Artikel Terbaru
STOP Terjebak di Zona Nyaman: 5 Alasan Hidupmu Terasa Stagnan
Zona nyaman adalah keadaan saat hidup terasa aman, stabil, tanpa ancaman atau tekanan. Tidak ada tantangan berarti, tidak ada target baru, tidak ada risiko yang harus diambil. Kita merasa cukup, sehingga berhenti bergerak. Masalahnya, zona nyaman membuat kita lupa bahwa manusia diciptakan untuk berusaha dan berkembang, bukan duduk diam menikmati keadaan yang sudah “lumayan”.
Allah berfirman: “Dan bahwa manusia tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. An-Najm: 39)
Ayat ini menegaskan bahwa perkembangan datang setelah usaha. Ketika seseorang berhenti berusaha, hidupnya akan stagnan.
Stagnan berarti berhenti berkembang. Secara emosional, stagnasi ditandai kelelahan batin, rasa bosan, tidak punya arah, hingga muncul pertanyaan: “Kenapa hidupku begini-begini saja?”
Islam tidak mengajarkan kita berhenti di satu titik. Waktu, usia, dan kemampuan adalah amanah. Nabi ? bersabda: “Dua nikmat yang banyak manusia tertipu: kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari)
Orang yang merasa stagnan biasanya tidak memanfaatkan waktu luang, atau merasa aman dengan keadaan saat ini.
1. Terjebak rutinitas tanpa tujuan
Rutinitas yang tidak diiringi visi menjadikan hidup seperti ulang-ulang. Banyak yang bekerja sekadar menunggu gaji, bukan mengejar cita-cita. Imam Al-Ghazali mengatakan waktu adalah bagian dari hidup—ketika seseorang menyia-nyiakannya, ia menyia-nyiakan hidupnya sendiri. Zona nyaman membuat kita merasa aman, namun diam-diam mencuri masa depan.
2. Takut gagal atau kehilangan
Ketakutan adalah penjara terbesar. Orang takut mencoba karena takut gagal, diremehkan, atau kehilangan stabilitas. Padahal Islam mendorong kekuatan mental. Rasulullah ? bersabda: “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah.” (HR. Muslim) Kekuatan bukan hanya fisik, tetapi keberanian menghadapi tantangan.
3. Membandingkan diri tanpa bertindak
Saat melihat orang lain maju—teman menikah, sahabat naik jabatan—kita iri, tapi tidak bergerak. Ini stagnan paling berbahaya. Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11) Perubahan tidak datang dari keluhan, tetapi dari tindakan.
4. Stagnasi spiritual
Zona nyaman tidak hanya soal dunia. Banyak orang merasa, “Aku sudah shalat, sudah cukup.” Padahal iman selalu butuh ditumbuhkan. Allah berfirman: “Dan orang-orang yang berjuang di jalan Kami, pasti Kami tunjukkan jalan-jalan Kami.” (QS. Al-Ankabut: 69) Perjuangan mendatangkan bimbingan. Bukan pasrah tanpa usaha.
5. Menganggap tantangan sebagai musibah
Sebagian melihat masalah sebagai hukuman, bukan peluang berkembang. Nabi ? bersabda: “Sesungguhnya besarnya ganjaran sejalan dengan besarnya ujian.” (HR. Tirmidzi) Kesulitan mengajarkan disiplin, kesabaran, dan ketahanan mental.
Contoh nyata
Andi bekerja nyaman di toko elektronik. Gaji cukup, tugas ringan. Namun 7 tahun berlalu, posisinya tetap sama. Ketika toko tutup, ia terpaksa belajar servis handphone untuk bertahan. Ia gagal beberapa kali, tapi terus memperbaiki diri. Kini ia membuka tempat reparasi sendiri. Jika ia tidak terlempar dari zona nyaman, hidupnya akan berhenti.
Cara konkret
Target kecil tapi konsisten: belajar 15 menit per hari lebih baik daripada 0.
Ambil risiko terukur: mulai bisnis kecil, ikut kursus, belajar skill.
Bangun lingkungan: berteman dengan orang yang mau berkembang.
Tingkatkan ibadah: hati yang kuat berani bergerak karena percaya rezeki dari Allah.
Hidup tidak diciptakan untuk berhenti. Zona nyaman selamat sesaat, tapi mematikan pelan-pelan. Keluar perlahan, dan mulailah bergerak.
ARTIKEL03/12/2025 | indri irmayanti
STOP Jadi Penonton: 7 Aksi Nyata yang Bisa Mengubah Hidupmu
Banyak orang menjalani hidup seperti sedang menonton film—melihat keberhasilan orang lain tanpa pernah benar-benar berperan dalam hidupnya sendiri. Padahal Allah sudah memberikan potensi, akal, dan kesempatan kepada setiap manusia untuk bergerak dan memperbaiki dirinya. Islam tidak menginginkan umatnya pasif, melainkan menjadi pribadi yang aktif, bermanfaat, dan terus bertumbuh.
Allah menegaskan dalam Al-Qur’an: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11) Ayat ini adalah alarm bagi siapa saja yang merasa hidupnya stagnan: perubahan tidak terjadi dengan menunggu, tapi dengan bertindak.
1. Berhenti Menonton — Mulai Bergerak
Jangan hanya mengamati hidup orang lain. Langkah kecil—seperti belajar skill baru, memperbaiki ibadah, atau mengambil peluang sederhana—jauh lebih baik daripada seribu rencana tanpa aksi.
2. Tetapkan Tujuan Nyata
Rasulullah ? mengingatkan bahwa waktu dan kesehatan adalah dua nikmat yang sering disia-siakan manusia (HR. Bukhari). Buat tujuan yang jelas dan terukur: hafal ayat baru, olahraga, atau belajar skill digital.
3. Ubah Konsumsi Menjadi Produksi
Allah berfirman: “Dan bahwa manusia tidak memperoleh selain apa yang telah dia usahakan.” (QS. An-Najm: 39) Kurangi hanya menjadi penonton di media sosial. Mulailah membuat karya—tulisan, konten dakwah, bisnis kecil, atau layanan yang bermanfaat.
4. Bangun Kebiasaan Ibadah yang Konsisten
Ibadah adalah bahan bakar spiritual. Shalat tepat waktu, dzikir sebelum tidur, dan membaca Al-Qur’an beberapa ayat setiap hari akan menumbuhkan kekuatan hati dan kejernihan pikiran.
5. Berani Mengambil Risiko Terukur
Takut gagal sering menjadi penghambat terbesar. Rasulullah ? bersabda: “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah.” (HR. Muslim) Ambillah peluang kecil. Tidak harus sempurna, yang penting mulai.
6. Kurangi Membandingkan Diri
Media sosial hanya menampilkan hasil akhir, bukan prosesnya. Fokuslah pada perkembangan diri sendiri. Ukur progresmu dengan dirimu kemarin, bukan dengan pencapaian orang lain.
7. Lakukan Aksi Kecil yang Konsisten
Satu langkah kecil yang dilakukan setiap hari akan membawa perubahan besar. Seperti kisah Dani yang mempelajari desain grafis selama 20 menit setiap hari hingga bisa membuka jasa sendiri—semua berawal dari aksi kecil yang tidak berhenti.
Kesimpulan
Perubahan hidup tidak datang dari menonton, tetapi dari keberanian untuk bergerak. Islam mengingatkan bahwa perubahan dimulai dari diri sendiri (QS. Ar-Ra’d: 11), waktu adalah amanah yang tidak boleh disia-siakan, dan setiap manusia hanya memperoleh apa yang ia usahakan.
Tujuh langkah nyata—mulai bergerak, memiliki tujuan jelas, menghasilkan karya, memperkuat ibadah, berani mengambil risiko, berhenti membandingkan diri, serta melakukan aksi kecil secara konsisten—adalah fondasi agar hidup tidak stagnan. Dengan menerapkannya, seseorang beralih dari penonton menjadi pelaku yang membentuk jalan hidupnya sendiri, sekaligus menumbuhkan makna dan keberkahan dalam setiap proses yang dijalani.
ARTIKEL03/12/2025 | Yessi Ade Lia Putri
Qiyamullail: Sumber Kekuatan yang Tidak Terlihat, Tapi Paling Dahsyat
Qiyamullail adalah ibadah malam yang menghidupkan hati. Ia bukan sekadar bangun dari tidur, tetapi momen seorang hamba menundukkan diri di hadapan Rabb-nya. Dalam keheningan malam ketika dunia terlelap, seorang mukmin berdoa, bersujud, dan berbicara kepada Allah dengan jujur—tanpa topeng, tanpa penilaian manusia. Inilah sumber kekuatan yang tidak tampak, tetapi dampaknya nyata dalam kehidupan.
Allah Swt berfirman dalam QS. Al-Isra’ [17]: 79: “Dan pada sebagian malam lakukanlah shalat tahajud sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji.” Ayat ini menegaskan bahwa tahajud adalah amalan ekstra yang dapat mengangkat martabat seorang hamba. Pada waktu sahar (menjelang Subuh), doa lebih mudah dikabulkan. Rasulullah ? bersabda: “Rabb kita turun ke langit dunia setiap malam pada sepertiga malam terakhir dan berfirman: Siapa berdoa kepada-Ku, Aku kabulkan.” (HR. Bukhari & Muslim)
Amalan yang Dilakukan saat Qiyamullail
Qiyamullail mencakup beberapa ibadah:
Shalat Tahajud Dilakukan setelah tidur, minimal dua rakaat. Nabi ? mengajarkan pentingnya konsistensi, bukan banyaknya rakaat. Shalat malam bisa dikerjakan 2, 4, 6, 8 hingga 11 rakaat.
Shalat Witir Penutup shalat malam. Minimal 1 rakaat, maksimal 11 rakaat. Rasulullah ? bersabda: “Jadikanlah witir sebagai penutup shalat malam kalian.” (HR. Bukhari & Muslim)
Tilawah Al-Qur’an Membaca Al-Qur’an dalam shalat atau setelahnya. Pada masa Nabi, sahabat berdiri lama membaca ayat demi ayat sebagai bentuk tadabbur.
Dzikir dan doa Doa malam sangat mustajab. Anda dapat berdoa untuk rezeki, kesehatan, ketenangan, jodoh, atau apa pun yang Anda perlukan.
Pandangan Ulama tentang Kekuatan Qiyamullail
Imam Al-Ghazali menyebut qiyamullail sebagai pembersih hati dari karat dunia. Sementara Ibn Qayyim Al-Jauziyyah menegaskan, “Shalat malam adalah makanan ruh. Jika ditinggalkan, ruh melemah sebagaimana tubuh yang tidak diberi makan.” Ulama menekankan bahwa qiyam bukan hanya ibadah individu, tetapi bekal spiritual untuk menghadapi ujian kehidupan.
Motivasi dalam Kehidupan Masa Kini
Di era modern, banyak orang kehabisan tenaga mental. Target pekerjaan, tekanan sosial media, persaingan ekonomi, membuat manusia merasa lelah bahkan sebelum berjuang. Qiyamullail hadir sebagai ruang penyembuhan. Saat bangun malam, seseorang menenangkan pikiran, melepaskan kecemasan, dan mengikat diri dengan harapan kepada Allah. Hati menjadi stabil, pikiran jernih, dan langkah hidup lebih tenang.
Cara memulai tidak harus sulit. Tidur lebih awal, pasang alarm 20–30 menit sebelum Subuh, lalu shalat 2 rakaat dan witir 1 rakaat. Bila masih berat, cukup duduk berdzikir atau membaca beberapa ayat Al-Qur’an. Allah tidak melihat berapa lama kita berdiri, tetapi seberapa tulus hati kita.
Kisah Nyata
Seorang pekerja pabrik di Jawa Barat pernah kehilangan pekerjaannya karena pemutusan kontrak. Ia hidup bersama istri dan dua anak. Tekanan hidup membuatnya hampir menyerah. Seorang ustaz menyarankannya untuk bangun malam, walau hanya dua rakaat. Ia memulai dengan berat, mengantuk, bahkan sering bolong. Namun ia terus mencoba. Di bulan keempat, ia mendapat tawaran kerja dari rekan lama dan memulai usaha kecil di sampingnya. Ketika ditanya rahasianya, ia menjawab singkat: “Saya bangun malam, dan Allah menguatkan saya.”
Qiyamullail tidak selalu memberi hasil cepat, tetapi ia memberi sesuatu yang lebih berharga: keteguhan hati. Dalam dunia yang ramai dan penuh kelelahan, qiyamullail adalah ruang sunyi yang menyembuhkan, menguatkan, dan membawa seseorang lebih dekat kepada Tuhannya.
ARTIKEL03/12/2025 | indri irmayanti
Dalam Setiap Sujudmu, Ada Jawaban yang Diam-Diam Allah Titipkan
Dalam hidup, setiap manusia memikul beban, pertanyaan, dan kegelisahan yang kadang sulit ia bagi kepada siapa pun. Ada luka yang tidak mudah sembuh, ada doa yang terasa lama sekali terjawab, dan ada rencana yang tak kunjung menemukan jalannya. Namun Islam mengajarkan cara paling lembut untuk menenangkan hati: sujud.
Sujud bukan sekadar gerakan fisik dalam shalat. Ia adalah puncak ketundukan seorang hamba, titik terendah tubuh namun titik tertinggi kedekatan dengan Allah. Menurut para ulama, di dalam sujud inilah Allah sering menitipkan jawaban—pelan, diam-diam, tetapi selalu tepat.
I. Sujud: Momen Kedekatan Terbesar dengan Allah
Keistimewaan sujud dijelaskan langsung oleh Rasulullah ?:
“Keadaan paling dekat seorang hamba dengan Rabb-nya adalah ketika ia sedang sujud. Maka perbanyaklah doa saat itu.” (HR. Muslim)
Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa kedekatan ini adalah kedekatan maknawi, yaitu dekat pada rahmat-Nya dan pada kesempatan pengabulan doa. Sujud adalah puncak kehinaan diri di hadapan Allah, dan ketika hati telah luruh, doa menjadi lebih tulus.
Ibnul Qayyim menegaskan bahwa tidak ada kondisi yang lebih mulia bagi hamba selain sujud, karena pada saat itulah hati benar-benar tunduk dan pasrah.
II. Sujud Menghapus Resah dan Menguatkan Jiwa
Allah berfirman:
“Ingatlah, dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.” (QS. Ar-Ra’d: 28)
Sujud adalah bentuk zikir paling kuat. Tasbih Subhaana Rabbiyal A’laa yang diucapkan dalam sujud adalah bentuk pujian yang menghadirkan ketenangan. Imam Al-Ghazali menyebutkan bahwa seseorang meninggalkan dunia ketika ia sujud dengan hati yang hadir. Di titik itu, ketenangan diturunkan Allah ke dalam dada.
Banyak orang bangkit dari sujud dengan hati yang berbeda—lebih kuat, lebih jernih, dan lebih siap menghadapi kenyataan. Bukan karena masalahnya hilang, tetapi karena Allah menitipkan kekuatan untuk menjalaninya.
III. Jawaban yang Allah Titipkan Tidak Selalu Berupa Keajaiban Besar
Ibn Atha’illah dalam Al-Hikam mengatakan:
“Jika Allah menunda jawabanmu, bukan berarti Dia mengabaikanmu. Dia hanya ingin menjawab pada waktu yang terbaik.”
Jawaban dari sujud sering hadir dalam bentuk:
hati yang tiba-tiba lebih lapang,
pikiran yang lebih jernih,
kemauan untuk bergerak (taufiq),
kemampuan untuk mengikhlaskan.
Allah memerintahkan:
“Mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat.” (QS. Al-Baqarah: 45)
Imam Syafi'i dikenal sering kembali kepada shalat dan sujud saat menghadapi persoalan. Beliau mengatakan bahwa Allah selalu membukakan jalan setelah ia bersujud.
IV. Sujud Malam: Waktu Mustajab untuk Memohon
Qiyamullail adalah waktu ketika doa lebih mudah naik, dan pertolongan lebih dekat turun.
Rasulullah ? bersabda bahwa pada sepertiga malam terakhir, Allah memanggil:
“Siapa yang berdoa kepada-Ku, akan Aku kabulkan…” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sujud di waktu malam adalah momen ketika hati paling jujur, paling pasrah, dan paling dekat kepada Allah.
Aksi Nyata yang Bisa Dilakukan
1. Lakukan satu sujud panjang setiap selesai shalat. Sampaikan semua keluh kesahmu dalam diam.
2. Ketika bingung atau sedih, lakukan sujud terlebih dahulu. Jadikan sujud sebagai respon pertama, bukan terakhir.
3. Luangkan minimal satu malam dalam seminggu untuk sujud malam.
4. Gunakan sujud sebagai tempat mengikhlaskan. Ucapkan: “Ya Allah, lapangkanlah dadaku dan pilihkan yang terbaik untukku.”
Kesimpulan
Sujud adalah momen ketika seorang hamba berada pada jarak terdekat dengan Rabb-nya. Di sanalah doa paling layak untuk dikabulkan, dan di sanalah jawaban-jawaban ilahi sering dititipkan—bukan selalu dalam bentuk perubahan keadaan, tetapi dalam bentuk ketenangan hati, kejernihan pikiran, dan kekuatan jiwa.
Sujud mengajarkan bahwa jawaban Allah tidak selalu datang dengan gemuruh, tetapi sering turun dengan lembut ke dalam hati yang pasrah. Dan siapa pun yang membiasakan sujud dengan sungguh-sungguh akan menemukan bahwa Allah tidak pernah jauh—Ia selalu dekat, terutama ketika dahi menyentuh bumi.
ARTIKEL03/12/2025 | Yessi Ade Lia Putri
Ujian Bukan Hukuman, Tapi Cara Allah Menaikkan Derajat
Setiap manusia pernah mengalami ujian. Ada yang diuji dengan kehilangan, kegagalan, penolakan, sakit, atau tekanan hidup. Saat ujian tiba, sebagian orang merasa Allah tidak sayang, bahkan menganggap musibah sebagai hukuman atas kesalahan mereka. Namun dalam perspektif Islam, ujian bukan tanda murka, tetapi justru tanda cinta dan perhatian Allah agar kita tumbuh dan naik derajat.
1. Ujian adalah bagian dari hidup
Dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan:
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikan kabar gembira bagi orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 155)
Ayat ini menunjukkan bahwa ujian adalah sesuatu yang pasti. Ia tidak berfungsi untuk menghancurkan, tetapi untuk melatih kesabaran, menumbuhkan keimanan, dan menguji keteguhan hati. Islam tidak mengenal konsep hidup tanpa masalah. Justru ujian membentuk manusia menjadi lebih matang dan dewasa.
2. Ujian bukan tanda kebencian
Rasulullah ? bersabda:
“Sesungguhnya besarnya balasan tergantung pada besarnya ujian. Dan jika Allah mencintai suatu kaum, Dia menguji mereka.” (HR. Tirmidzi)
Hadis ini memberi perspektif yang menenangkan: semakin besar amanah seseorang, semakin besar ujian yang ia hadapi. Orang beriman bukan diangkat derajatnya karena kenyamanan, tetapi karena ketabahannya menghadapi kesulitan. Allah tidak ingin menghancurkan hamba-Nya, melainkan mendidiknya dengan cara yang tidak selalu kita pahami.
3. Tingkatan ujian dalam Islam
Para ulama menjelaskan bahwa ada beberapa jenis ujian:
a. Ujian untuk membersihkan dosa Ibnu Qayyim rahimahullah menyebut musibah sebagai obat yang membersihkan jiwa dari dosa dan kesombongan. Setiap kesulitan yang diterima dengan sabar menghapus kesalahan masa lalu.
Rasulullah ? bersabda:
“Tidaklah seorang muslim ditimpa kelelahan, penyakit, kesusahan, gangguan… kecuali Allah menghapus sebagian dosa-dosanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
b. Ujian untuk meningkatkan derajat Orang salih bisa jadi diuji bukan karena dosa, tetapi karena Allah ingin mengangkat martabatnya. Seperti Nabi Ayyub as. yang bertahun-tahun sakit, namun tetap sabar dan tawakal. Kesabarannya menjadi teladan sepanjang sejarah.
c. Ujian untuk menguji keimanan Allah ingin melihat apakah seseorang beriman hanya saat nyaman. “Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan mengatakan: ‘Kami beriman,’ sedangkan mereka tidak diuji?” (QS. Al-Ankabut: 2)
4. Cara menghadapi ujian secara konkret
Pertama, perkuat hubungan dengan Allah. Shalat, doa, dzikir, dan membaca Al-Qur’an adalah benteng hati. Ketika ruh tenang, pikiran menjadi jernih.
Kedua, ikhtiar secara realistis. Islam tidak mengajarkan pasrah tanpa usaha. Penyakit perlu diobati, hutang perlu dicari jalan keluar, karier perlu dikejar dengan kerja keras.
Ketiga, batasi perbandingan hidup. Melihat pencapaian orang lain hanya membuat kita lupa mensyukuri nikmat yang ada. Rasulullah ? mengajarkan untuk melihat mereka yang berada di bawah, agar kita tidak meremehkan nikmat Allah.
5. Contoh nyata
Seorang mahasiswa gagal berkali-kali mendapatkan beasiswa. Ia merasa malu dibandingkan teman-teman seangkatan. Namun ia terus mencoba, memperbaiki essay, belajar bahasa, dan memperbaiki nilai. Setelah dua tahun, ia berhasil mendapatkan beasiswa ke luar negeri. Ia berkata, “Andai aku langsung lolos, mungkin aku tidak pernah belajar menulis, tidak pernah disiplin, dan tidak pernah menghargai air mata.”
Kegagalannya bukan hukuman, tetapi proses pembentukan dirinya.
6. Penutup
Ujian bukan hukuman. Ia adalah tanda cinta Allah, jalan mendidik jiwa, membersihkan dosa, dan mengangkat derajat. Allah tidak pernah membiarkan hambanya terluka tanpa hikmah; tidak ada air mata yang sia-sia jika diteteskan dalam doa. Jangan marah saat diuji — di balik badai selalu ada pelangi yang Allah siapkan. Ketika kita berhasil melewatinya, kita menjadi lebih kuat, lebih bijak, dan lebih dekat dengan-Nya.
ARTIKEL03/12/2025 | indri irmayanti
Belajar Bahagia dari Hal-Hal yang Tidak Sempurna
Apa Itu Bahagia?
Banyak orang mengira bahagia hanya datang ketika semua berjalan sempurna: pekerjaan mapan, hubungan harmonis, masa depan jelas, dan tidak ada rintangan. Namun kenyataannya, tidak ada hidup yang bebas dari masalah. Bahagia bukan kondisi tanpa luka, tetapi kemampuan menikmati hidup meski banyak kekurangan.
Bahagia dalam Islam adalah ketenangan hati, rasa syukur, dan penerimaan terhadap takdir Allah. Kebahagiaan bukan berarti mendapatkan semuanya, tetapi mampu menghargai apa yang Allah titipkan saat ini.
Allah berfirman:
“Ingatlah, dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28)
Ayat ini menunjukkan bahwa ketenangan tidak ditentukan oleh dunia, tetapi seberapa dekat kita kepada Allah.
Ketidaksempurnaan adalah Cara Allah Mengajari
Hidup tidak pernah lurus. Ada mimpi yang gagal, rencana yang tertunda, orang yang pergi, dan kesalahan yang kita sesali. Semua itu bagian dari pendidikan Allah.
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu…” (QS. Al-Baqarah: 216)
Kita hanya melihat satu halaman hidup, sedangkan Allah melihat keseluruhan buku. Banyak hal yang terasa pahit ternyata menjadi awal dari sesuatu yang lebih baik.
Contoh nyata: Seseorang gagal masuk universitas favoritnya. Ia kecewa. Tapi di kampus lain, ia justru menemukan lingkungan yang mendukung, teman baru, dan bidang yang lebih sesuai. Ia belajar bahwa kegagalan bukan akhir, melainkan arah baru.
Bahagia Bukan Hidup Tanpa Masalah
Rasulullah ? mengajarkan bahwa setiap keadaan orang beriman adalah baik, bukan karena hidupnya mudah, tetapi karena sikapnya benar.
“…Jika ia senang, ia bersyukur; jika ia susah, ia bersabar; keduanya baik baginya.” (HR. Muslim)
Syukur dan sabar adalah pondasi mental yang membuat manusia tidak mudah runtuh. Orang yang hanya bahagia ketika hidup sempurna akan hancur saat rencana tidak berjalan. Sedangkan orang yang memahami makna sabar mampu tetap tenang bahkan ketika gagal.
Menerima Diri: Ketenangan yang Sederhana
Menerima diri bukan berarti menyerah. Menerima diri adalah kemampuan melihat kekurangan secara realistis, memaksimalkan potensi, dan tidak membandingkan hidup dengan orang lain.
Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa kebahagiaan sejati ada ketika hati kembali kepada Allah. Bukan ketika kita memenuhi standar sosial yang tidak ada habisnya.
Contoh nyata: Ada orang yang ingin menjadi penyanyi, tapi suaranya biasa saja. Setelah mencoba berkali-kali, ia sadar bakatnya bukan di panggung, tetapi di balik layar. Ia bekerja sebagai pelatih vokal. Hidupnya tetap berhubungan dengan musik, namun tanpa memaksakan standar yang menyiksa dirinya.
Belajar dari yang Tidak Sempurna
Ketidaksempurnaan mengajarkan hal-hal penting:
Kesabaran, karena proses butuh waktu
Rendah hati, karena manusia tidak bisa segalanya sendiri
Keberanian, karena gagal bukan alasan berhenti
Kita boleh mengejar mimpi, tapi jangan menunggu hidup sempurna untuk merasa cukup. Bahagia ada di perjalanan, bukan hanya di tujuan.
Penutup
Ketidaksempurnaan bukan musuh. Ia adalah guru. Ia menunjukkan di mana kita harus memperbaiki diri, siapa yang benar-benar peduli, dan bagaimana cara bersyukur atas hal-hal kecil. Bahagia bukan karena hidup tanpa cela, tetapi karena kita mau belajar dan menerima. Dan satu hal yang perlu diingat: kita layak bahagia, meskipun hidup belum seperti yang kita harapkan.
ARTIKEL02/12/2025 | indri irmayanti
Kadang Hidup Terasa Berat, Padahal Ada Nasihat Islam yang Sering Kita Lewatkan
Dalam perjalanan hidup, hampir setiap orang pernah berada pada titik di mana segalanya terasa menindih. Kewajiban yang menumpuk, masalah yang tak kunjung usai, harapan yang meleset dari kenyataan, dan perasaan hati yang sempit tanpa alasan yang jelas. Ketika menghadapi kondisi ini, manusia sering kali mencari pelarian instan—namun Islam, sejatinya, telah memberikan sejumlah nasihat yang sangat sederhana, namun sering kali kita lupakan.
Nasihat-nasihat ini adalah panduan praktis untuk menguatkan hati, mengelola tekanan hidup, dan menemukan ketenangan. Dengan memahaminya kembali, kita akan menyadari bahwa Allah tidak pernah meninggalkan kita sendirian dengan beban yang terasa berat.
1. Janji Awal: Tidak Ada Beban Melebihi Kemampuan
Ketika kita berpikir, "Aku tidak kuat lagi," nasihat pertama dan paling fundamental dalam Islam harus menjadi pengingat utama:
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)
Ayat ini adalah janji pasti dari Sang Pencipta. Ini bukan sekadar kata-kata penghibur, melainkan sebuah penilaian ilahi bahwa setiap ujian yang menimpa telah disesuaikan dengan kapasitas dan potensi kita. Beban itu bukanlah hukuman, melainkan potensi yang mengharuskan kita untuk "naik kelas" dalam iman dan kesabaran, karena Dia Maha Mengetahui batas kekuatan hamba-Nya.
2. Sabar dan Salat: Penolong Utama yang Diremehkan
Banyak yang menganggap sabar itu pasif. Padahal, sabar dalam Islam adalah aktif, yaitu terus berusaha sambil menjaga hati agar tetap teguh. Inilah mengapa Allah mengaitkan sabar dengan sarana komunikasi terdekat dengan-Nya, yaitu salat:
“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 153)
Ketika salat dilakukan sebagai tempat curhat dan penyerahan diri yang terdalam, hidup akan terasa lebih ringan. Masalah mungkin tidak langsung hilang, tetapi hati yang memikulnya menjadi kuat karena disokong oleh kekuatan Allah.
3. Zikir dan Istighfar: Pelipur Lelah dan Pengurai Kecemasan
Pikiran yang penuh kecemasan dan hati yang kalut adalah penyebab utama hidup terasa berat. Kita mencari ketenangan pada hal-hal fana, padahal nasihat Allah sangat jelas:
“…Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28)
Selain itu, istighfar (memohon ampunan) juga menjadi kunci pembuka setiap kesempitan. Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa memperbanyak istighfar... niscaya Allah menjadikan baginya dari setiap kesedihan kelapangan dan dari setiap kesempitan jalan keluar..." (HR. Abu Dawud). Istighfar mengalihkan fokus dari masalah kepada Zat yang Maha Mengatasi masalah, sehingga memunculkan rasa damai.
4. Syukur dan Tawakal: Melepaskan Kendali Takdir
Beban hidup seringkali timbul dari keinginan kita untuk mengendalikan takdir yang mustahil. Syukur dan tawakal adalah kembar yang meringankan beban tersebut.
Syukur adalah memfokuskan diri pada apa yang masih ada, karena Allah berjanji, “...Jika kamu bersyukur, pasti Aku akan menambah (nikmat) kepadamu…” (QS. Ibrahim: 7).
Tawakal adalah sandaran dan kepercayaan hati sepenuhnya kepada Allah dalam segala urusan. Ini adalah kunci untuk melepaskan kecemasan terhadap hasil yang belum datang.
5. Bersama Kesulitan Ada Kemudahan
Puncak dari semua janji Allah untuk hati yang tertekan terdapat dalam surat Al-Insyirah:
“Karena sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah: 5-6).
Para ulama tafsir menjelaskan bahwa satu kesulitan (al-'usr, yang berdefinitif) dijamin akan diapit oleh dua kemudahan (yusran, yang berbentuk umum). Ini adalah jaminan mutlak yang mengajarkan optimisme abadi: tidak mungkin ada kesulitan yang berdiri sendiri tanpa disertai, atau diiringi, kemudahan dari Allah.
Penutup: Kembali kepada Inti Petunjuk
Beban hidup terasa berat karena kita memikulnya dengan hati yang jauh dari petunjuk-Nya. Kunci untuk melapangkan hati sudah jelas, yaitu berpegang teguh pada janji Allah bahwa Dia tidak membebani melebihi kemampuan kita dan kembali kepada penolong utama kita, yaitu sabar dan salat.
Semua nasihat ini menuntut satu hal: aksi nyata. Wujudkan iman bukan hanya sebagai pengakuan lisan, tetapi sebagai praktik dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari menjaga salat dengan khusyuk hingga senantiasa membasahi lisan dengan zikir. Dengan kembali kepada inti petunjuk Ilahi ini, kita akan memperoleh keberkahan, kelapangan rezeki, dan ketenangan hati yang sejati, karena sesungguhnya, Allah selalu bersama orang-orang yang beriman.
ARTIKEL02/12/2025 | Yessi Ade Lia Putri
Hidup Tidak Selalu Mudah, Tapi Selalu Ada Jalan
Pendahuluan
Hidup tidak pernah berjalan mulus. Ada saat ketika kita merasa gagal, tersesat, atau tidak punya arah. Namun Islam mengajarkan bahwa kesulitan bukanlah akhir, tetapi bagian dari proses menuju kemudahan. Manusia diuji bukan untuk dihancurkan, melainkan untuk dikuatkan. Ketika seseorang memahami ini, ia tidak lagi melihat masalah sebagai penutup, tetapi sebagai pintu menuju peluang baru.
Kesulitan dan Kemudahan dalam Al-Qur’an
Allah secara jelas menegaskan:
“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Asy-Syarh: 5–6)
Ayat ini diulang dua kali. Para ulama menafsirkan bahwa satu kesulitan dikelilingi oleh banyak kemudahan. Kita mungkin tidak menyadarinya, karena bentuk kemudahan sering bukan seperti yang kita harapkan. Kadang berupa kecerdikan, pengalaman, atau orang yang datang membantu di saat tepat.
Penting juga firman Allah:
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)
Ayat ini menenangkan hati: jika kita diberikan ujian, berarti kita mampu melewatinya. Bahkan jika terasa berat, ada potensi dalam diri yang Allah tahu, tapi kita belum menyadarinya.
Hadis: Optimisme Bagi Seorang Mukmin
Rasulullah ? bersabda:
“Ketahuilah, kemenangan itu bersama kesabaran, jalan keluar itu bersama kesulitan, dan sesungguhnya setelah kesulitan ada kemudahan.” (HR. Ahmad)
Hadis ini bukan sekadar motivasi, tapi prinsip hidup. Kesabaran bukan pasrah, melainkan tetap berusaha sambil menjaga hati dari putus asa. Orang yang sabar bukan yang tidak pernah jatuh, tetapi yang terus bangkit setiap kali jatuh.
Pandangan Ulama Tentang Ikhtiar
Imam Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa Allah sering menutup satu pintu agar manusia mencari pintu baru yang lebih baik. Tanpa ujian, manusia cenderung sombong atau merasa cukup. Kesulitan menjaga manusia tetap rendah hati dan dekat kepada Allah.
Imam Syafi’i berkata:
“Barang siapa bersabar, ia akan memenangi urusannya.”
Menang tidak selalu berarti kaya atau terkenal. Menang berarti mengalahkan ketakutan, kemalasan, dan keputusasaan. Orang yang mampu berdiri setelah gagal adalah pemenang sejati.
Cara Nyata Menghadapi Hidup di Masa Kini
1. Terima kenyataan, lalu bergerak
Banyak penderitaan berasal dari penolakan terhadap realita. Menerima tidak berarti menyerah, tetapi mengakui keadaan sambil mencari solusi. Ketika kita berhenti mengeluh, fikiran bergerak mencari jalan keluar.
2. Pelajari dari kegagalan
Jika bisnis gagal, jika hubungan kandas, atau rencana tidak berhasil, jangan berhenti. Tanyakan apa yang bisa diperbaiki. Kesalahan adalah guru, bukan hukuman.
3. Perkuat hubungan spiritual
Ada luka yang tidak sembuh oleh logika. Doa, dzikir, dan shalat sunnah memberi ketenangan yang tak bisa diberikan manusia.
“Dan barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya.” (QS. At-Talaq: 2)
4. Pilih lingkungan yang sehat
Hidup berat jika dijalani sendirian. Teman atau komunitas yang mendukung bisa menjadi energi untuk bangkit.
5. Mulai dari langkah kecil
Tidak perlu menunggu momen besar. 1% kemajuan setiap hari jauh lebih kuat dibanding menunggu kesempurnaan.
Kisah Nyata Singkat
Tia, seorang penjahit rumahan, kehilangan seluruh pelanggan saat pandemi. Ia sedih, namun memutuskan untuk mencoba hal baru: membuat masker kain. Ia mempromosikannya secara sederhana lewat media sosial. Dalam beberapa bulan, pesanan justru melonjak. Tia mempekerjakan tetangganya yang menganggur. Kesulitan bukan akhir hidupnya, tetapi awal perubahan.
Penutup
Hidup tidak selalu mudah. Tetapi selalu ada jalan—melalui kesabaran, usaha, doa, dan keberanian untuk mencoba lagi. Kesulitan bukan musuh; ia adalah jembatan menuju kematangan dan kemudahan.
ARTIKEL02/12/2025 | indri irmayanti
Ketika Semua Rencana Gagal, Rencana Allah Selalu Lebih Indah
Dalam episode kehidupan, setiap manusia pasti memiliki rencana. Kita menyusun tujuan, langkah, dan strategi agar hidup berjalan sesuai harapan. Namun, seberapa sering rencana terbaik kita berujung pada kegagalan? Ada yang meleset dari waktu, tidak sesuai hasil, bahkan tidak terjadi sama sekali. Pada titik inilah, keimanan kita diuji: apakah kita akan larut dalam kekecewaan atau justru menemukan makna di balik Rencana Allah Swt. yang jauh lebih indah dan sempurna.
Keyakinan teguh bahwa kegagalan hanyalah bentuk pengalihan dari Allah menuju kebaikan yang lebih besar adalah pilar spiritual yang disebut Rida terhadap Qada dan Qadar.
Batasan Ilmu Manusia dan Hikmah Ilahi
Rencana manusia didasari pada pengetahuan yang terbatas, sementara Rencana Allah didasari pada ilmu yang mutlak dan menyeluruh. Allah Swt. menegaskan batasan pengetahuan ini dalam Al-Qur’an:
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal ia buruk bagimu. Allah mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)
Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa kehendak Allah (al-irada) selalu didasari pada hikmah yang sempurna, meskipun akal manusia tidak selalu mampu menangkapnya. Oleh karena itu, kegagalan rencana bukanlah tanda keburukan, melainkan sinyal bahwa Allah sedang mengarahkan kita ke arah yang lebih baik dan sesuai bagi jiwa kita.
Kegagalan: Pintu yang Ditutup dan Pintu yang Dibuka
Para ulama spiritual mengajarkan bahwa kegagalan harus dilihat sebagai proses pendidikan (Tarbiyah) dari Allah, berfungsi sebagai penanda arah baru, bukan penghalang jalan.
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata, “Jika Allah menutup satu pintu untukmu, Dia pasti membuka pintu lain. Namun, terkadang engkau memandangi pintu yang tertutup itu terlalu lama sehingga tidak melihat pintu lain yang terbuka untukmu.”
Pernyataan ini mengajarkan bahwa kegagalan adalah cara Allah memalingkan kita dari sesuatu yang tidak baik bagi masa depan, iman, maupun kebahagiaan sejati. Kisah Nabi Yusuf A.S. adalah contoh nyata: rangkaian "kegagalan"—dibuang ke sumur, dijual sebagai budak, dipenjara—justru merupakan jalan yang berliku menuju takdir mulia sebagai penguasa Mesir. Tanpa kegagalan itu, kemuliaan takkan tercapai.
Tawakal Setelah Ikhtiar Maksimal
Penerimaan terhadap Rencana Allah harus didahului dengan usaha maksimal, yang dikenal sebagai Tawakal. Rasulullah saw. bersabda: “Ikatlah dulu untamu, kemudian bertawakkallah.” (HR. Tirmidzi).
Hadis ini adalah gambaran bahwa tawakal sejati adalah kombinasi antara mengambil sebab (ikhtiar) dan kebergantungan hati sepenuhnya pada Allah. Ketika kita sudah melakukan semua yang kita mampu, kita harus yakin bahwa hasil akhirnya kembali kepada Allah, dan hasil itu pasti yang terbaik, baik dalam bentuk karunia maupun ketetapan penuh hikmah.
Keindahan Rencana Allah Melampaui Akal
Keindahan Rencana Allah terletak pada empat aspek:
1. Karena Allah Maha Mengetahui (Al-’Alim): Dia mengetahui bahaya jangka panjang atau kerugian yang belum tampak di balik sesuatu yang kita inginkan.
2. Karena Allah Menginginkan Kita Dekat: Kegagalan atau musibah sering kali membuat manusia kembali berdoa, menangis, dan memohon, yang merupakan kebaikan terbesar.
3. Karena Menyiapkan Yang Lebih Baik: Allah berjanji, “Boleh jadi Allah akan mendatangkan setelah itu keadaan yang lebih baik.” (QS. At-Thalaq: 1). Setiap kesempitan pasti Allah sertai dengan jalan keluar.
4. Karena Menghapus Dosa: Rasulullah saw. bersabda bahwa setiap musibah, termasuk kesedihan, adalah cara Allah menghapuskan kesalahan hamba-Nya.
Kesimpulan
Bagi orang beriman, tidak ada yang namanya takdir yang buruk, sebab segalanya adalah kebaikan. Ketika rencana gagal, seorang mukmin wajib menerima dengan lapang dada (Rida), berprasangka baik (Husnudzon) kepada Allah, dan memperbaiki usaha (Ikhtiar) ke depan. Kegagalan bukanlah akhir, melainkan sarana pendidikan dan pengalih arah menuju takdir terbaik yang telah Allah siapkan. Inti dari keyakinan bahwa Rencana Allah selalu lebih indah terletak pada penyerahan hati yang sempurna setelah usaha maksimal.
ARTIKEL02/12/2025 | Yessi Ade Lia Putri
Mengapa Asnaf Fakir dan Miskin Jadi Prioritas Utama Zakat? Ini Penjelasannya!
Zakat merupakan salah satu rukun Islam yang memiliki peran vital dalam menciptakan kesejahteraan sosial. Dalam syariat Islam, Allah SWT menetapkan delapan golongan (asnaf) yang berhak menerima zakat. Namun di antara seluruh asnaf tersebut, para ulama sepakat bahwa fakir dan miskin adalah kelompok yang paling utama untuk diprioritaskan dalam distribusi zakat. Mengapa demikian? Berikut penjelasan berdasarkan dalil Al-Qur’an, hadis sahih, serta pandangan ulama klasik.
1. Dalil Al-Qur’an: Urutan Pertama Tanda Prioritas
Allah SWT berfirman dalam QS. At-Taubah ayat 60:
“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, amil zakat, muallaf... dan seterusnya.”
Pada ayat tersebut, fakir dan miskin disebutkan pada urutan pertama sebelum asnaf lainnya. Para ulama menafsirkannya sebagai isyarat jelas bahwa dua kelompok ini merupakan tujuan utama dari keberadaan zakat.
Imam Al-Qurthubi menjelaskan bahwa penempatan fakir dan miskin di awal ayat menunjukkan bahwa kebutuhan mereka lebih darurat dibandingkan asnaf lain. Dalam Tafsir Al-Qurthubi, beliau menegaskan:
“Penyebutan fakir dan miskin di awal ayat adalah bentuk pendahuluan atas yang lebih utama dan lebih membutuhkan.”
Demikian pula Ibnu Katsir, beliau menyampaikan bahwa fakir dan miskin didahulukan karena keduanya merupakan sasaran utama zakat, yaitu mengangkat mereka dari keadaan sulit menuju kecukupan.
2. Hadis Nabi SAW: Zakat Kembali kepada Kaum Miskin
Rasulullah SAW juga secara langsung menegaskan orientasi zakat untuk membantu kaum miskin. Dalam hadis sahih riwayat Bukhari ketika beliau mengutus Mu‘adz bin Jabal ke Yaman, Nabi bersabda:
“... Diambil dari orang-orang kaya di antara mereka, lalu diberikan kepada orang-orang miskin di antara mereka.”
Hadis ini menjadi dasar operasional distribusi zakat dalam Islam. Arah penyalurannya sangat jelas: dari orang kaya untuk mengentaskan kesulitan ekonomi orang miskin dalam masyarakat.
3. Ijma’ Ulama: Fakir dan Miskin Paling Berhak
Keempat mazhab fikih besar sepakat bahwa fakir dan miskin harus menjadi prioritas utama.
Mazhab Hanafi
Imam Abu Hanifah memandang fakir sebagai golongan yang paling membutuhkan karena mereka tidak memiliki harta ataupun penghasilan yang mencukupi kebutuhan dasar.
Mazhab Maliki
Dalam Al-Mudawwanah, Imam Malik menegaskan bahwa zakat lebih utama diberikan kepada fakir dan miskin karena ia adalah bantuan untuk menyambung keberlangsungan hidup mereka.
Mazhab Syafi’i
Imam Asy-Syafi’i dalam Al-Umm menegaskan:
“Hak yang terbesar dari zakat adalah bagi fakir dan miskin.”
Mazhab Hanbali
Imam Ahmad menekankan bahwa tujuan zakat adalah menghilangkan kesulitan ekonomi, sehingga fakir miskin harus menjadi perhatian pertama.
4. Mengapa Mereka Diprioritaskan? (Analisis Syar‘i)
Ada beberapa alasan mendasar:
a. Pemenuhan kebutuhan dasar (dharuriyyat)
Fakir dan miskin berada dalam kondisi paling rentan sehingga membutuhkan perhatian paling mendesak.
b. Menjaga martabat manusia
Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa zakat menjaga manusia dari kehinaan meminta-minta dan mengangkat martabat sosial mereka.
c. Mengurangi kesenjangan sosial
Zakat berfungsi sebagai instrument redistribusi kekayaan agar jurang kaya dan miskin tidak semakin melebar.
d. Zakat bersifat pemberdayaan
Ibn Taymiyyah mengajarkan bahwa zakat harus diberikan hingga seseorang keluar dari kemiskinan, bukan sekadar bantuan sesaat.
Kesimpulan
Asnaf fakir dan miskin menjadi prioritas utama zakat karena nash Al-Qur’an menempatkan mereka pada urutan pertama, hadis Nabi SAW menegaskan bahwa zakat harus kembali kepada kaum miskin, serta ijma’ ulama yang sepakat bahwa keduanya adalah penerima paling berhak. Selain itu, maqashid syariah menunjukkan bahwa zakat harus diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dasar, menjaga martabat, dan memberdayakan kelompok paling rentan agar keluar dari lingkaran kemiskinan. Dengan memprioritaskan fakir dan miskin, tujuan sosial-ekonomi zakat dapat tercapai secara optimal.
ARTIKEL01/12/2025 | Yessi Ade Lia Putri
Siapa Itu Mustahik? Memahami Kedudukannya dalam Islam
Memahami Mustahik dan Kedudukannya dalam Islam Secara Komprehensif
Artikel ini mengulas pengertian mustahik, delapan kategori penerima zakat menurut Islam, dalil Al-Qur’an, hadits, serta pandangan ulama terkait hak mustahik dalam sistem sosial Islam.
Zakat adalah salah satu instrumen sosial dan spiritual dalam Islam yang memiliki dampak besar bagi kesejahteraan umat. Ia tidak sekadar kewajiban ibadah, tetapi sistem penyelamat bagi yang membutuhkan. Di balik kewajiban tersebut, terdapat dua pihak utama: muzaki sebagai pemberi zakat, dan mustahik sebagai penerima zakat. Tanpa adanya mustahik, sistem zakat tidak akan berjalan sesuai tujuan syariat. Karena itu, memahami siapa mustahik adalah langkah penting agar zakat tidak salah sasaran dan tidak menimbulkan ketidakadilan.
Pengertian Mustahik Menurut Islam
Secara bahasa, mustahik berasal dari kata Arab “istihqaq” yang berarti berhak menerima. Dalam konteks zakat, mustahik adalah golongan yang memiliki hak mendapatkan zakat berdasarkan ketentuan Al-Qur’an dan sunnah. Hak ini bukan hasil belas kasihan, melainkan ketentuan hukum syariat berdasarkan kebutuhan dan kondisi sosial.
Islam telah memberikan dasar hukum yang jelas. Allah SWT berfirman dalam QS. At-Taubah ayat 60:
“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, amil zakat, para muallaf yang dipujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah, dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan. Itulah ketetapan yang ditentukan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah: 60)
Ayat ini tidak hanya menyebutkan mustahik secara naratif, tetapi memberikan kategori sistematis agar zakat tepat diberikan kepada golongan yang benar-benar membutuhkan.
Delapan Golongan Mustahik (Asnaf)
Para ulama sepakat bahwa ayat ini menjadi landasan paling kuat dalam menentukan siapa yang berhak menerima zakat.
Fakir Golongan yang hampir tidak memiliki penghasilan atau sumber daya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka hidup pada tingkat kekurangan yang paling parah, sehingga kebutuhan primer seperti makanan, pakaian, dan tempat tinggal tidak tercukupi.
Miskin Mereka yang memiliki pekerjaan atau pendapatan, namun tidak mencapai standar kecukupan. Misalnya buruh harian yang hanya bekerja beberapa hari dalam seminggu atau pedagang kecil dengan pemasukan terbatas. Dalam praktik sosial, miskin sering tampak lebih baik dari fakir, tetapi masih dalam kondisi tidak sejahtera.
Amil Zakat Golongan petugas yang mengelola zakat, mulai dari administrasi, pendataan, hingga distribusi. Mereka menerima bagian zakat bukan karena kemiskinan, tetapi karena menjalankan tugas yang melelahkan secara fisik maupun administratif.
Muallaf Orang yang baru masuk Islam atau pihak yang hatinya ingin ditenangkan. Tujuannya bukan membeli keimanan, tetapi menjaga kestabilan sosial dan keberlangsungan dakwah. Dalam sejarah Nabi, pemberian zakat kepada muallaf berhasil meredam konflik suku dan menumbuhkan harmoni.
Riqab Golongan budak yang ingin menebus kebebasan dirinya. Meski praktik perbudakan telah berakhir, ulama kontemporer menafsirkan kategori ini sebagai pembebasan manusia dari belenggu penindasan, seperti rehabilitasi korban perdagangan manusia, pembebasan dari jeratan sosial, hingga reintegrasi narapidana yang bertaubat.
Gharimin Orang yang memiliki hutang karena kebutuhan mendesak atau maslahat umum. Hutang yang lahir dari kesalahan moral seperti berjudi tidak termasuk. Islam mengutamakan meringankan beban mereka agar tidak jatuh ke lingkaran kemiskinan permanen.
Fi Sabilillah Orang yang berjuang di jalan Allah. Pada masa Nabi identik dengan jihad fisik, namun ulama modern memasukkan perjuangan pendidikan, dakwah, pengembangan masyarakat, hingga pembangunan fasilitas sosial yang meningkatkan kesejahteraan umat.
Ibnu Sabil Musafir yang kehabisan bekal dalam perjalanan. Mereka mungkin mampu di kampung halaman, tetapi mengalami kesulitan sementara yang menghalangi keselamatan atau kepulangan.
Hadits tentang Mustahik
Rasulullah ? menegaskan bahwa zakat adalah hak kelompok tertentu. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Abu Daud dan Hakim:
“Sesungguhnya Allah tidak mewajibkan sedekah (zakat) kecuali untuk delapan golongan tertentu. Maka tidak halal bagi seorang yang kaya, atau yang kuat dan mampu bekerja, untuk mengambil zakat.”
Hadits ini memberikan batasan etika sosial: zakat bukan instrumen untuk memanjakan orang malas atau memperkaya pihak yang sudah sejahtera.
Pandangan Para Ulama
Ulama bersepakat bahwa mustahik adalah penerima zakat yang memiliki landasan hukum yang tidak boleh dilanggar. Imam Al-Qurtubi menegaskan bahwa pembagian delapan golongan bersifat ta’abbudi atau ritual yang tidak boleh diubah seenaknya. Menurut beliau, manusia tidak berhak mengganti syariat dengan rasionalitas pribadi.
Ibn Kathir menyoroti penggunaan kata innama dalam QS. At-Taubah: 60 sebagai penanda pembatasan yang kuat. Ia menegaskan bahwa zakat hanya valid jika diberikan kepada asnaf, dan jika dialihkan ke pihak lain, maka hukum zakat tidak sah.
Imam Syafi’i dalam Al-Umm menjelaskan bahwa zakat adalah hak mustahik, bukan sedekah sukarela. Memberikan zakat kepada seseorang yang tidak memenuhi kriteria sama dengan merampas hak mustahik.
Mustahik dalam Realitas Sosial Modern
Kemiskinan hari ini tidak sekadar berarti tidak memiliki makanan. Ada bentuk-bentuk kerentanan baru yang memerlukan analisis lebih dalam: keluarga buruh harian yang penghasilannya tidak stabil, pekerja informal, orang yang kehilangan pekerjaan karena sakit, ibu rumah tangga tanpa akses daya dukung, hingga mahasiswa yang terlantar.
Karena itu, lembaga zakat seperti BAZNAS melakukan verifikasi lapangan, penilaian ekonomi keluarga, hingga kajian sosial. Pendekatan profesional memastikan zakat tidak jatuh kepada mereka yang tidak layak, sementara mustahik sejati tidak terabaikan.
Penutup
Mustahik adalah pihak yang memiliki hak syariat menerima zakat. Mereka bukan sekadar objek bantuan, tetapi komponen penting dalam sistem sosial Islam. Dengan memahami mustahik secara benar—berdasarkan Al-Qur’an, hadits, dan pandangan ulama—kita dapat memastikan bahwa zakat menjadi jembatan keadilan sosial, mengurangi kesenjangan, serta membangun masyarakat yang seimbang secara ekonomi dan spiritual.
Setiap amal akan kembali kepada pemiliknya. Jika engkau memberi karena Allah, maka Allah yang akan membalasmu. Jika engkau memberi karena manusia, maka manusia-lah yang menjadi “ganjaranmu”—dan itu tidak sebanding dengan pahala Allah.
ARTIKEL01/12/2025 | indri irmayanti
Dari Dinding Rapuh ke Harapan Baru: Dampak Program Bantuan Rumah Layak Huni BAZNAS
Program Rumah Layak Huni BAZNAS (RLHB) BAZNAS Kota Sukabumi merupakan bentuk kepedulian nyata bagi keluarga miskin yang tinggal di hunian tidak layak. Program ini bukan sekadar pembangunan fisik, tetapi upaya memulihkan martabat manusia dan memberikan harapan baru.
Rumah adalah tempat aman untuk kembali, membina keluarga, dan melindungi dari cuaca. Namun, ribuan keluarga di Sukabumi masih tinggal di rumah rapuh—atap bocor, dinding berlubang, ventilasi buruk, dan sanitasi yang tidak layak. RLHB hadir untuk memperbaiki kondisi ini, sekaligus memberi dorongan psikologis dan sosial bagi penerimanya.
Mengapa Rumah Layak Penting?
Kesehatan: Rumah yang lembap dan tidak berventilasi menjadi sumber penyakit. Anak-anak yang tidur di lantai tanah rawan diare, infeksi kulit, atau batuk. Dinding berjamur memicu asma, dan atap bocor meningkatkan kelembapan. Renovasi RLHB menurunkan risiko penyakit, mengurangi biaya pengobatan, dan meningkatkan kualitas hidup.
Psikologis: Banyak kepala keluarga merasa malu dan rendah diri karena kondisi rumah. Dengan RLHB, rasa malu berubah menjadi percaya diri. Anak-anak tidak lagi takut mengundang teman, dan orang tua berani memulai usaha dari rumah.
Sosial: Rumah layak meningkatkan integrasi sosial. Warga lebih percaya diri berinteraksi dengan tetangga, ikut kegiatan RT/RW, dan menghapus stigma “miskin.”
Dampak Nyata RLHB
Kesehatan Keluarga: Ruangan yang berventilasi baik dan bersih membuat anak-anak tidur lebih nyenyak dan jarang sakit.
Pendidikan: Anak memiliki ruang belajar stabil, lebih fokus, dan jarang absen sekolah.
Kemandirian Ekonomi: Banyak penerima RLHB membuka usaha kecil atau jasa rumahan. Material lokal yang digunakan juga menggerakkan ekonomi desa.
Solidaritas Sosial: Pembangunan rumah sering melibatkan gotong royong, memperkuat ikatan komunitas.
Kriteria Mustahik RLHB
Fakir dan Miskin: Kepala keluarga berpenghasilan rendah atau tidak tetap.
Kondisi Rumah Tidak Layak: Atap bocor, dinding lapuk, lantai retak, ventilasi buruk, atau tidak ada jamban.
Kelompok Rentan: Lansia, perempuan kepala keluarga, anak berisiko kesehatan, penyandang disabilitas, yatim/piatu.
Tidak Sedang Menerima Bantuan Lain: Belum pernah menerima program rumah lain.
Komitmen Pemeliharaan: Bersedia merawat rumah dan tidak menjualnya.
Kisah di Balik Pintu Rumah
Seorang ibu di pesisir menceritakan bagaimana sebelum RLHB, rumah kayunya bocor saat hujan, anak-anak sering sakit, dan malamnya selalu memindahkan kasur agar tetap kering. Setelah renovasi, rumah aman, anak-anak sehat, dan ibu itu mulai membuka usaha sembako dari rumah.
Seorang lansia yang tinggal sendiri di rumah bambu reyot menangis ketika menerima RLHB. Bagi dia, bantuan ini bukan hanya material, tetapi bukti kepedulian masyarakat terhadap hidupnya. Rumah baru memberinya rasa aman dan martabat.
Kesimpulan
Program Rumah Layak Huni BAZNAS Kota Sukabumi bukan sekadar perbaikan fisik. Ia membangun kesehatan, rasa percaya diri, integrasi sosial, dan harapan masa depan. Rumah layak bukan hadiah, melainkan hak dasar manusia. Ketika satu rumah diperbaiki, masa depan satu keluarga turut dibangun.
Dari dinding rapuh, lahir harapan baru. Dari harapan itu, lahir kehidupan yang lebih bermartabat.
ARTIKEL27/11/2025 | indri irmayanti
Bantuan Pendidikan BAZNAS Kota Sukabumi: Solusi Ringan untuk Pelajar yang Membutuhkan
Pendidikan adalah fondasi penting yang menentukan masa depan suatu bangsa. Namun, tidak semua pelajar memiliki kesempatan yang sama untuk menikmati pendidikan yang layak. Kondisi ekonomi keluarga yang terbatas, tunggakan biaya sekolah, serta kebutuhan perlengkapan belajar sering kali menjadi hambatan yang membuat siswa terancam putus sekolah. Untuk menjawab persoalan tersebut, BAZNAS Kota Sukabumi hadir melalui program Bantuan Pendidikan yang bertujuan meringankan beban para pelajar kurang mampu.
1. Pentingnya Dukungan Pendidikan bagi Masyarakat
Dalam Islam, pendidikan memiliki kedudukan sangat tinggi. Allah SWT berfirman:
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11)
Ayat tersebut menegaskan bahwa meningkatkan kualitas pendidikan adalah bagian dari upaya memajukan kehidupan umat. Selain itu, berbagai penelitian menunjukkan bahwa bantuan pendidikan dapat menekan angka putus sekolah dan meningkatkan kesejahteraan keluarga miskin. Dengan demikian, program bantuan pendidikan tidak hanya bernilai ibadah, tetapi juga berfungsi sebagai langkah strategis bagi pembangunan sumber daya manusia.
2. Komitmen BAZNAS Kota Sukabumi dalam Bidang Pendidikan
Sebagai lembaga resmi yang mengelola zakat, infak, dan sedekah, BAZNAS Kota Sukabumi memiliki komitmen kuat untuk memastikan bahwa pelajar dari keluarga kurang mampu tetap dapat melanjutkan pendidikan. Program ini difokuskan pada bentuk bantuan yang langsung menyelesaikan hambatan biaya, baik untuk siswa SD–SMA maupun mahasiswa perguruan tinggi.
3. Rincian Bantuan Pendidikan
A. Tingkat SD hingga SMA/SMK
Bantuan diberikan kepada siswa yatim, dhuafa, dan keluarga berpenghasilan rendah yang mengalami kendala biaya pendidikan.
1. Pelunasan Tunggakan Sekolah BAZNAS Kota Sukabumi membantu melunasi tunggakan biaya sekolah sehingga siswa tidak lagi berisiko:
Tertahan mengikuti ujian
Tidak naik kelas
Putus sekolah akibat ketidakmampuan membayar
2. Bantuan Perlengkapan Sekolah Selain pelunasan biaya, siswa juga dapat menerima bantuan berupa:
Seragam sekolah
Sepatu
Buku paket
Alat tulis
Bantuan ini biasanya sangat dibutuhkan menjelang tahun ajaran baru.
B. Tingkat Perguruan Tinggi
BAZNAS Kota Sukabumi juga memberikan bantuan bagi mahasiswa kurang mampu, khususnya yang memiliki tunggakan kuliah.
1. Bantuan Tunggakan SPP/UKT (Stimulan) Bantuan ini bersifat stimulan, artinya diberikan sekali sesuai kebutuhan dan tidak berkelanjutan setiap semester. Tujuannya untuk:
Mencegah mahasiswa dinyatakan nonaktif
Membantu mahasiswa tingkat akhir menyelesaikan studi
Mengurangi beban keluarga dalam pembiayaan kuliah
4. Landasan Syariah dalam Penyaluran Bantuan
Program pendidikan ini berlandaskan syariah, terutama pada kewajiban menyalurkan zakat kepada fakir dan miskin sebagaimana tercantum dalam QS. At-Taubah ayat 60. Selain itu, Rasulullah ? bersabda:
“Barang siapa memudahkan kesulitan seorang mukmin di dunia, Allah akan memudahkan kesulitannya di dunia dan akhirat.” (HR. Muslim)
Membantu anak didik yang kesulitan biaya merupakan wujud nyata dari ajaran tersebut.
5. Dampak Positif Program
Program Bantuan Pendidikan BAZNAS Kota Sukabumi membawa banyak manfaat, antara lain:
Mengurangi risiko putus sekolah
Meningkatkan semangat belajar dan kepercayaan diri
Membantu membentuk generasi berpendidikan dan berdaya saing
Menguatkan fungsi zakat dalam pemberdayaan masyarakat
Kesimpulan
Program Bantuan Pendidikan BAZNAS Kota Sukabumi menjadi solusi nyata bagi pelajar dari keluarga kurang mampu. Dengan membantu melunasi tunggakan sekolah dan SPP/UKT, program ini memastikan setiap pelajar tetap memiliki hak untuk belajar dan meraih masa depan yang lebih baik.
Mari dukung masa depan generasi Sukabumi. Salurkan zakat, infak, dan sedekah Anda melalui BAZNAS Kota Sukabumi. Satu langkah kecil dari Anda dapat menjadi harapan besar bagi mereka yang membutuhkan.
ARTIKEL27/11/2025 | Yessi Ade Lia Putri
Hidup yang Lebih Tenang Dimulai dari Kata “Cukup”
Di tengah derasnya arus informasi dan gaya hidup modern, manusia semakin sulit merasa cukup. Kita melihat kehidupan orang lain, rumah lebih besar, pekerjaan lebih mapan, liburan lebih mewah, dan tanpa sadar kita merasa kurang. Padahal, ketenangan hidup sering kali bukan berasal dari banyaknya harta, melainkan dari kemampuan hati menerima apa yang Allah berikan. Dalam Islam, sifat ini disebut qana’ah—merasa puas dengan rezeki yang halal dan tidak terlalu bergantung pada dunia.
Allah ? mengajarkan bahwa syukur adalah kunci ketenangan.
“Dan sungguh, jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu.” (QS. Ibrahim: 7)
Ayat ini menegaskan bahwa cukup bukan sekadar menerima apa adanya, tetapi bersyukur atas karunia Allah. Syukur menumbuhkan rasa damai, sedangkan keluh-kesah menumbuhkan keresahan. Sebaliknya, Allah memperingatkan bahaya mengejar dunia tanpa batas:
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur.” (QS. At-Takatsur: 1–2)
Keinginan yang tak terkontrol akan menjerumuskan manusia dalam perlombaan memuakkan: ingin lebih kaya, lebih terkenal, lebih dihormati. Pada akhirnya, seseorang hanya berhenti ketika kematian datang.
Rasulullah ? dengan jelas menjelaskan hakikat kekayaan:
“Kekayaan bukanlah banyaknya harta, tetapi kekayaan adalah kaya hati.” (HR. Bukhari & Muslim)
Kekayaan sejati ada di dalam hati yang sadar bahwa yang dimiliki sudah cukup. Tanpa rasa ini, seseorang bisa saja memiliki rumah besar dan kendaraan mewah, namun tetap gelisah. Sebaliknya, orang sederhana yang merasa cukup dapat hidup tenang.
Nabi ? juga bersabda:
“Sungguh beruntung orang yang masuk Islam, diberi rezeki yang secukupnya, dan Allah menjadikannya merasa cukup dengan apa yang diberikan.” (HR. Muslim)
Hadits ini menyebut tiga lapis kebahagiaan: iman, rezeki halal, dan hati yang ridha. Banyak orang memiliki rezeki tetapi tidak memiliki ketenangan, karena mereka kehilangan lapisan ketiga—qana’ah.
Para ulama menegaskan pentingnya sifat merasa cukup. Imam al-Ghazali menyatakan bahwa qana’ah adalah benteng hati dari kerakusan. Ia bukan berarti berhenti berusaha, tetapi menghentikan keinginan yang tidak perlu. Ibn Rajab al-Hanbali mengingatkan, “Barang siapa tidak puas dengan yang halal, ia akan mengejar yang haram.” Rasa tidak cukup sering membuat orang berhutang berlebihan, menipu, atau mengorbankan martabat demi gengsi.
Untuk mendapatkan ketenangan, ada beberapa langkah praktis:
Pertama, syukuri hal kecil. Terkadang kita sibuk mengejar hal besar hingga lupa bahwa bisa bernapas, tidur nyaman, atau makan bersama keluarga adalah kenikmatan luar biasa.
Kedua, batasi perbandingan. Media sosial membuat kita membandingkan hidup dengan highlight hidup orang lain. Padahal kita tidak tahu perjuangan dan luka di baliknya.
Ketiga, hidup sesuai kebutuhan. Beli apa yang diperlukan, bukan yang hanya ingin dipamerkan. Kesederhanaan menjauhkan dari stres finansial.
Keempat, banyak memberi. Sedekah membuat hati merasa cukup. Orang yang berbagi sadar bahwa dirinya masih mampu memberi, bukan sekadar menerima.
Terakhir, berdoa. Salah satu doa yang diajarkan Nabi ?: “Ya Allah, cukupkanlah aku dengan apa yang Engkau halalkan daripada apa yang Engkau haramkan, dan kayakanlah aku dengan karunia-Mu dari selain-Mu.” Doa ini menumbuhkan keridhaan dan menutup pintu kerakusan.
ARTIKEL26/11/2025 | indri irmayanti
Bukan Kurang Bahagia, Mungkin Kamu Lupa Satu Hal yang Islam Ajarkan
Di era modern yang penuh kemudahan, teknologi, dan kelimpahan informasi, banyak orang justru merasa gelisah dan tidak bahagia. Mereka mengejar berbagai pencapaian duniawi, berharap kebahagiaan datang dari materi, perhatian manusia, atau validasi sosial. Padahal, Islam telah mengajarkan sejak ribuan tahun yang lalu bahwa kebahagiaan sejati tidak bersumber dari luar diri, melainkan dari dalam hati yang hidup dengan mengingat Allah (dzikrullah).
1. Hati yang Tenteram adalah Kunci Kebahagiaan
Allah SWT menyebutkan dengan sangat jelas bahwa ketenangan jiwa (thuma’ninah) lahir dari dzikrullah dalam QS. Ar-Ra’d: 28
Imam Ibn Katsir menjelaskan bahwa tak ada sesuatu pun yang mampu benar-benar menenangkan hati manusia selain ingat kepada Allah. Imam Al-Qurthubi menambahkan bahwa ketenangan dalam ayat ini adalah ketenangan hakiki yang menghidupkan hati dan menghadirkan rasa bahagia batin.
Inilah sebabnya, meskipun seseorang memiliki segalanya, hatinya tetap bisa merasa kosong—karena ia lupa menyambungkan hatinya kepada Penciptanya.
2. Rasulullah SAW Menegaskan bahwa Hati Adalah Sumber Segala Kebaikan
Rasulullah SAW bersabda:
"Ketahuilah, dalam tubuh ada segumpal daging. Jika ia baik, maka seluruh tubuh baik. Jika ia rusak, rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah itu adalah hati." (HR. Bukhari dan Muslim)
Imam Ibn Rajab Al-Hanbali menjelaskan bahwa kualitas kebahagiaan seseorang sangat dipengaruhi oleh kondisi hatinya. Hati yang hidup oleh iman, dzikir, dan syukur akan merasakan ketenangan meski hidup sedang berat. Sebaliknya, hati yang lalai akan merasa gelisah meski dikelilingi banyak kenikmatan.
3. Kurang Syukur, Sumber Gelisah yang Tak Disadari
Menurut Imam Asy-Syaukani, tambahan nikmat di ayat ini bukan hanya materi, melainkan juga ketenangan batin dan kebahagiaan. Ketika seseorang lupa bersyukur, fokusnya tertuju pada kekurangan, bukan karunia yang sudah ia miliki. Akibatnya, hatinya sulit merasakan cukup.
4. Kurang Tawakkal: Memikul Beban yang Seharusnya Milik Allah
Banyak kegelisahan muncul karena kita ingin mengendalikan segalanya. Allah menegaskan dalam QS. At-Talaq: 3
Ibn ‘Atha’illah berkata dalam Al-Hikam: "Istirahatkan dirimu dari rencana-rencanamu, karena apa yang Allah lakukan untukmu lebih baik dari apa yang engkau rencanakan sendiri."
Tawakkal membebaskan hati dari kecemasan dan membuat jiwa lebih ringan.
5. Dunia Memang Tempat Ujian
Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa manusia memang diciptakan untuk menghadapi kesulitan. Karena itu, kebahagiaan bukan berarti hidup tanpa masalah, tetapi hati yang mampu menerima takdir dengan sabar dan ridha.
Kesimpulan
Rasa gelisah, hampa, atau tidak bahagia sebenarnya sering berasal dari hati yang jauh dari Allah. Islam mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati bukan terletak pada dunia, melainkan pada hati yang hidup: hati yang berdzikir, bersyukur, bertawakkal, dan terhubung dengan Allah melalui ibadah. Ketika hati kembali kepada-Nya, ketenangan pun datang dengan sendirinya.
ARTIKEL26/11/2025 | Yessi Ade Lia Putri
Perlu Nggak Sih Kita Jadi Muzakki? Banyak yang Belum Tahu
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar istilah Muzakki, yaitu orang yang menunaikan zakat ketika hartanya telah memenuhi syarat. Namun, tidak sedikit yang masih bertanya-tanya: Perlu nggak sih kita jadi Muzakki? Apakah ini kewajiban yang harus dicapai setiap Muslim, atau hanya sebatas anjuran?
Faktanya, menjadi Muzakki bukan sekadar aktivitas amal, tetapi sebuah kewajiban syar’i yang ditegaskan dalam Al-Qur'an, Hadis, dan pendapat ulama. Bahkan, status Muzakki merupakan bagian dari identitas seorang Muslim yang telah mencapai kesempurnaan iman dan ketaatan.
Apa Itu Muzakki dan Kenapa Penting?
Secara bahasa, Muzakki berarti "orang yang menyucikan". Dalam fikih, Muzakki adalah Muslim yang memenuhi syarat wajib zakat—memiliki harta mencapai nisab, milik penuh, dan telah berlalu haul (setahun)—lalu menunaikannya kepada penerima yang berhak.
Zakat sendiri bermakna tumbuh, berkah, dan suci. Dengan menunaikannya, seorang Muslim tidak hanya menunaikan ibadah finansial, tetapi juga menyucikan hartanya dari hak orang lain serta membersihkan jiwanya dari sifat kikir.
Dalil Al-Qur’an Tentang Kewajiban Menjadi Muzakki
Al-Qur’an menegaskan zakat sebagai kewajiban yang tidak bisa dipisahkan dari salat. Perintah ini menunjukkan betapa agung kedudukan zakat dalam Islam.
1. Digandengkan dengan Salat “Dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat.” (QS. Al-Baqarah: 43)
2. Penyucian Jiwa dan Harta “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka…” (QS. At-Taubah: 103)
3. Ciri Orang Beruntung “Sungguh beruntung orang-orang beriman… dan orang-orang yang menunaikan zakat.” (QS. Al-Mu’minun: 1–4)
Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa zakat bukan hanya instrumen sosial, tetapi juga bentuk ketaatan spiritual kepada Allah SWT.
Pendapat Ulama Mengenai Kewajiban Menjadi Muzakki
Para ulama dari empat mazhab sepakat bahwa zakat adalah kewajiban mutlak bagi Muslim yang memenuhi syarat:
Imam An-Nawawi menyatakan bahwa zakat wajib bagi siapa saja yang hartanya mencapai nisab dan haul.
Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa meninggalkan zakat termasuk dosa besar.
Ibnu Katsir menafsirkan zakat sebagai sarana untuk menyucikan orang kaya dari sifat cinta dunia.
Imam Malik menegaskan bahwa zakat adalah hak orang miskin yang wajib dikeluarkan oleh pemilik harta.
Konsensus ulama (ijma’) ini membuktikan bahwa menjadi Muzakki adalah kewajiban, bukan opsi.
Hadis-Hadis Tentang Pentingnya Menunaikan Zakat
1. Termasuk Rukun Islam Rasulullah SAW bersabda: “Islam dibangun atas lima perkara… salah satunya menunaikan zakat.” (HR. Bukhari & Muslim)
2. Membersihkan Dosa “Sedekah memadamkan dosa sebagaimana air memadamkan api.” (HR. Tirmidzi)
3. Ancaman bagi yang Tidak Menunaikan Zakat “Harta yang tidak dizakati akan dipanaskan di neraka lalu digunakan untuk menyiksa pemiliknya…” (HR. Muslim)
Hadis-hadis ini menegaskan bahwa zakat adalah pilar iman yang tidak boleh diabaikan.
Kenapa Kita Wajib Mengejar Status Muzakki?
Menyucikan Harta dan Diri — Zakat menjadikan harta halal, bersih, dan berkah.
Tidak Mengurangi Harta — Rasulullah SAW bersabda: “Harta tidak akan berkurang karena sedekah.” (HR. Muslim)
Menghilangkan Sifat Kikir — Zakat melatih keikhlasan dan mengikis cinta dunia berlebihan.
Mewujudkan Keadilan Sosial — Zakat membantu pemerataan ekonomi dan mengurangi kesenjangan.
Jika syaratnya terpenuhi, status Muzakki menjadi kewajiban yang tidak boleh ditunda.
Kesimpulan
Menjadi Muzakki bukan sekadar anjuran, tetapi kewajiban bagi setiap Muslim yang hartanya telah mencapai nisab dan haul. Zakat adalah pilar agama, penyuci jiwa, pengundang keberkahan, dan mekanisme keadilan sosial dalam Islam. Dengan menunaikan zakat, seorang Muslim telah menjalankan salah satu bentuk ketaatan terbesar kepada Allah SWT, sekaligus menjadi bagian dari solusi bagi sesama. Semoga Allah memberikan kelapangan rezeki dan menjadikan kita termasuk orang-orang yang senantiasa menjaga kewajiban ini dengan penuh kesadaran dan keikhlasan.
ARTIKEL26/11/2025 | Yessi Ade Lia Putri
Dari Dompet ke Hati: Bagaimana Sedekah Mengubah Hidup Pemberi dan Penerima
Sedekah adalah salah satu amalan yang paling agung dalam Islam. Ia bukan hanya sekedar aktivitas memindahkan sebagian harta dari dompet seseorang ke tangan yang membutuhkan, tetapi proses spiritual yang berdampak mendalam pada kedua belah pihak: pemberi dan penerima. Di balik setiap rupiah yang disedekahkan, ada perbaikan hati, pembersihan jiwa, serta tumbuhnya harapan bagi mereka yang kesulitan.
1. Hakikat Sedekah dalam Islam
Secara bahasa, sedekah berasal dari kata shadaqa yang berarti kebenaran. Artinya, sedekah adalah bukti nyata kebenaran iman seseorang. Allah SWT berfirman:
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” — QS. At-Taubah: 103
Ayat ini menunjukkan bahwa memberi tidak hanya membersihkan harta, tetapi juga mensucikan jiwa. Bahkan Rasulullah ? bersabda:
“Sedekah tidak akan mengurangi harta.” — HR. Muslim
Hadis ini mengajarkan bahwa secara ruhani, harta yang dikeluarkan justru menjadi berkah—baik secara langsung maupun tidak langsung.
2. Dampak Sedekah bagi Si Pemberi
a. Membersihkan hati dari sifat kikir dan cinta dunia
Dalam Al-Qur’an disebutkan:
“Dan barang siapa dijaga dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” — QS. Al-Hasyr: 9
Allah menegaskan bahwa musuh terbesar manusia bukanlah kemiskinan, melainkan rasa cinta berlebihan terhadap hartanya. Dengan memberi, seseorang belajar melepaskan ego dan keserakahan. Ia menyadari bahwa harta adalah titipan Allah, bukan milik mutlak.
b. Melapangkan rezeki dan memperluas keberkahan
Sebagian orang ragu bersedekah karena takut miskin. Padahal Rasulullah ? menegaskan:
“Allah berfirman: Wahai anak Adam, berinfaklah! Niscaya Aku akan memberi infak kepadamu.” — HR. Bukhari dan Muslim
Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin mengajarkan bahwa sedekah membuka pintu rezeki karena menggerakkan hati pada kebaikan, mendekatkan diri kepada doa para mustahik, serta menarik keberkahan pada usaha.
c. Menghapus dosa dan menjadi penolong di hari akhir
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah menjelaskan bahwa sedekah layaknya obat yang menyembuhkan penyakit hati. Ia mampu menghapuskan dosa kecil dan menjadi tabungan amal jariyah khususnya bila manfaatnya langgeng—seperti membangun sumur, membantu pendidikan anak yatim, atau mendukung dakwah.
3. Dampak Sedekah bagi Si Penerima
a. Membangun kembali harapan hidup
Bagi penerima, sedekah bukan sekadar uang, tetapi bukti bahwa mereka tidak dilupakan. Rasulullah ? bersabda:
“Senyummu kepada saudaramu adalah sedekah.” — HR. Tirmidzi
Ini menunjukkan sedekah bukan hanya materi, melainkan kepedulian. Seorang ibu miskin yang menerima sembako mungkin merasa: “Ada yang peduli padaku.” Dampak psikologis inilah yang seringkali lebih kuat daripada nilai rupiah.
b. Menjaga martabat tanpa mempermalukan
Islam mengajarkan agar sedekah dilakukan tanpa merendahkan penerima. Dalam QS. Al-Baqarah: 262, Allah mengingatkan agar sedekah tidak diiringi ungkapan menyakitkan. Rasa malu, harga diri, dan kehormatan mustahik harus dijaga.
Seorang ulama besar, Syaikh Ibn Baz, mengatakan bahwa sedekah yang terbaik adalah sedekah yang tidak menimbulkan hinaan, dilakukan secara lembut, dan membantu penerima keluar dari kesulitan secara berkelanjutan.
c. Mengangkat ekonomi dan peluang
Penerima yang tepat tidak hanya terbantu dalam kebutuhan harian, tetapi juga dapat meraih masa depan. Misalnya, membantu pedagang kecil dengan modal, membiayai pendidikan anak miskin, atau memberi alat kerja—semua ini menjadikan sedekah sebagai investasi sosial.
4. Sedekah sebagai Transformasi Sosial
Islam bukan hanya agama ritual, tetapi sistem kehidupan. Sedekah menghubungkan hati manusia sehingga tercipta keseimbangan sosial. Ketika pemberi merasakan ketenangan dan penerima mendapat peluang hidup yang lebih baik, terciptalah ekosistem rahmat.
Imam Nawawi menyebut sedekah sebagai bentuk taqarrub yang mempunyai dua arah: mendekatkan diri kepada Allah dan kepada sesama manusia. Di level masyarakat, sedekah dapat mengurangi kesenjangan sosial, mengurangi kriminalitas akibat kemiskinan, serta membangun solidaritas.
5. Contoh Nyata Sedekah yang Mengubah Hidup
a. Pedagang kecil yang bangkit
Seorang ibu penjual gorengan menerima bantuan modal Rp 500.000 dari donatur. Ia menggunakan uang itu untuk membeli bahan baku. Tiga bulan kemudian, omzetnya meningkat. Tidak hanya dapat menyekolahkan anaknya, ia bahkan memiliki tabungan kecil. Bagi pemberi, nominalnya kecil. Bagi penerima, itu adalah awal perubahan hidup.
b. Beasiswa pendidikan untuk yatim
Banyak mahasiswa berprestasi dari keluarga kurang mampu akhirnya dapat kuliah karena sedekah pendidikan. Ilmu yang mereka pelajari memberi manfaat jangka panjang, bahkan setelah donatur meninggal. Inilah sedekah jariyah yang terus berjalan.
c. Program sedekah berbasis pemberdayaan
Lembaga zakat seperti BAZNAS atau LAZ mengembangkan program ternak, pelatihan usaha mikro, hingga ambulans gratis. Pemberi mendapat pahala, penerima mendapatkan keberlanjutan ekonomi. Sedekah tidak lagi sekadar memberi sesaat, tetapi membangun kemandirian.
6. Pandangan Para Ulama tentang Sedekah Terbaik
Imam Al-Ghazali menekankan sedekah yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi lebih utama karena menjaga keikhlasan dan menghindari riya.
Imam Nawawi menuliskan bahwa sedekah terbaik adalah sedekah ketika seseorang masih membutuhkan, bukan setelah kaya dan berlebih.
Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa sedekah yang paling mulia adalah yang manfaatnya berkelanjutan: pendidikan, pembangunan sarana publik, kesehatan, dan ilmu.
Semua pandangan ini mengajarkan prinsip yang sama: sedekah bukan tentang jumlah, tetapi niat dan dampaknya.
7. Dari Dompet ke Hati
Sedekah adalah perjalanan spiritual. Ia bergerak dari dompet ke hati—dari tangan pemberi yang ikhlas ke hati penerima yang penuh harapan. Harta mungkin berpindah, tetapi doanya kembali. Kebahagiaan mungkin sesaat, tetapi keberkahan berlanjut.
Saat kita memberi, kita tidak kehilangan apa pun. Justru kita sedang mengukuhkan iman, mendidik diri, dan memperluas belaskasihan. Sedekah bukan sekadar transfer uang, tetapi transfer kebaikan.
ARTIKEL26/11/2025 | indri irmayanti
Amal Jariyah Masa Kini: Berbagi Bersama BAZNAS untuk Masa Depan
Dalam Islam, amal jariyah adalah salah satu amal istimewa yang terus mengalir pahalanya meskipun pelakunya telah meninggal dunia. Rasulullah ? bersabda: “Apabila anak Adam wafat, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim). Amal jariyah bukan hanya “memberi lalu selesai”, tetapi menciptakan manfaat berkelanjutan bagi orang lain, bahkan bergenerasi-generasi.
Apa Itu BAZNAS?
Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) adalah lembaga resmi milik negara yang bertugas mengelola dana zakat, infak, dan sedekah. BAZNAS berdiri berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2011, sehingga pengelolaan dana umat dilakukan secara profesional, transparan, dan memiliki dampak sosial nyata. Zakat tidak hanya sekadar disalurkan kepada penerima, tetapi diolah menjadi program pemberdayaan agar mustahik berubah menjadi mandiri, bahkan berpotensi menjadi muzaki.
Amal Jariyah dan Pahala yang Terus Mengalir
Konsep amal jariyah menggambarkan bahwa kontribusi kecil dapat menjadi manfaat besar. Ketika seseorang membantu membangun sekolah, sumur, klinik, atau beasiswa pendidikan, manfaatnya terus digunakan orang lain selama bertahun-tahun. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Baqarah: 261:
“Perumpamaan orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap bulir seratus biji...”
Ayat ini menegaskan bahwa sedekah tidak hanya dibalas setimpal, tetapi dilipatgandakan menjadi kebaikan yang luas.
Para ulama seperti Imam Nawawi menjelaskan bahwa sedekah jariyah adalah amal yang manfaatnya bertahan lama. Selama manfaat tersebut masih berjalan, pahala akan terus mengalir, baik si pemberi masih hidup ataupun sudah wafat.
Manfaat Amal Jariyah bagi Pemberi dan Penerima
Bagi Pemberi: Sedekah membersihkan hati dari sifat kikir, membantu melatih empati, dan memperkuat spiritualitas. Allah menjanjikan keberkahan bagi harta yang dikeluarkan di jalan kebaikan: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” (QS. At-Taubah: 103). Selain itu, amal jariyah adalah investasi akhirat. Ketika manusia tiada, sistem pahala tetap berjalan.
Bagi Penerima: Amal jariyah tidak hanya memenuhi kebutuhan sesaat. Mereka mendapatkan dukungan berkelanjutan—pendidikan, modal usaha, beasiswa, kesehatan, hingga keterampilan kerja. Penerima merasa dihargai dan tidak menjadi objek belas kasihan, tetapi partner dalam membangun masa depan.
Contoh Konkret Program BAZNAS
BAZNAS mengelola banyak program yang termasuk kategori amal jariyah:
Beasiswa pendidikan bagi anak miskin. Setiap lulusan yang berhasil menjadi profesional adalah mata rantai pahala pemberi.
Program pemberdayaan ekonomi. Modal usaha, pelatihan, hingga alat produksi yang membuat penerima mandiri.
Layanan kesehatan dan rumah layak huni. Membantu kaum dhuafa memperoleh akses hidup yang lebih layak.
Program-program ini menjadikan sedekah bukan sekadar konsumtif, tetapi rutin dan produktif.
Cara Bersedekah atau Berzakat ke BAZNAS
Umat Islam dapat menunaikan zakat mal (2,5%), zakat fitrah, sedekah, infak, atau wakaf melalui banyak kanal: kantor BAZNAS, transfer bank resmi, website, dan aplikasi digital. Semua dana tercatat, dilaporkan, dan diarahkan ke mustahik yang berhak sesuai syariat.
Kesimpulan
Amal jariyah adalah jalan mengubah hidup: pemberi mendapat pahala kekal, penerima mendapatkan kesempatan baru. BAZNAS hadir sebagai jembatan aman, profesional, dan berdampak. Bersedekah hari ini bukan hanya memberi sedikit harta—tetapi membangun masa depan banyak orang.
ARTIKEL26/11/2025 | indri irmayanti
Kenapa Banyak Orang Belum Jadi Muzakki Padahal Sudah Mampu?
Zakat adalah salah satu dari lima rukun Islam yang memiliki kedudukan sangat penting. Ia adalah kewajiban individu (fardhu ‘ain) yang harus ditunaikan oleh setiap muslim ketika hartanya telah mencapai nisab dan haul. Namun, dalam kenyataan sosial, banyak orang yang sebenarnya telah mampu tetapi belum menjalankan kewajiban ini secara rutin. Fenomena ini muncul dari perpaduan hambatan pengetahuan, spiritual, dan sosial.
1. Kurangnya Pemahaman tentang Fikih Zakat
Salah satu hambatan terbesar adalah minimnya pemahaman mengenai hukum zakat. Banyak orang beranggapan bahwa zakat hanya diwajibkan kepada orang yang sangat kaya, padahal syarat sah zakat cukup jelas: harta mencapai nisab dan dimiliki selama haul (1 tahun).
Imam Nawawi dalam Al-Majm?’ berkata:
“Zakat wajib bagi setiap muslim yang memiliki harta mencapai nisab dan sempurna haulnya.”
Hal ini diperkuat firman Allah SWT: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka…” (QS. At-Taubah: 103).
Karena kurangnya literasi fikih, banyak orang tidak menyadari bahwa tabungan, emas, penghasilan, atau usaha mereka sebenarnya telah memenuhi syarat wajib zakat.
2. Menganggap Zakat sebagai Sedekah Biasa
Sebagian orang menyamakan zakat dengan sedekah. Padahal, zakat memiliki hukum wajib, sementara sedekah bersifat sunnah. Imam Ibn Qudamah dalam Al-Mughni menyatakan:
“Zakat adalah ibadah wajib, dan meninggalkannya termasuk dosa besar.”
Nabi SAW pun menegaskan ancaman berat bagi yang tidak menunaikan zakat. Dalam hadis riwayat Muslim disebutkan bahwa orang yang tidak mengeluarkan zakat akan disiksa dengan hartanya pada hari kiamat.
Kesalahpahaman ini menyebabkan sebagian orang merasa cukup dengan sedekah spontan, padahal zakat tidak dapat digantikan oleh amalan lain.
3. Faktor Psikologis: Rasa Takut Berkurang Harta
Kecintaan manusia pada harta sering menjadi penghalang terbesar. Allah SWT mengingatkan:
{???????????? ???????? ?????? ??????} “Kalian mencintai harta dengan kecintaan berlebihan.” (QS. Al-Fajr: 20)
Bahkan padahal Rasulullah SAW bersabda:
“Harta tidak akan berkurang karena sedekah.” (HR. Muslim)
Namun rasa takut miskin dan pola hidup konsumtif membuat seseorang merasa hartanya “belum cukup”, meskipun sebenarnya sudah melampaui nisab.
4. Ketidakpercayaan kepada Pengelola Zakat
Sebagian orang ragu apakah zakat mereka benar-benar sampai kepada mustahik. Keraguan ini membuat sebagian orang menunda atau bahkan tidak menunaikan zakat sama sekali. Padahal, sejak masa Rasulullah SAW, zakat dikelola secara terstruktur oleh para amil. Hal ini ditegaskan Allah SWT dalam daftar penerima zakat (QS. At-Taubah: 60), termasuk kelompok amil zakat.
5. Rendahnya Kesadaran Sosial dan Lingkungan yang Tidak Mendukung
Zakat bukan hanya ibadah individual, tetapi juga ibadah sosial. Kurangnya rasa tanggung jawab terhadap sesama menjadi salah satu penyebab enggannya seseorang menunaikan zakat. Umar bin Khattab ra. menegaskan:
“Tidak ada hak pada harta kecuali zakat, kecuali seseorang ingin menambahkannya (dengan sedekah).”
Selain itu, lingkungan yang tidak mendukung praktik ibadah juga melemahkan komitmen seseorang terhadap kewajiban zakat.
Kesimpulan
Banyaknya orang yang sudah mampu namun belum menjadi muzakki bukan disebabkan oleh kurangnya harta, tetapi karena minimnya pemahaman fikih zakat, kuatnya sifat cinta harta, pengaruh gaya hidup konsumtif, serta lingkungan sosial yang kurang mendorong kepatuhan syariat. Dengan memahami kembali tujuan zakat sebagai penyuci harta dan jiwa, setiap muslim yang telah memenuhi syarat hendaknya menjadikannya sebagai kewajiban prioritas. Menunaikan zakat adalah bukti ketaatan dan bentuk syukur kepada Allah SWT atas nikmat rezeki yang diberikan.
ARTIKEL26/11/2025 | Yessi Ade Lia Putri
Yuk Jadi Munfiq: Infaqmu Mungkin Kecil, Tapi Manfaatnya Besar
Di tengah kesibukan kehidupan modern, banyak dari kita terlena dengan pekerjaan, pendidikan, keluarga, dan ambisi pribadi. Namun, di balik hiruk-pikuk itu, ada amalan sederhana yang sering terlupakan—infaq. Menjadi munfiq, yaitu orang yang gemar berinfak, bukan hanya ibadah ringan, tetapi juga membawa manfaat besar, baik bagi penerima maupun diri sendiri.
Banyak orang berpikir infaq harus besar agar berarti. Paradigma ini membuat banyak yang merasa “belum mampu” atau “belum cukup kaya.” Padahal, dalam Islam, nilai amal tidak ditentukan dari nominal, melainkan dari keikhlasan niat dan kemauan berbagi, meski sedikit. Dengan begitu, siapa pun bisa menjadi pribadi yang bermanfaat.
Hakikat Infak dalam Islam
Secara bahasa, infak berasal dari kata anfaqa yang berarti membelanjakan harta. Dalam syariat, infak adalah mengeluarkan sebagian harta di jalan kebaikan, baik wajib maupun sunnah. Inti infak adalah keyakinan bahwa rezeki yang kita miliki adalah titipan Allah, dan dengan mengeluarkannya, rezeki itu tidak berkurang, bahkan akan diberkahi.
Allah berfirman:
"Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan (infakkan), maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya." (QS. Saba: 39)
Ayat ini menjamin bahwa harta yang kita keluarkan akan diganti oleh Allah, baik berupa harta dunia maupun pahala di akhirat.
Infak Kecil, Pahala Besar
Infak sekecil apa pun memiliki dampak luar biasa. Beberapa dalil menegaskan hal ini:
1. Pelipatgandaan hingga 700 kali Allah berfirman:
"Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki." (QS. Al-Baqarah: 261)
Para ulama menekankan bahwa ini menunjukkan betapa kecilnya amal yang ikhlas dapat tumbuh menjadi pahala luar biasa.
2. Infak sekecil separuh biji kurma Rasulullah SAW bersabda:
"Jauhkan dirimu dari api neraka walau hanya dengan (infak) separuh biji kurma." (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa infak sekecil apa pun, asal ikhlas, bisa menjadi penyelamat di akhirat.
3. Amalan yang paling dicintai Allah Nabi SAW bersabda:
"Amalan yang paling dicintai Allah adalah yang kontinu meski sedikit." (HR. Bukhari dan Muslim)
Infak kecil yang rutin lebih bernilai daripada infak besar yang hanya sesekali.
Manfaat Menjadi Munfiq
1. Menyucikan harta dan menghapus dosa Infak membersihkan harta dari hak orang lain dan membersihkan jiwa dari sifat kikir. Rasulullah SAW bersabda:
"Sedekah itu dapat menghapus dosa sebagaimana air memadamkan api." (HR. At-Tirmidzi)
2. Amal jariyah Infak yang disalurkan untuk kepentingan umum—sumur, masjid, atau pendidikan—akan menjadi pahala yang terus mengalir meski kita telah tiada.
3. Mendapat doa malaikat Setiap pagi, dua malaikat mendoakan orang yang gemar berinfak: keberkahan dan penggantian harta bagi mereka yang memberi, dan peringatan bagi yang enggan bersedekah.
4. Menumbuhkan empati dan mengatasi kesenjangan sosial Rutin berinfak melatih kepedulian, melembutkan hati, dan membantu meringankan beban orang lain.
Keikhlasan Lebih Utama dari Nominal
Para ulama menegaskan bahwa infak terbaik adalah yang ikhlas, tersembunyi, dan sesuai kemampuan. Imam Fudhail bin Iyadh berkata:
"Amal yang diterima adalah yang benar dan ikhlas."
Dengan demikian, infak kecil yang ikhlas jauh lebih berat di sisi Allah daripada jumlah besar yang dibarengi riya’.
Langkah Nyata Menjadi Munfiq
Mulai dari nominal kecil: sisihkan sebagian penghasilan atau uang jajan, gunakan kotak infak, atau bantu orang sekitar. Infak tidak selalu berupa uang; bisa makanan, pakaian, tenaga, atau ilmu bermanfaat. Yang penting adalah konsistensi dan niat ikhlas.
Kesimpulan
Menjadi munfiq bukan untuk orang kaya, tetapi untuk setiap jiwa yang beriman. Nilai infak terletak pada keikhlasan niat dan konsistensi. Infak kecil yang rutin adalah investasi pahala, pembersih hati, dan pembuka rezeki dunia-akhirat.
Mari mulai hari ini: sekecil apa pun infak kita, ia akan memberikan manfaat besar bagi diri sendiri dan orang lain. Memberi adalah kebaikan yang tidak pernah rugi, dan setiap langkah kecil menuju infak adalah langkah besar menuju keberkahan hidup
ARTIKEL25/11/2025 | Yessi Ade Lia Putri

Info Rekening Zakat
Mari tunaikan zakat Anda dengan mentransfer ke rekening zakat.
BAZNAS
Info Rekening Zakat
