siapa menahan diri dari keinginan hawa nafsu, maka surgalah tempat tinggalnya.” (QS. An-Nazi’at: 40–41)
Ibn Qayyim menjelaskan bahwa musuh terbesar manusia adalah nafsunya sendiri. Rasa berat justru tanda bahwa kamu sedang berjuang, bukan gagal.
Jika kamu merasa:
berat meninggalkan kebiasaan buruk,
berat memulai ibadah,
berat menahan diri,
itu ciri bahwa hijrahmu sedang diuji seperti orang beriman lainnya.
6. Tarikan Masa Lalu Bukan Sinyal Gagal, Tapi Ujian Kenaikan Level
Allah berfirman:
“Apakah manusia mengira mereka akan dibiarkan berkata ‘kami beriman’ sedangkan mereka belum diuji?” (QS. Al-Ankabut: 2)
Ulama tafsir menjelaskan bahwa ujian justru bukti iman sedang naik. Teman lama, godaan lama, kebiasaan lama — semuanya hadir untuk menguatkanmu.
Rasulullah ? bersabda:
“Surga dikelilingi hal-hal yang tidak disukai.” (HR. Muslim)
Kalau hijrah terasa berat, justru itu tanda kamu ada di jalur yang benar.
7. Hijrah Adalah Penyembuhan Hati
Sering kali seseorang berhijrah karena hati lelah. Allah berfirman:
“Dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.” (QS. Ar-Ra’d: 28)
Ibn al-Qayyim mengatakan bahwa maksiat menggelapkan hati, sedangkan taat memberi cahaya. Hijrah adalah perjalanan pulang menuju cahaya itu — penyembuhan bagi jiwa.
8. Doa yang Menguatkan Proses Hijrah
Rasulullah ? mengajarkan doa-doa berikut:
1. “Ya Muqallibal Qulub, tsabbit qalbi ‘ala dinik.” (HR. Tirmidzi)
2. “Allahumma ihdini wa saddidni.” (HR. Muslim)
3. “Allahumma inni a’udzu bika min syarri nafsi.”
4. “Rabbighfir li wa tub ‘alayya…” (QS. Al-Baqarah: 128)
Doa-doa ini adalah bahan bakar hijrah — gulirkan setiap hari.
Kesimpulan
Hijrah bukan tentang menjadi sempurna, bukan tentang tidak pernah jatuh, dan bukan tentang berubah dalam semalam. Hijrah adalah perjalanan panjang yang penuh jatuh-bangun, penuh tarikan masa lalu, penuh perjuangan terhadap diri sendiri. Jika kamu masih ingin kembali kepada Allah, jika kamu terus mencoba meski lemah, maka kamu tidak gagal — kamu sedang berproses.
Allah tidak menilai seberapa cepat kamu berubah, tetapi seberapa kuat kamu terus kembali kepada-Nya.
Semoga Allah meneguhkan setiap langkah kecilmu, menguatkan hatimu, dan menjadikan hijrah ini jalan menuju ketenangan yang selama ini kamu cari. Aamiin.
ARTIKEL21/11/2025 | Yessi Ade Lia Putri
Fokus atau FOMO? Panduan Muslim Menghindari Perangkap Dunia
Di era digital, hampir semua orang hidup berdampingan dengan media sosial. Setiap hari ada informasi baru, tren baru, dan pencapaian orang lain yang membuat kita merasa harus ikut serta. Tanpa disadari, muncul rasa takut tertinggal—FOMO (Fear of Missing Out). Bagi seorang Muslim, FOMO bukan sekadar rasa ingin tahu, tetapi dapat menjadi ujian keimanan: apakah kita tetap fokus pada tujuan hidup atau larut dalam arus dunia?
Dampak Positif Media Sosial Menurut Perspektif Islam
Media sosial sebenarnya bukan hanya ancaman. Banyak manfaat yang bisa didapatkan jika digunakan dengan bijak.
Pertama, dakwah digital. Banyak kajian, nasihat ulama, dan konten Islami yang bisa menguatkan iman. Allah berfirman:
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan takwa…” (QS. Al-M?idah: 2)
Media sosial menjadi ruang luas untuk saling menasihati secara modern.
Kedua, akses ilmu agama sangat mudah. Kajian dapat diikuti dari mana saja tanpa harus hadir fisik.
Ketiga, memperkuat ukhuwah, karena seseorang dapat terhubung dengan komunitas muslim global.
Ini menunjukkan bahwa media sosial bisa menjadi sarana kebaikan jika digunakan dengan tujuan yang benar.
Dampak Negatif: FOMO, Distraksi, dan Kecemasan
Namun, bahaya media sosial juga nyata.
FOMO dapat membuat seseorang gelisah karena merasa hidupnya tertinggal dari orang lain. Padahal Rasulullah ? bersabda:
“Lihatlah kepada orang yang lebih rendah daripada kalian, dan jangan melihat kepada yang lebih tinggi, agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah.” (HR. Muslim)
Hadis ini sejalan dengan fenomena FOMO—ketika seseorang terlalu sering membandingkan hidupnya dengan orang lain di dunia digital.
Selain itu, media sosial dapat menjadi tempat ghibah, fitnah, pamer, iri, dan pikiran negatif. Al-Qur’an memperingatkan:
“Janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain…” (QS. Al-Hujur?t: 12)
Waktu yang terbuang untuk scroll tanpa tujuan juga membuat ibadah terabaikan. Inilah perangkap dunia yang sering tidak disadari.
Pandangan Ulama tentang Godaan Dunia Digital
Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa hati manusia sangat mudah terpengaruh oleh apa yang dilihat setiap hari. Jika yang dilihat adalah kesenangan dunia, maka hati akan mengikuti dunia. Media sosial menjadi contoh modern dari hal ini.
Ibnu Taimiyyah menekankan pentingnya ikhlas dan niat sebelum berbuat sesuatu. Jika membuka media sosial tanpa niat yang jelas, maka peluang terseret arus pun semakin besar.
Pro & Kontra
Pro (Positif)
Mempermudah dakwah dan penyebaran ilmu.
Menjadi sarana komunikasi dan komunitas.
Bisa meningkatkan motivasi dan spirit hijrah.
Kontra (Negatif)
Memicu FOMO, iri, minder, dan perbandingan sosial.
Menghabiskan waktu produktif dan melemahkan ibadah.
Banyak konten mudarat: ghibah, hoaks, dan pornografi.
Solusi Islami Menghindari Perangkap FOMO
Tetapkan niat sebelum membuka media sosial.
Atur batas waktu harian agar tidak kecanduan.
Kurasi akun yang diikuti—pilih yang membawa manfaat.
Lakukan detox digital sekali atau dua kali seminggu.
Perbanyak dzikir dan muhasabah, agar hati tidak mudah goyah.
Fokus pada tujuan dunia & akhirat, bukan pencapaian orang lain.
Kesimpulan
Media sosial bukan musuh, tapi juga bukan tempat aman. Ia seperti pisau: bisa bermanfaat atau membahayakan. FOMO adalah jebakan halus yang dapat mengikis rasa syukur dan fokus hidup. Islam mengajarkan keseimbangan—gunakan teknologi, tapi jangan diperbudak olehnya. Selama niat dijaga, waktu dikontrol, dan hati diluruskan, seorang Muslim dapat tetap fokus dan tidak terperangkap dunia.
ARTIKEL21/11/2025 | indri irmayanti
Ketika Hati Membandingkan: Apa Kata Islam?
Di era media sosial, manusia seperti hidup di panggung besar yang penuh sorotan. Setiap orang berusaha menampilkan sisi terbaik dari dirinya—kebahagiaan, pencapaian, keindahan hidup. Namun di balik layar, hati orang lain tidak pernah kita ketahui. Ketika melihat hidup orang lain tampak lebih mulus dan lebih berwarna, muncul bisikan halus dalam diri: “Mengapa hidupku tidak seindah mereka?”
Perasaan membandingkan diri ini sebenarnya manusiawi. Namun jika dibiarkan, ia dapat menumbuhkan penyakit hati seperti hasad, rendah diri, bahkan suuzan kepada Allah. Islam memberikan panduan jelas agar hati tidak tenggelam dalam perasaan negatif tersebut.
1. Mengapa Kita Mudah Membandingkan Diri?
Para ulama menjelaskan bahwa akar dari sifat suka membandingkan diri terletak pada fokus yang salah. Ibn Qayyim berkata:
“Penyakit hati bermula dari dua hal: terlalu banyak melihat nikmat orang lain dan terlalu sedikit melihat nikmat sendiri.” (Madarij As-Salikin)
Media sosial juga memperparah keadaan karena menampilkan “highlight” hidup orang lain. Seperti dicatat Syekh Shalih al-Munajjid, media sosial menciptakan ilusi seolah semua orang hidup sempurna, padahal setiap orang menyimpan ujian yang tidak terlihat.
2. Islam Melarang Hasad dan Sifat Membandingkan Berlebihan
Allah menegaskan:
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang Allah lebihkan sebagian kamu atas sebagian yang lain.” (QS. An-Nisa’: 32)
Dan Rasulullah ? bersabda:
“Hasad memakan kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar.” (HR. Abu Dawud)
Hasad bukan hanya menyakiti sesama, tetapi juga merusak diri sendiri. Ibn Taimiyah bahkan mengatakan bahwa hasad adalah bentuk protes terhadap ketentuan Allah—sebuah penyakit hati yang sangat berbahaya.
3. Bahaya Membandingkan Diri Menurut Para Ulama
a. Menghilangkan syukur Imam Al-Ghazali berkata bahwa hati yang sibuk melihat kelebihan orang lain akan sulit bersyukur. Padahal syukur adalah pintu ketenangan.
b. Menurunkan rasa percaya diri Ketika standar hidup diukur dari pencapaian orang lain, seseorang akan merasa kecil meski memiliki banyak kelebihan.
c. Menumbuhkan prasangka buruk kepada Allah Ibn Qayyim menjelaskan bahwa hasad merupakan bentuk suuzan terhadap pembagian rezeki Allah. Ini dapat melemahkan iman secara perlahan.
4. Cara Mengobati Hati yang Suka Membandingkan
1. Lihatlah orang yang berada di bawah kita
Rasulullah ? bersabda:
“Lihatlah kepada orang yang berada di bawah kalian…” (HR. Muslim)
Ini menjaga hati dari rasa tidak puas dan menumbuhkan syukur.
2. Latih qana’ah
Qana’ah adalah kemampuan merasa cukup dengan pemberian Allah. Nabi ? bersabda:
“Beruntunglah orang yang diberi rezeki cukup dan hatinya dijadikan qana’ah.” (HR. Muslim)
3. Hitung nikmat Allah satu per satu
Menghitung nikmat membuat hati sadar bahwa hidup kita tidak semiskin yang kita kira.
4. Doakan orang yang kita iri
Imam Al-Ghazali mengajarkan: “Doakanlah orang yang engkau iri. Itu akan mematikan akar hasad.”
5. Pahami bahwa setiap orang punya ujiannya sendiri
Apa yang tampak indah pada diri seseorang sering kali menyembunyikan ujian berat yang tidak terlihat.
6. Ubah iri menjadi motivasi positif (ghibthah)
Rasulullah ? membolehkan rasa kagum yang mendorong kita melakukan kebaikan—bukan menginginkan nikmat orang lain hilang darinya.
Kesimpulan
Membandingkan diri dengan orang lain adalah hal yang wajar, tetapi membiarkannya tumbuh tanpa batas dapat merusak ketenangan hati dan melemahkan iman. Islam mengajarkan keseimbangan: melihat nikmat Allah, merawat syukur, menumbuhkan qana’ah, serta mengubah iri menjadi dorongan untuk berbuat kebaikan. Dengan memahami bahwa setiap orang memiliki porsi rezeki dan ujian masing-masing, hati akan lebih mudah menerima takdir, lebih tenang, dan lebih dekat kepada Allah.
ARTIKEL21/11/2025 | Yessi Ade Lia Putri
Main Game Sampai Lupa Waktu? Begini Pandangan Islam yang Jarang Dibahas
Di era digital, game telah menjadi salah satu hiburan paling populer di berbagai kalangan. Banyak yang bermain untuk melepas stres, menghabiskan waktu luang, bahkan menjadikannya profesi. Namun, tidak sedikit pula yang terjebak bermain game hingga lupa waktu—lupa makan, lupa belajar, lupa tanggung jawab, bahkan lupa shalat. Lalu, bagaimana sebenarnya Islam memandang kebiasaan ini?
1. Hukum Bermain Game: Mubah, Tapi Bisa Berubah
Pada dasarnya, para ulama sepakat bahwa hiburan, termasuk game, adalah mubah (diperbolehkan) selama tidak mengandung unsur yang dilarang. Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menyatakan bahwa jiwa manusia butuh hiburan agar tidak lelah dan jenuh. Bahkan Nabi Muhammad SAW pun pernah berlomba lari dengan Aisyah dan bercanda dengan para sahabat.
Namun, hukum mubah bisa berubah menjadi makruh atau haram jika:
melalaikan ibadah wajib, terutama shalat,
mengandung unsur maksiat seperti aurat, kekerasan ekstrem, atau perjudian (gacha),
menumbuhkan akhlak buruk seperti marah, sombong, dan toxic,
menimbulkan kecanduan hingga merusak kehidupan.
Kaidah fikih menyebutkan: “Al-mubah yataghayyaru bil-mujib” — yang mubah bisa berubah hukumnya karena sebab tertentu.
2. Ketika Game Membuat Lalai Shalat
Inilah batas yang paling sering dilanggar. Allah berfirman:
“Celakalah orang-orang yang shalat, yaitu mereka yang lalai dari shalatnya.” (QS. Al-Ma’un: 4–5)
Imam Al-Qurthubi menjelaskan bahwa “lalai” berarti sibuk hingga sengaja melewati waktu shalat. Banyak gamer berkata, “Satu match lagi…”, “Rank masih satu bintang lagi…”, “Bentar lagi menang…” hingga adzan berlalu begitu saja. Padahal Nabi SAW bersabda:
“Amalan yang paling dicintai Allah adalah shalat pada waktunya.” (HR. Bukhari & Muslim)
Jika game membuat seseorang meninggalkan kewajiban, hukumnya langsung menjadi haram.
3. Waktu adalah Amanah — dan Game Sering Mencurinya
Surat Al-‘Asr adalah peringatan tegas bahwa manusia berada dalam kerugian jika menyia-nyiakan waktu. Ibnul Qayyim berkata:
“Menyia-nyiakan waktu lebih berbahaya daripada kematian.”
Ketika game menghabiskan 3–6 jam sehari tanpa kendali, sebenarnya seseorang sedang menyerahkan sebagian hidupnya kepada sesuatu yang tidak memberi manfaat jangka panjang. Islam menolak pemborosan waktu (idha‘atul waqt).
4. Kecanduan Game: Perbudakan Era Modern
Ketika seseorang tidak bisa berhenti bermain, marah jika diganggu, atau gelisah jika tidak memegang gadget, itu tanda kecanduan. Allah berfirman:
“Apakah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya?” (QS. Al-Furqan: 43)
Ulama kontemporer, termasuk Syaikh Shalih Al-Munajjid, menyebut kecanduan game sebagai bentuk mengikuti hawa nafsu yang membahayakan diri.
5. Islam Tidak Melarang Game — Asal Seimbang
Prinsip syariat sangat jelas: “La dharar wa la dhir?r” (Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain.)
Game tetap boleh selama:
tidak melalaikan shalat,
tidak mengganggu kesehatan dan tanggung jawab,
tidak mengandung unsur haram,
tidak menimbulkan kecanduan.
Ibnul Qayyim menggambarkan hiburan seperti garam: perlu, tapi secukupnya.
Kesimpulan
Bermain game adalah hiburan yang dibolehkan dalam Islam, selama tidak membuat kita lalai dari ibadah dan tanggung jawab. Namun ketika game membuat seseorang meninggalkan shalat, membuang waktu berlebihan, atau terjerumus ke dalam unsur haram, maka game itu berubah menjadi sesuatu yang harus dijauhi. Islam mengajarkan keseimbangan: hiburan boleh, tetapi jangan sampai mengambil alih hidup dan menghilangkan keberkahan waktu. Semoga kita mampu mengendalikan diri, memanfaatkan waktu dengan bijak, dan menjaga prioritas sesuai tuntunan agama.
ARTIKEL20/11/2025 | Yessi Ade Lia Putri
Waspada Normalisasi Pergaulan Bebas: Tantangan Terbesar Remaja Muslim di Era Media Sosial
Normalisasi pergaulan bebas semakin marak di media sosial dan menjadi tantangan besar bagi remaja Muslim. Media sosial kini bukan hanya tempat berbagi aktivitas, tetapi ruang yang secara halus membentuk gaya hidup, cara berpikir, serta standar moral. Perilaku yang dulu dianggap tabu kini terlihat wajar, modern, bahkan keren di mata sebagian remaja. Inilah yang menjadi kekhawatiran besar bagi generasi Muslim yang sedang tumbuh di era digital.
Pergaulan Bebas dalam Pandangan Islam
Islam sangat menekankan pentingnya menjaga kehormatan (iffah) dan rasa malu (haya’). Allah SWT berfirman:
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’: 32)
Ayat ini tidak hanya melarang zina, tetapi juga segala aktivitas yang mendekati dan mengantarkan kepadanya. Pacaran bebas, chatting mesra, berduaan, sentuhan fisik, hingga mengonsumsi konten vulgar adalah langkah awal menuju perbuatan yang lebih besar.
Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang perempuan kecuali syaitan menjadi yang ketiganya.” (HR. Tirmidzi)
Hari ini, khalwat tak lagi harus bertemu langsung. “Khalwat digital” melalui DM, video call, dan konten sensual telah menjadi pintu godaan baru.
Normalisasi Pergaulan Bebas di Media Sosial
Media sosial sangat berpengaruh dalam membentuk persepsi remaja. Banyak konten kreator menampilkan hubungan tanpa batas antara laki-laki dan perempuan sebagai hal yang romantis, lucu, atau bahkan wajib untuk “diwajaran”. Dampaknya:
Pacaran dianggap kebutuhan emosional.
Remaja yang menjaga diri justru dianggap tidak gaul.
Konten vulgar dianggap hiburan biasa.
Standar moral perlahan menurun tanpa disadari.
Inilah bahaya dari normalisasi: ia merusak dari dalam tanpa terasa.
Pandangan Ulama tentang Bahaya Pergaulan Bebas
Para ulama sejak dahulu telah memperingatkan bahaya pergaulan bebas:
Imam Al-Ghazali menyebut pandangan bebas sebagai “panah beracun dari syaitan”.
Ibnu Qayyim Al-Jawziyyah menegaskan bahwa maksiat besar selalu dimulai dari langkah kecil yang diremehkan.
Imam Nawawi menyatakan khalwat dan sentuhan tanpa mahram adalah pintu dosa yang harus dijauhi.
Mereka sepakat: menjaga batas pergaulan adalah bentuk ketaatan yang melindungi diri dan kehormatan seorang Muslim.
Tantangan Remaja Muslim di Era Digital
Hari ini remaja Muslim menghadapi tantangan besar, seperti:
Tekanan sosial untuk menjadi seperti yang dilihat di media sosial.
Konten normalisasi yang terus muncul di timeline.
Kurangnya literasi agama, sehingga batasan syariat dianggap ketinggalan zaman.
Lingkungan pertemanan yang sering mendorong hal-hal negatif.
Solusi untuk Menjaga Diri
Islam memberikan jalan keluar yang jelas, di antaranya:
Memperkuat hubungan dengan Allah, melalui salat, zikir, dan membaca Al-Qur’an.
Menjaga pandangan, menghindari konten yang merusak hati.
Memilih pergaulan yang baik, karena teman sangat memengaruhi karakter.
Bijak dalam menggunakan media sosial, memfilter konten dan akun yang diikuti.
Sibuk dengan kegiatan positif, seperti olahraga, belajar, dan aktivitas masjid.
Kesimpulan
Normalisasi pergaulan bebas adalah ancaman besar bagi akhlak remaja Muslim. Ketika sesuatu yang dilarang syariat dianggap wajar, batas halal dan haram menjadi kabur. Karena itu, remaja perlu memperkuat iman, memfilter media sosial, menjaga pergaulan, dan membangun lingkungan yang mendukung nilai Islam. Syariat bukan untuk membatasi, tetapi untuk melindungi kehormatan dan masa depan generasi.
ARTIKEL20/11/2025 | indri irmayanti
Fitnah Online: Kok Bisa Semudah Itu Menyakiti Orang?
Di era digital, fitnah tidak lagi membutuhkan keberanian atau risiko besar. Cukup dengan beberapa klik, seseorang bisa menyebarkan tuduhan palsu, memotong video, atau membuat narasi bohong yang menghancurkan nama baik orang lain. Jari-jemari kini bisa lebih tajam dari pedang, dan media sosial menjadi ladang subur bagi kezaliman modern—fitnah online.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: mengapa menyakiti orang melalui dunia maya bisa semudah itu? Dan bagaimana Islam memandang tindakan yang terlihat sepele namun dampaknya begitu besar ini?
1. Mengapa Fitnah Online Begitu Mudah Terjadi?
a. Tidak melihat dampak langsung Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa sebagian manusia mudah terjerumus dalam dosa ketika mereka “merasa tidak terlihat” dan tidak menyaksikan langsung dampaknya. Dunia digital memberikan ilusi anonim dan jarak, sehingga orang merasa bebas menghakimi, menuduh, dan menyebarkan kabar tanpa berpikir panjang.
b. Emosi mengalahkan akal Seringkali orang mengetik dulu, berpikir kemudian. Padahal Allah berfirman:
“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.” (QS. Al-Isra’ 17:36)
Namun ayat ini sering terlupakan saat emosi memuncak di kolom komentar.
c. Lingkungan digital yang toxic Algoritma menyukai drama dan sensasi. Akibatnya, konten fitnah lebih cepat viral daripada kebenaran. Banyak orang akhirnya ikut menyebarkan tanpa tabayyun.
2. Dalil Islam: Fitnah adalah Dosa Besar
Islam mengharamkan fitnah dan tuduhan palsu karena kerusakan yang ditimbulkannya sangat besar.
Allah mengingatkan:
“Fitnah itu lebih besar (kejahatannya) daripada pembunuhan.” (QS. Al-Baqarah 2:191)
Ayat ini menunjukkan betapa seriusnya merusak kehormatan seseorang.
Allah juga berfirman:
“Jika datang kepadamu orang fasik membawa berita, maka periksalah kebenarannya…” (QS. Al-Hujurat 49:6)
Rasulullah ? bersabda:
“Cukuplah seseorang dikatakan berdusta ketika ia menceritakan segala yang ia dengar.” (HR. Muslim)
Jika menyebarkan apa yang didengar saja sudah dianggap dusta, apalagi membuat fitnah digital yang sengaja disebar?
3. Dampak Fitnah Online Menurut Islam
Fitnah online bukan sekadar komentar di layar; ia bisa:
menghancurkan nama baik seseorang,
merusak mental dan psikologis korban,
menyebabkan stres, depresi, hingga tindakan ekstrem,
menimbulkan dosa berantai karena terus tersebar.
Ulama menjelaskan bahwa dosa yang dampaknya luas di masyarakat lebih berat daripada dosa pribadi.
4. Tanggung Jawab Muslim di Era Digital
Rasulullah ? bersabda:
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Artinya dalam konteks media sosial: Positifkan postinganmu atau jangan posting sama sekali.
Kita juga diwajibkan:
tabayyun sebelum share,
tidak ikut menyebarkan fitnah,
membela korban kezaliman,
meluruskan informasi jika tahu itu salah.
Kesimpulan
Fitnah online adalah bentuk kezaliman yang sangat berbahaya di era digital. Kata-kata yang tampak sepele di layar bisa berubah menjadi luka mendalam bagi seseorang. Islam telah memberikan peringatan keras melalui ayat Al-Qur’an, hadis, dan nasihat para ulama tentang bahaya menyebarkan kabar tanpa tabayyun dan merusak kehormatan orang lain.
Sebagai muslim, kita harus menjaga lisan dan jempol, berhati-hati sebelum menulis atau membagikan sesuatu, serta berkomitmen menciptakan lingkungan digital yang lebih aman dan penuh kebaikan. Dan sebagai bentuk pembersihan hati dari kebiasaan menyebarkan keburukan, kita dianjurkan memperbanyak amal saleh—terutama sedekah—agar Allah membersihkan jiwa kita dari sifat buruk dan menggantinya dengan keberkahan.
Semoga dengan menjauhi fitnah dan memperbanyak amal kebaikan, Allah memberikan ketenangan, keberkahan hidup, serta pahala yang terus mengalir hingga akhirat. Aamiin.
ARTIKEL20/11/2025 | Yessi Ade Lia Putri
Asyik Scroll, Tapi Hati Perlahan Mati?
Media sosial kini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Tanpa disadari, kebiasaan scroll berjam-jam bisa melemahkan konsentrasi, menguras waktu, mengganggu ibadah, dan bahkan mengeraskan hati. Banyak ulama menekankan bahwa penyakit hati sering muncul dari kebiasaan sepele yang dilakukan terus-menerus, salah satunya adalah terlalu tenggelam dalam konten digital. Tantangan terbesar di era ini bukan lagi kurangnya informasi, tetapi berlebihnya informasi, yang membuat seseorang lalai dari zikir dan perlahan menjauh dari Allah.
1. Terlalu Banyak Hal yang Melalaikan dari Zikir Allah berfirman: “Janganlah harta dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah” (QS. Al-Munafiqun: 9). Dalam konteks modern, hp dan media sosial bisa menjadi pengalih perhatian yang membuat kita lupa akhirat. Imam Al-Ghazali menyebut hati bisa mati saat seseorang terlalu tenggelam pada hal yang melalaikan.
2. Hati Menjadi Keras Karena Terpapar Kemaksiatan Konten negatif seperti aurat, gosip, atau candaan tidak pantas membuat hati gelap. Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya hati bisa berkarat sebagaimana besi berkarat” dan dzikir serta istighfar adalah penghapusnya. Paparan terus-menerus terhadap hal buruk berisiko mengeraskan hati.
3. Menghabiskan Waktu untuk Hal Sia-Sia Rasulullah SAW bersabda: “Salah satu tanda bagusnya Islam seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat” (HR. Tirmidzi). Scroll tanpa manfaat berjam-jam termasuk hal yang sia-sia dan akan dipertanyakan di akhirat.
4. Perbandingan Sosial dan Penyakit Hati Scroll media sosial membuat iri, minder, atau merasa hidupnya kurang. Imam Ibn Qayyim menyebut salah satu penyebab hati sakit adalah terlalu terpaku pada dunia dan membandingkan diri dengan orang lain.
5. Konten Negatif Mengubah Pola Pikir Tanpa Disadari Algoritma media sosial cenderung membuat ketagihan, sehingga nilai-nilai Islam bisa tersisih oleh ide liberal atau gaya hidup bebas. Allah mengingatkan: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya” (QS. Al-Isra: 36).
6. Mengurangi Rasa Khusyuk dalam Ibadah Otak yang penuh dengan konten membuat hati sulit hadir dalam shalat atau ibadah lain. Imam Nawawi menegaskan bahwa kekhusyukan memerlukan hati yang bersih dari hal sia-sia.
7. Menjadikan Hp Prioritas Utama, Bukan Allah Ketergantungan digital membuat hp menjadi hal pertama setelah bangun, bukan doa atau Al-Qur’an. Allah memperingatkan: “Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai” (QS. Al-A’raf: 205).
Pro & Kontra Media Sosial dalam Perspektif Islam Media sosial tidak sepenuhnya buruk. Dari sisi pro, ia bisa menjadi sarana dakwah, memperluas ilmu, menjaga silaturahmi, dan mendukung usaha halal. Namun sisi kontra menunjukkan risiko melalaikan ibadah, paparan kemaksiatan, membentuk penyakit hati modern, dan mengganggu khusyuk serta kesehatan mental.
Solusi Islami Agar Hati Tetap Hidup Ulama menyarankan membatasi penggunaan hp, menghapus konten negatif, memperbanyak zikir, menyisihkan waktu untuk Qur’an, dan mengganti hiburan berlebihan dengan kajian yang bermanfaat.
Kesimpulan Scrolling media sosial bukan haram, tetapi bila berlebihan, hati bisa mengeras, iman melemah, dan waktu terbuang sia-sia. Islam mengajarkan keseimbangan: hp lebih banyak dipegang daripada Qur’an atau kesenangan dunia lebih diutamakan daripada peringatan Allah adalah tanda hati yang mulai mati. Dengan memahami 7 peringatan ini dan menerapkan ajaran Qur’an, hadis, dan nasihat ulama, seorang Muslim bisa tetap hidup di era digital tanpa kehilangan cahaya iman.
ARTIKEL20/11/2025 | indri irmayanti
Ngonten Boleh, Tapi Jangan Lupa Batasan Syariat
Menjadi konten kreator adalah aktivitas yang semakin lazim di era digital. Banyak yang menjadikannya sarana dakwah, edukasi, hiburan, bahkan mata pencaharian. Islam tidak melarang umatnya berkarya dan kreatif. Namun, sebagaimana aktivitas lainnya, ngonten juga memiliki batasan syariat yang harus dijaga agar konten tidak menjadi sumber dosa, tetapi berubah menjadi amal kebaikan.
Berikut panduan ringkas namun padat untuk kreator muslim agar tetap berada dalam koridor Islam.
1. Luruskan Niat Sejak Awal
Segala amal dalam Islam sangat bergantung pada niat. Rasulullah ? bersabda: “Sesungguhnya setiap amal tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Jika niat ngonten adalah berbagi manfaat, memberi edukasi, atau menyebarkan nilai kebaikan, maka konten tersebut bernilai ibadah. Namun jika niatnya untuk pamer, sensasi, atau hal yang dilarang agama, maka nilainya berubah menjadi dosa. Imam Al-Ghazali menekankan bahwa niat yang buruk dapat merusak amal meski tampak baik di mata manusia.
2. Hindari Konten yang Mengandung Maksiat
Islam sangat jelas melarang konten yang membuka peluang kemaksiatan.
a. Menjaga aurat dan tidak memancing syahwat
Allah memerintahkan: “Hendaklah mereka menahan pandangan dan menjaga aurat.” (QS. An-Nur: 30–31)
Maka konten sensual, pakaian ketat, tarian menggoda, atau pose yang memancing syahwat tidak dibenarkan.
b. Tidak membuat konten yang mengajak kepada keburukan
Rasulullah ? bersabda: “Barangsiapa mengajak kepada kesesatan, ia mendapat dosa seperti dosa orang yang mengikutinya.” (HR. Muslim)
Challenge berbahaya, prank toxic, kekerasan, hingga normalisasi maksiat termasuk dalam larangan ini.
3. Jauhi Fitnah, Ghibah, dan Merendahkan Orang
Konten yang mengolok-olok orang lain, mengumbar aib, atau memprovokasi adalah perbuatan tercela.
Allah berfirman: “Janganlah sebagian kalian menggunjing sebagian lainnya.” (QS. Al-Hujurat: 12)
Imam An-Nawawi menegaskan bahwa membuka aib tanpa alasan syar’i adalah haram, bahkan jika dikemas sebagai humor atau hiburan digital.
4. Dilarang Berdusta dalam Konten
Manipulasi realitas, clickbait menipu, testimoni palsu, atau prank bohong termasuk dusta. Rasulullah ? bersabda: “Celaka bagi orang yang berdusta agar manusia tertawa.” (HR. Abu Dawud)
Setiap bentuk penipuan digital—termasuk “fake life”—termasuk perbuatan yang dilarang.
5. Jaga Adab dan Bahasa
Allah berfirman: “Berkatalah dengan perkataan yang baik.” (QS. Al-Baqarah: 83)
Kreator muslim harus menghindari:
kata kasar,
hinaan kelompok tertentu,
konten marah-marah,
provokasi.
Ibnu Qayyim menyebut akhlak mulia sebagai tanda kekuatan iman.
6. Interaksi Laki-Laki dan Perempuan Harus Terjaga
Allah berfirman: “Janganlah kalian mendekati zina.” (QS. Al-Isra: 32)
Karena itu, konten harus menghindari sentuhan fisik dengan lawan jenis, flirting, atau konten romantis dengan bukan pasangan sah. Ibn Katsir menjelaskan pentingnya sadd adz-dzari’ah—menutup pintu menuju zina—termasuk dalam pembuatan konten.
7. Jaga Privasi dan Jangan Berlebihan Membuka Kehidupan Pribadi
Rasulullah ? bersabda: “Siapa menutupi aib seorang Muslim, Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat.” (HR. Muslim)
Hindari membuka detail rumah, anak secara berlebihan, konflik keluarga, atau pamer harta.
8. Ngonten Jangan Sampai Melalaikan Kewajiban
Allah bersumpah: “Demi masa, manusia dalam kerugian.” (QS. Al-‘Asr: 1–2)
Kejar konten tidak boleh membuat seseorang meninggalkan shalat, mengabaikan keluarga, atau melupakan amanah lainnya.
Kesimpulan
Ngonten adalah aktivitas yang mubah bahkan bisa bernilai ibadah jika dilakukan dengan niat yang benar, cara yang halal, interaksi yang terjaga, konten yang bermartabat, serta tidak melanggar batasan syariat. Islam tidak melarang kreativitas—justru meluruskan agar setiap karya membawa manfaat, menjadi inspirasi, dan dapat menjadi amal jariyah yang pahalanya terus mengalir meski pembuatnya telah tiada.
ARTIKEL20/11/2025 | Yessi Ade Lia Putri

Info Rekening Zakat
Mari tunaikan zakat Anda dengan mentransfer ke rekening zakat.
BAZNAS
Info Rekening Zakat
