WhatsApp Icon
Menghidupkan Kembali Empati: Tantangan Akhlak di Era Modern dalam Pandangan Islam

Perkembangan zaman modern membawa berbagai kemudahan dalam kehidupan manusia. Kemajuan teknologi, media sosial, dan globalisasi telah mempercepat arus informasi serta memperluas interaksi antarindividu. Namun, di balik manfaat tersebut, muncul tantangan serius dalam aspek akhlak, salah satunya adalah melemahnya empati. Sikap individualistis, minim kepedulian terhadap penderitaan orang lain, serta mudahnya melontarkan ujaran kebencian menjadi fenomena yang semakin sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam Islam, empati bukan sekadar nilai sosial, melainkan bagian dari akhlak mulia (akhlaq al-karimah) yang mencerminkan kualitas iman seseorang. Seorang Muslim tidak hanya dituntut untuk taat dalam ibadah ritual, tetapi juga memiliki kepedulian dan kepekaan sosial terhadap sesama manusia.

Konsep Empati dalam Islam

Empati dalam Islam berkaitan erat dengan konsep rahmah (kasih sayang), ta’awun (tolong-menolong), dan ukhuwah (persaudaraan). Seorang Muslim dianjurkan untuk mampu merasakan kesulitan orang lain dan terdorong untuk membantu sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Empati tidak berhenti pada rasa iba, tetapi harus diwujudkan dalam sikap dan tindakan nyata yang membawa manfaat.

Dalil Al-Qur’an dan Hadits

Al-Qur’an menegaskan bahwa Islam adalah agama yang dibangun di atas kasih sayang. Allah SWT berfirman:

“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad), melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam.”
(QS. Al-Anbiya’: 107)

Ayat ini menunjukkan bahwa teladan Rasulullah ? adalah rahmat dan kepedulian universal. Allah juga memerintahkan umat manusia untuk saling menolong dalam kebaikan:

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan takwa.”
(QS. Al-Ma’idah: 2)

Rasulullah ? pun menegaskan pentingnya empati melalui sabdanya:

“Tidak beriman salah seorang di antara kalian hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menunjukkan bahwa empati merupakan indikator kesempurnaan iman.

Pandangan Ulama

Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menjelaskan bahwa hati yang lembut dan peduli terhadap sesama merupakan tanda kedekatan seorang hamba dengan Allah. Kerasnya hati dan ketidakpedulian sosial, menurut beliau, adalah penyakit rohani yang harus diobati.

Ibn Qayyim Al-Jauziyyah menegaskan bahwa kasih sayang adalah inti syariat Islam. Sementara Imam An-Nawawi menekankan bahwa mencintai kebaikan bagi orang lain merupakan prinsip dasar akhlak yang harus diwujudkan dalam kehidupan nyata.

Tantangan dan Aksi Nyata

Empati di era modern menghadapi tantangan berupa individualisme, kesibukan hidup, serta pengaruh negatif media sosial. Oleh karena itu, empati perlu dihidupkan kembali melalui tindakan sederhana seperti menjaga lisan dan tulisan, membantu sesama, memperkuat silaturahmi, serta aktif dalam kegiatan sosial dan keagamaan.

Kesimpulan

Empati adalah fondasi penting dalam akhlak Islam yang berlandaskan kasih sayang dan kepedulian sosial. Al-Qur’an, hadits, dan pandangan para ulama telah memberikan panduan jelas bahwa iman sejati harus tercermin dalam sikap peduli terhadap sesama. Di tengah tantangan era modern, setiap Muslim memiliki tanggung jawab untuk menghidupkan kembali empati melalui amal nyata.

 

17/12/2025 | Kontributor: Yessi Ade Lia Putri
UMKM Naik Kelas: Strategi Bisnis Halal dan Berkah Menurut Prinsip Ekonomi Islam

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) memiliki peran penting dalam menggerakkan perekonomian masyarakat. Selain menjadi sumber penghidupan bagi banyak keluarga, UMKM juga berkontribusi besar dalam menciptakan lapangan kerja dan memperkuat ekonomi umat. Namun, tantangan UMKM saat ini bukan hanya bertahan, melainkan mampu naik kelas menjadi usaha yang profesional, berdaya saing, dan berkelanjutan.

Dalam perspektif Islam, kegiatan bisnis tidak semata-mata berorientasi pada keuntungan materi. Islam mengajarkan bahwa usaha harus dijalankan secara halal dan penuh keberkahan agar membawa kebaikan bagi pelaku usaha dan masyarakat.

 

Konsep Bisnis Halal dan Berkah dalam Islam

Bisnis halal dalam Islam mencakup seluruh proses usaha, mulai dari sumber modal, bahan baku, proses produksi, hingga distribusi. Usaha yang terbebas dari unsur riba, penipuan, dan ketidakjelasan akan menghadirkan ketenangan batin serta kepercayaan konsumen.

Allah SWT berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah dari rezeki yang baik yang telah Kami berikan kepadamu.”
(QS. Al-Baqarah: 172)

Ayat ini menegaskan bahwa rezeki yang halal dan baik menjadi fondasi utama dalam aktivitas ekonomi seorang Muslim.

 

Landasan Al-Qur’an dan Hadits dalam Aktivitas Usaha

Islam memberikan panduan tegas terkait etika bisnis. Salah satu prinsip utamanya adalah larangan riba serta keharusan berlaku jujur dalam transaksi. Rasulullah ? bersabda:

“Pedagang yang jujur dan amanah akan bersama para nabi, orang-orang shiddiq, dan para syuhada.”
(HR. At-Tirmidzi)

Hadits ini menunjukkan bahwa kejujuran dalam bisnis memiliki kedudukan mulia di sisi Allah.

 

Pandangan Ulama tentang Etika Bisnis

Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menjelaskan bahwa mencari nafkah dengan cara halal merupakan bagian dari ibadah. Ibn Qayyim al-Jawziyyah menegaskan bahwa muamalah harus berlandaskan keadilan dan kemaslahatan. Dengan demikian, keuntungan dalam Islam bukanlah tujuan utama, melainkan sarana untuk menghadirkan manfaat yang lebih luas.

 

Strategi UMKM Naik Kelas Berbasis Ekonomi Islam

Agar UMKM dapat berkembang secara berkelanjutan, beberapa strategi berikut dapat diterapkan:

1.     Menjamin kehalalan produk dan proses usaha

2.     Mengelola keuangan secara syariah dan transparan

3.     Menjunjung kejujuran serta keterbukaan informasi

4.     Meningkatkan kualitas produk dan profesionalisme kerja

5.     Menguatkan tanggung jawab sosial kepada masyarakat

Strategi ini membantu UMKM membangun kepercayaan pasar sekaligus menjaga nilai-nilai syariah.

 

Niat dan Etos Kerja Islami dalam Dunia Usaha

Keberhasilan usaha tidak hanya ditentukan oleh strategi, tetapi juga oleh niat pelaku usaha. Rasulullah ? bersabda:
“Sesungguhnya setiap amal tergantung pada niatnya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Niat yang lurus akan melahirkan etos kerja islami seperti amanah, disiplin, kerja keras, dan istiqamah, sehingga usaha tidak hanya tumbuh secara ekonomi, tetapi juga bernilai ibadah.

 

Kesimpulan

UMKM yang ingin naik kelas perlu memadukan profesionalisme bisnis dengan nilai-nilai ekonomi Islam. Kehalalan usaha, kejujuran, kualitas kerja, serta kepedulian sosial merupakan kunci keberhasilan yang berkelanjutan. Ketika bisnis dijalankan dengan niat ibadah dan etos kerja islami, usaha tersebut tidak hanya menghasilkan keuntungan materi, tetapi juga mendatangkan ketenangan dan keberkahan.

 

17/12/2025 | Kontributor: Yessi Ade Lia Putri
Ketika Tubuh Berbicara: Pentingnya Menjaga Kesehatan sebagai Amanah dalam Islam

Dalam kesibukan hidup modern, manusia sering kali baru menyadari pentingnya kesehatan ketika tubuh mulai “berbicara”. Rasa lelah yang berkepanjangan, sakit yang datang berulang, atau emosi yang tidak stabil sering dianggap sepele hingga akhirnya mengganggu ibadah, pekerjaan, dan hubungan sosial. Islam memandang tubuh bukan sekadar alat untuk menjalani kehidupan, tetapi sebagai amanah dari Allah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban.

Tubuh sebagai Amanah dari Allah

Islam menegaskan bahwa segala yang dimiliki manusia adalah titipan Allah, termasuk tubuh. Allah berfirman:

“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban.”
(QS. Al-Isra: 36)

Ayat ini menegaskan bahwa tubuh bukan milik mutlak manusia. Para ulama menjelaskan bahwa menjaga kesehatan termasuk bagian dari menjaga amanah tersebut. Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menyebut tubuh sebagai “kendaraan” bagi ruh. Jika kendaraan itu rusak karena kelalaian, maka ibadah dan ketaatan pun akan terhambat.

Kesehatan sebagai Nikmat yang Sering Diabaikan

Rasulullah ? mengingatkan umatnya agar tidak meremehkan nikmat sehat. Beliau bersabda:

“Ada dua nikmat yang banyak manusia tertipu di dalamnya: kesehatan dan waktu luang.”
(HR. Bukhari)

Hadits ini menunjukkan bahwa kesehatan sering baru disadari nilainya ketika sudah hilang. Islam mendorong umatnya untuk bersyukur atas nikmat sehat, dan salah satu bentuk syukur tersebut adalah dengan menjaganya secara sadar dan bertanggung jawab.

Menjaga Kesehatan sebagai Bagian dari Ibadah

Dalam Islam, ibadah tidak hanya terbatas pada shalat dan puasa. Setiap aktivitas yang diniatkan untuk menaati Allah bernilai ibadah, termasuk menjaga kesehatan. Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah menjelaskan bahwa menjaga tubuh agar tetap sehat merupakan bagian dari tujuan syariat, khususnya dalam menjaga jiwa (hifz an-nafs).

Rasulullah ? juga bersabda:

“Sesungguhnya tubuhmu memiliki hak atasmu.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menegaskan pentingnya keseimbangan antara ibadah dan pemenuhan hak tubuh, seperti istirahat, makan yang cukup, dan tidak memaksakan diri.

Panduan Islam dalam Menjaga Kesehatan

Islam memberikan panduan praktis yang relevan sepanjang zaman. Allah berfirman:

“Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan.”
(QS. Al-A’raf: 31)

Prinsip ini menegaskan pentingnya pola makan seimbang. Selain itu, kebersihan menjadi fondasi kesehatan, sebagaimana sabda Rasulullah ?: “Kebersihan adalah sebagian dari iman.” Islam juga mendorong aktivitas fisik dan menjaga kesehatan mental melalui dzikir, doa, dan tawakal, karena ketenangan hati berpengaruh besar terhadap kondisi tubuh.

Ketika Tubuh Berbicara: Dengarkan dan Bertindak

Lelah berkepanjangan, sakit berulang, dan stres adalah sinyal yang tidak boleh diabaikan. Allah berfirman:

“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.”
(QS. Al-Baqarah: 195)

Mengabaikan kesehatan berarti mengabaikan amanah. Seorang Muslim diajarkan untuk peka terhadap kondisi tubuh, beristirahat saat lelah, dan berikhtiar ketika sakit.

Kesimpulan

Menjaga kesehatan dalam Islam bukanlah urusan sampingan, melainkan bagian dari amanah dan bentuk nyata ketaatan kepada Allah. Tubuh yang sehat memungkinkan seseorang beribadah dengan lebih khusyuk, bekerja dengan optimal, serta memberi manfaat bagi orang lain. Al-Qur’an, hadits, dan pandangan para ulama menegaskan bahwa merawat jasmani dan rohani adalah wujud syukur atas nikmat Allah. Ketika tubuh mulai “berbicara”, Islam mengajarkan kita untuk mendengarkan, memperbaiki gaya hidup, dan menjaga diri agar tetap berada dalam jalan kebaikan yang diridhai-Nya.

 

16/12/2025 | Kontributor: Yessi Ade Lia Putri
Bangkit Tanpa Menunggu Sempurna: Kekuatan Tawakal dalam Mengubah Hidup

Dalam perjalanan hidup, banyak orang enggan melangkah karena takut salah, gagal, atau merasa belum cukup baik. Rasa ragu ini sering membuat seseorang menunda keputusan dan menunggu kondisi ideal yang tak kunjung datang. Padahal dalam Islam, Allah tidak pernah menuntut hamba-Nya untuk menjadi sempurna sebelum memulai. Yang Allah minta adalah usaha terbaik, lalu bersandar sepenuhnya kepada-Nya. Sikap inilah yang disebut tawakal.

Makna Tawakal dalam Islam

Secara bahasa, tawakal berarti bersandar sepenuhnya. Sedangkan menurut istilah, tawakal adalah mengambil sebab dengan maksimal lalu menyerahkan hasil sepenuhnya kepada Allah. Ibnul Qayyim menyebut tawakal sebagai separuh agama, sementara separuh lainnya adalah kembali kepada Allah. Imam Ahmad menegaskan bahwa tawakal adalah amal hati, bukan sekadar ucapan. Ini menunjukkan bahwa tawakal bukan pasrah tanpa usaha, melainkan keyakinan yang disertai ikhtiar.

Dalil Al-Qur’an tentang Kekuatan Tawakal

Al-Qur’an menempatkan tawakal sebagai sumber kekuatan hidup. Allah mencintai orang-orang yang bertawakal dan menjanjikan jalan keluar serta rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka bagi mereka yang bertakwa dan berserah diri kepada-Nya. Tawakal bukan hanya menenangkan hati, tetapi juga membuka pertolongan Allah dalam kehidupan nyata.

Hadits Nabi tentang Tawakal dan Usaha

Rasulullah SAW menjelaskan tawakal melalui perumpamaan burung yang pergi pagi hari dalam keadaan lapar dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang. Burung tidak menunggu rezeki datang, tetapi bergerak dan berusaha. Hadits ini menegaskan bahwa tawakal harus selalu berjalan seiring dengan usaha.

Pandangan Ulama tentang Tawakal

Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa usaha adalah bentuk ketaatan, sedangkan tawakal adalah penyerahan hati. Ibnu Taymiyyah menyatakan bahwa orang yang bertawakal tidak takut miskin dan tidak takut gagal, karena keyakinannya hanya tertuju kepada Allah. Tawakal memberi keberanian untuk memulai meski diri belum sempurna.

Mengapa Kita Harus Bangkit Tanpa Menunggu Sempurna

Banyak orang terjebak pada keinginan untuk menunggu kesiapan yang sempurna. Islam menolak cara berpikir ini. Tidak perlu menunggu mental kuat, kemampuan tinggi, atau keadaan ideal. Allah hanya meminta manusia untuk mulai melangkah, mengambil sebab terbaik, dan menyerahkan hasil kepada-Nya.

Kesimpulan

Tawakal adalah kekuatan yang membuat seseorang berani bangkit tanpa harus menunggu sempurna. Dengan tawakal, hati menjadi lebih tenang dan langkah terasa lebih ringan. Tawakal mengajarkan bahwa tugas manusia adalah berusaha sebaik mungkin, sementara hasil sepenuhnya berada dalam kuasa Allah. Sebagai wujud nyata pengamalan tawakal, kita diajak untuk memperbanyak amal kebaikan, salah satunya melalui sedekah. Memberi dengan ikhlas adalah bentuk keyakinan bahwa Allah tidak akan mengurangi rezeki, melainkan melipatgandakannya. Semoga dengan bertawakal dan membiasakan diri bersedekah, hidup kita dipenuhi keberkahan, dilapangkan rezeki, dan dikuatkan hati untuk terus bangkit.

 

15/12/2025 | Kontributor: Yessi Ade Lia Putri
Belajar Bukan Sekadar Hafalan: Menemukan Makna Ilmu Menurut Perspektif Islam

Belajar dalam Islam bukan hanya soal mengumpulkan informasi atau menghafal kalimat tanpa makna. Ilmu dalam pandangan Islam adalah cahaya yang membimbing hati, menuntun akhlak, dan mengarahkan seseorang menuju kedekatan dengan Allah. Karena itu, proses belajar yang ideal menurut Islam bukanlah sekadar memenuhi pikiran, melainkan proses yang menghidupkan hati dan menumbuhkan amal saleh.

1. Kedudukan Ilmu dalam Islam

Ilmu memiliki kedudukan yang sangat mulia. Allah berfirman:

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan yang diberi ilmu beberapa derajat.”
(QS. Al-Muj?dilah: 11)

Ayat ini menunjukkan bahwa ilmu bukan hanya dimiliki, tetapi diamalkan. Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menegaskan bahwa ilmu yang tidak mendorong seseorang untuk melakukan amal saleh adalah ilmu yang tidak bermanfaat.

Hal ini sejalan dengan firman Allah:

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah hanyalah ulama.”
(QS. F?thir: 28)

Maknanya, ilmu sejati harus menumbuhkan rasa takut, tunduk, dan cinta kepada Allah.

2. Belajar Tidak Hanya Menghafal

Walaupun menghafal memiliki nilai dalam Islam, terutama terkait Al-Qur’an, para ulama sejak dahulu menekankan bahwa pemahaman lebih utama daripada hafalan.

Rasulullah ? bersabda:

“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan, maka Allah jadikan ia paham agama.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Nabi tidak mengatakan menghafal agama, melainkan memahami agama.

Imam Malik berkata:

“Ilmu itu bukan banyaknya riwayat, namun cahaya yang Allah letakkan dalam hati.”

Demikian pula Ibnul Qayyim menegaskan bahwa ilmu yang tidak menghasilkan amal ibarat pohon tanpa buah—terlihat besar, tetapi tidak memberi manfaat.

3. Ilmu sebagai Renungan dan Amalan

Al-Qur’an berkali-kali mengajak manusia untuk merenungkan dan memahami, bukan hanya membaca.

“Maka apakah mereka tidak merenungkan Al-Qur’an?”
(QS. An-Nis?’: 82)

Belajar dalam Islam harus membuat seseorang lebih peka terhadap hikmah kehidupan, lebih bijak, dan lebih berakhlak.

Imam Nawawi menambahkan bahwa menuntut ilmu adalah ibadah terbesar setelah ibadah wajib, menunjukkan bahwa belajar adalah amal besar jika diniatkan karena Allah.

4. Aksi Nyata Menjadikan Belajar Bermakna

Agar belajar tidak berhenti pada hafalan, berikut langkah nyata yang dapat dilakukan:

1.     Meluruskan niat — belajar untuk mencari ridha Allah, bukan popularitas.

2.     Fokus pada pemahaman — gunakan catatan, diskusi, atau peta konsep.

3.     Menghubungkan ilmu dengan kehidupan — renungkan bagaimana ilmu dapat memperbaiki diri.

4.     Mengamalkan ilmu sedikit demi sedikit — ilmu tanpa praktik hanyalah teori kosong.

5.     Mengajarkan kepada orang lain — karena mengajar memperkuat pemahaman.

6.     Menjaga adab penuntut ilmu — rendah hati, menghormati guru, dan menghindari perdebatan sia-sia.

7.     Evaluasi harian — tulis apa yang dipelajari dan bagaimana akan diamalkan.

 

Kesimpulan

Belajar dalam Islam bukan tentang seberapa banyak hafalan yang kita miliki, tetapi seberapa dalam ilmu itu mengubah hati dan kehidupan kita. Al-Qur’an dan hadits, serta pandangan ulama besar, sepakat bahwa ilmu harus melahirkan pemahaman, akhlak, dan amal.

Ilmu yang tidak dipahami hanya menjadi beban, tetapi ilmu yang diamalkan akan menjadi cahaya yang membimbing hidup hingga akhirat.

Semoga kita menjadi penuntut ilmu yang bukan hanya cerdas secara akademik, tetapi juga bijaksana, berakhlak mulia, dan dekat dengan Allah.

 

12/12/2025 | Kontributor: Yessi Ade Lia Putri

Artikel Terbaru

5 Fakta Penting Curhat di Sosmed: Boleh atau Nggak Menurut Islam?
5 Fakta Penting Curhat di Sosmed: Boleh atau Nggak Menurut Islam?
Di era digital, curhat di media sosial sudah menjadi kebiasaan banyak orang ketika sedang sedih, marah, atau ingin didengar. Namun sebagai Muslim, kita perlu memahami apakah curhat seperti ini sesuai dengan adab syariat atau justru menimbulkan mudarat. Islam tidak melarang seseorang mencurahkan isi hati, tetapi memberi batasan agar tidak jatuh pada keluhan berlebihan, membuka aib, atau memicu fitnah. Curhat dan Sikap Hati Menurut Islam Allah mengingatkan dalam QS. Al-A’raf: 31 bahwa Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan. Termasuk dalam hal ini adalah keluhan yang ditumpahkan tanpa kontrol. Ibn Qayyim menjelaskan bahwa keluhan yang menyiratkan protes terhadap takdir dapat melemahkan hati dan menggugurkan nilai kesabaran. Nabi SAW pun menekankan pentingnya menjaga kehormatan diri. Dalam hadis riwayat Muslim, beliau bersabda bahwa barang siapa menutup aib saudaranya, Allah akan menutupi aibnya. Ini menjadi peringatan kuat agar tidak mengumbar aib diri maupun orang lain di ruang publik seperti media sosial. Curhat yang Diperbolehkan Menurut Para Ulama Para ulama membagi curhat menjadi dua. Pertama, curhat yang dibolehkan, yaitu: Curhat kepada orang tepercaya untuk mencari solusi, seperti ustaz, konselor, atau teman yang amanah. Mengungkapkan perasaan seperlunya tanpa mencela takdir Allah. Menyampaikan masalah secara pribadi, bukan di ruang publik. Ibn Rajab Al-Hanbali menjelaskan bahwa menyebutkan kondisi diri untuk meminta doa atau nasihat adalah sesuatu yang dibolehkan, selama tidak mengandung unsur keluhan terhadap ketentuan Allah. Curhat seperti ini dianggap sebagai ikhtiar dan bentuk mencari bimbingan, bukan protes terhadap masalah hidup. Curhat yang Dilarang atau Dimakruhkan Jenis kedua adalah curhat yang tidak dibolehkan, yaitu: Mengumbar aib diri atau orang lain secara terbuka di media sosial. Mengeluh berlebihan hingga menunjukkan ketidakridhaan terhadap takdir. Curhat untuk mencari perhatian atau simpati berlebihan (riya digital). Membahas masalah pribadi di ruang publik sehingga memicu fitnah. Ayat QS. Al-Hujurat: 6 mengingatkan kita untuk berhati-hati terhadap berita dan tuduhan yang bisa menimbulkan kerusakan — suatu hal yang sangat mudah terjadi ketika seseorang curhat tanpa filter di internet. Penutup Curhat di sosmed tidak otomatis haram, tetapi harus dilakukan dengan adab. Gunakan media sosial dengan bijak: pilih orang yang tepat, jaga hati, dan hindari membuka aib. Dengan begitu, curhat menjadi sarana kebaikan, bukan sumber masalah baru.
ARTIKEL20/11/2025 | indri irmayanti
Cancel Culture di Era Digital: Menegakkan Keadilan atau Terjerumus Ghibah dan Fitnah
Cancel Culture di Era Digital: Menegakkan Keadilan atau Terjerumus Ghibah dan Fitnah
Fenomena cancel culture di era digital memicu perdebatan besar. Bagi sebagian orang, budaya “membatalkan” seseorang karena perilaku atau ucapan kontroversial dianggap sebagai bentuk penegakan keadilan sosial. Namun bagi sebagian lainnya, hal tersebut bisa berubah menjadi ghibah, fitnah, dan penghakiman massal tanpa adab. Dari perspektif Islam, isu ini perlu dipahami dengan hati-hati agar tidak melanggar batas-batas syariat. Pendahuluan Di era media sosial, informasi viral dapat menyebar dalam hitungan detik. Cancel culture muncul sebagai mekanisme tekanan sosial terhadap seseorang yang dianggap melakukan kesalahan. Meski terkadang membawa efek positif berupa kesadaran publik, praktik ini juga berpotensi menimbulkan kerusakan besar seperti pembunuhan karakter, fitnah, atau penyebaran aib. Islam mengajarkan kehati-hatian dalam menilai dan menyebarkan informasi. Menegur kesalahan boleh dilakukan, tetapi dengan cara yang benar, bertujuan maslahat, dan tidak mempermalukan seseorang tanpa alasan syar’i. Definisi Cancel Culture dan Tinjauan Islam Cancel culture adalah tindakan menolak, mengecam, atau memboikot seseorang akibat tindakan atau ucapan yang dianggap salah. Contohnya ketika publik figur mendapat serangan massal setelah membuat pernyataan kontroversial. Dalam Islam, menyebarkan aib orang lain tanpa kebutuhan jelas termasuk ghibah dan fitnah, yang merupakan dosa besar. Namun mengoreksi kesalahan demi kemaslahatan umum termasuk bagian dari amar ma’ruf nahi munkar asalkan dilakukan dengan adab. Dalil Al-Qur’an dan Hadits 1. Larangan Ghibah dan Fitnah QS. Al-Hujurat:12: “Janganlah kamu menggunjing orang lain… Bertakwalah kepada Allah.” Nabi SAW bersabda: “Janganlah kalian saling membenci… dan jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Muslim) 2. Kewajiban Menegakkan Kebaikan QS. Ali-Imran:104: “Hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar.” · Pandangan Ulama · 1. Ibnu Qudamah (al-Mughni, Juz 6) Beliau menegaskan bahwa menegur kesalahan diperbolehkan jika tujuannya maslahat umum dan dilakukan dengan kelembutan, tidak menyebarkan aib, serta memastikan fakta benar. · 2. Syaikh Ibn Utsaimin (Fatwa Islamiyyah, 2/45-46) Menurut beliau, menyebarkan kesalahan orang di ruang publik bisa menjadi ghibah jika tidak bertujuan menegakkan kebaikan. Media sosial bisa memperbesar mudaratnya. · 3. Syaikh Bin Baz (Majmu’ Fatawa, 15/120) Beliau menekankan pentingnya klarifikasi sebelum menyebarkan informasi. Menegur boleh, tetapi jangan menjatuhkan atau mempermalukan. Pro dan Kontra Cancel Culture Pro: Mendorong pertanggungjawaban publik Kesalahan dapat dikoreksi, terutama bagi tokoh berpengaruh. Meningkatkan kesadaran sosial Masyarakat lebih peka terhadap perilaku yang melanggar etika. Mendorong perbaikan diri Dengan kritik yang tepat, pelaku bisa introspeksi. Kontra: Risiko ghibah dan fitnah Informasi yang belum jelas bisa menghancurkan reputasi seseorang. Hukuman sosial berlebihan Kesalahan kecil dapat dibesar-besarkan sehingga merugikan pelaku. Penghakiman sepihak Cancel culture sering dipengaruhi emosi, bukan fakta. Salah niat Jika niatnya balas dendam atau konten viral, maka menjadi dosa. Kesimpulan Cancel culture memiliki dua sisi: bisa menjadi alat menegakkan kebenaran, tetapi juga bisa menjadi sarana ghibah dan fitnah. Islam mengajarkan amar ma’ruf nahi munkar dengan adab, hikmah, dan niat yang lurus. Ulama menegaskan bahwa menegur kesalahan boleh, tetapi tidak dengan mempermalukan atau menyebarkan aib tanpa kebutuhan. Jika dilakukan dengan etika Islam, cancel culture dapat menjadi sarana perbaikan. Namun tanpa adab, ia dapat berubah menjadi bentuk kezaliman digital.
ARTIKEL19/11/2025 | indri irmayanti
Self-Reward, Syukur, atau Sekadar Nafsu Halus?
Self-Reward, Syukur, atau Sekadar Nafsu Halus?
Self-Reward, Syukur, atau Sekadar Nafsu Halus? Sudut Pandang Islam yang Jarang Dibahas Dalam beberapa tahun terakhir, istilah self-reward menjadi tren yang populer. Setelah bekerja keras, banyak orang merasa perlu memberi hadiah kepada diri sendiri: membeli kopi mahal, belanja barang yang diinginkan, atau pergi liburan singkat. Sebagian menganggapnya sebagai bentuk apresiasi diri. Namun muncul pertanyaan: apakah ini benar wujud syukur? Atau justru hanya nafsu halus yang dibungkus dengan istilah modern? Islam memiliki pandangan yang sangat seimbang mengenai kenikmatan dunia, rasa cukup, dan pengendalian hawa nafsu. Sayangnya, pembahasan tentang “menghadiahi diri” jarang dikaji dari sudut pandang tazkiyatun nafs (penyucian hati). Padahal, inilah yang menentukan apakah tindakan tersebut bernilai ibadah atau sebenarnya menjauhkan dari ketenangan. Apresiasi Diri dalam Kaca Mata Islam Secara prinsip, Islam tidak melarang seseorang menikmati hal-hal yang halal. Nabi Muhammad ? bersabda: “Sesungguhnya badanmu memiliki hak atasmu.” (HR. Bukhari) Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa manusia perlu menjaga keseimbangan antara ibadah, bekerja, beristirahat, dan memperhatikan kesehatan jiwa. Hiburan atau kenikmatan yang halal bisa menjadi cara seseorang menjaga stamina agar tetap mampu beribadah dengan baik. Allah berfirman: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah dan rezeki yang baik?” (QS. Al-A’raf: 32) Ayat ini menunjukkan bahwa menikmati sesuatu yang halal bukanlah masalah, selama tidak berlebihan. Ketika Apresiasi Diri Menjadi Nafsu Terselubung Hanya saja, masalah muncul ketika tindakan tersebut menjadi pembenaran untuk menuruti hawa nafsu. Ibnul Qayyim menegaskan: “Banyak manusia tertipu oleh hawa nafsunya, padahal ia mengira sedang berbuat baik.” (Madarij As-Salikin) Dalam praktiknya, seseorang bisa menganggap dirinya sedang “menghadiahi diri”, padahal sebenarnya: membeli sesuatu yang tidak dibutuhkan, memaksakan gaya hidup, menjadikan belanja sebagai pelarian stres, merasa selalu layak mendapat hadiah setelah pekerjaan kecil, atau bahkan menjadikan kebiasaan itu candu. Allah memperingatkan: “Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, sebab ia akan menyesatkanmu.” (QS. Shad: 26) Jika sebuah kenikmatan tidak lagi punya tujuan jelas, tidak berdasarkan kebutuhan, atau melebihi kemampuan, itu bukan syukur—melainkan israf (berlebihan). Syukur dalam Pandangan Ulama Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa syukur harus tercermin dalam hati, lisan, dan perbuatan. Menggunakan harta secara bijak termasuk bentuk syukur. Sebaliknya, pemborosan bukan bagian dari syukur, meski dilakukan dengan nama “apresiasi diri”. Self-reward tidak otomatis menjadi syukur. Ia hanya disebut syukur bila: tidak berlebihan, sesuai kemampuan, meningkatkan semangat ibadah, tidak memicu gaya hidup konsumtif, dan diniatkan karena Allah. Ciri Apresiasi Diri yang Sehat Menurut Islam Untuk mengetahui apakah tindakan tersebut sehat atau nafsu, para ulama memberi beberapa indikator: Niatnya: untuk menjaga kesehatan mental atau pelarian? Dampaknya: membuat lebih dekat kepada Allah atau lebih lalai? Kemampuannya: sesuai kondisi finansial atau memaksakan diri? Kontrolnya: bisa berhenti kapan saja atau sudah menjadi kebiasaan tidak sehat? Bentuk apresiasi diri yang sehat misalnya: makan makanan halal yang disukai, beristirahat setelah bekerja keras, jalan-jalan sederhana, atau membeli sesuatu yang menunjang produktivitas. Bahkan sebagian ulama memandang, memberi sedekah adalah bentuk apresiasi diri tertinggi karena menenangkan jiwa dan meningkatkan rasa syukur. Kesimpulan Islam tidak melarang seseorang menikmati hal-hal yang halal. Mengapresiasi diri dapat menjadi sarana menjaga keseimbangan jiwa dan meningkatkan rasa syukur. Namun, setiap bentuk kenikmatan harus ditempatkan pada porsinya. Jika dilakukan dengan niat yang benar, sesuai kemampuan, dan tidak berlebihan, maka ia dapat bernilai ibadah. Tetapi jika menjadi pelarian, memaksakan gaya hidup, dan menuruti hawa nafsu, maka ia justru membawa seseorang menjauh dari keberkahan. Keseimbangan adalah kunci. Nikmatilah hal-hal yang halal tanpa berlebihan, dan arahkan setiap rasa syukur untuk mendekat kepada Allah. Semoga Allah melapangkan hati kita, menjauhkan dari sifat berlebihan, serta memberikan keberkahan dalam setiap nikmat yang kita gunakan. Aamiin.
ARTIKEL19/11/2025 | Yessi Ade Lia Putri
Deepfake dan AI Voice Cloning: Inovasi Teknologi atau Jalan Baru Terjadinya Fitnah Menurut Islam?
Deepfake dan AI Voice Cloning: Inovasi Teknologi atau Jalan Baru Terjadinya Fitnah Menurut Islam?
Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI) melahirkan dua inovasi yang kini banyak diperbincangkan: deepfake, yaitu rekayasa video yang terlihat sangat nyata, dan AI voice cloning, yaitu peniruan suara seseorang dengan akurasi tinggi. Kedua teknologi ini memiliki manfaat besar, namun sekaligus membuka pintu bahaya baru—terutama terkait fitnah, hoaks, dan pelanggaran kehormatan. Manfaat dan Sisi Positif Meskipun kontroversial, teknologi deepfake dan voice cloning memiliki beberapa manfaat: Edukasi dan Pelestarian Sejarah Tokoh sejarah dapat dihadirkan kembali dalam bentuk visual yang lebih hidup untuk kepentingan pendidikan. Membantu Penyandang Difabel Voice cloning bisa mengembalikan suara asli seseorang yang kehilangan kemampuan berbicara akibat penyakit. Industri Kreatif Deepfake memudahkan proses editing film, menghidupkan karakter, atau memperbaiki adegan tanpa harus memerlukan aktor ulang. Dalam konteks ini, teknologi dapat menjadi inovasi yang bermanfaat selama digunakan untuk tujuan positif dan dengan izin pihak terkait. Bahaya dan Dampak Negatif Di sisi lain, penyalahgunaan deepfake dan voice cloning menimbulkan ancaman serius: Fitnah dan Hoaks Video dan rekaman suara palsu dapat dibuat dengan mudah untuk menjatuhkan nama baik seseorang. Penipuan Digital Voice cloning sudah sering digunakan dalam skema penipuan, seperti meniru suara keluarga untuk meminta uang. Kerusakan Reputasi Deepfake pornografi menjadi salah satu bentuk kezaliman paling berbahaya, terutama bagi perempuan. Karena inilah teknologi ini dipandang sebagai potensi fitnah baru yang sangat merusak. Pandangan Islam Dalam Islam, menjaga kehormatan ( hifz al-‘irdh ) adalah salah satu prinsip penting. Al-Qur’an memerintahkan umat Islam untuk selalu melakukan tabayyun sebelum mempercayai suatu berita (QS. Al-Hujurat: 6). Nabi SAW juga memperingatkan bahaya menyebarkan kebohongan, walaupun hanya sekadar meneruskan informasi tanpa memastikan kebenarannya. Para ulama kontemporer menilai: Penggunaan yang bermanfaat dan mendapat izin hukumnya mubah. Penggunaan untuk menipu, memfitnah, atau merugikan orang lain adalah haram, bahkan termasuk dosa besar karena mengandung unsur dusta dan pencemaran nama baik. Kesimpulan Deepfake dan AI voice cloning adalah teknologi netral yang bisa menjadi inovasi atau bencana, tergantung pada bagaimana ia digunakan. Islam menuntun agar teknologi dipakai secara amanah, tidak merugikan, serta tidak melanggar kehormatan manusia. Di era digital, kehati-hatian dan tabayyun menjadi kunci untuk mencegah fitnah yang semakin mudah menyebar melalui kecanggihan AI.
ARTIKEL19/11/2025 | indri irmayanti
Redenominasi Rupiah: Apakah Pengurangan Nol pada Mata Uang Mempengaruhi Perhitungan Zakat?
Redenominasi Rupiah: Apakah Pengurangan Nol pada Mata Uang Mempengaruhi Perhitungan Zakat?
Rencana pemerintah melakukan redenominasi rupiah—mengurangi beberapa digit nol pada mata uang—menimbulkan pertanyaan penting di masyarakat: apakah hal ini berpengaruh pada kewajiban zakat? Dalam fikih muamalah, zakat tidak dihitung dari besar kecilnya angka nominal, tetapi dari nilai riil harta. Karena itu, perubahan tampilan mata uang tidak otomatis mengubah kewajiban zakat. Dalil Al-Qur’an dan Hadis Al-Qur’an memerintahkan zakat dalam banyak ayat, seperti QS. Al-Baqarah:110 dan QS. At-Taubah:60. Hadis juga menegaskan zakat sebagai rukun Islam serta menetapkan nisab emas, yaitu 20 dinar (setara ±85 gram emas). Semua dalil menekankan nilai harta, bukan rupiah atau bentuk mata uang tertentu. Pandangan Ulama tentang Redenominasi 1. Ulama Klasik Ulama seperti Imam Nawawi, Imam Malik, dan Ibn Qudamah bersepakat bahwa zakat dihitung berdasarkan qimah (nilai), bukan angka. Ketika mata uang berubah kadar atau bentuknya, kewajiban zakat tetap mengikuti nilai emas. 2. Ulama Kontemporer Lembaga internasional seperti Majma’ Fiqh Islami dan para pakar seperti Syekh Wahbah Az-Zuhaili dan Mufti Taqi Usmani menegaskan bahwa redenominasi hanyalah perubahan teknis. Selama daya beli uang sama, perhitungan zakat tidak berubah. Nisab tetap mengacu pada emas 85 gram. 3. Ulama Indonesia BAZNAS dan DSN-MUI menilai bahwa redenominasi tidak memengaruhi zakat. Yang diperlukan hanyalah panduan konversi agar masyarakat tidak salah hitung. Pro dan Kontra Redenominasi terhadap Zakat A. Pro Nilai riil tetap sama. Rp10.000.000 menjadi Rp10.000 setelah redenominasi, tetapi nilainya identik. Nisab tetap berdasarkan emas. Standar zakat tidak berubah. Kaidah fikih konsisten. Hukum mengikuti nilai, bukan bentuk. Praktik negara lain. Turki dan Sudan tetap menggunakan nisab emas setelah redenominasi. Pembukuan lebih sederhana. Angka lebih pendek sehingga lebih mudah menghitung zakat. B. Kontra Miskonsepsi harta mengecil. Angka lebih kecil membuat sebagian orang mengira sudah tidak wajib zakat. Kesalahan konversi. Contoh: nisab Rp80.000.000 menjadi Rp80.000 rupiah baru dapat membingungkan. Transisi membingungkan. Pembukuan masjid, usaha, atau pribadi membutuhkan adaptasi. Potensi inflasi. Jika terjadi inflasi setelah redenominasi, harga emas berubah sehingga nisab ikut berubah. Kurang pedoman resmi. Tanpa panduan, masyarakat bisa salah memahami kewajiban zakatnya. Rekomendasi untuk Muzaki Tetap gunakan nisab emas 85 gram. Ikuti konversi resmi rupiah baru. Selalu cek harga emas saat haul tiba. Konsultasikan kepada amil zakat bila ragu. Catat harta sebelum dan setelah redenominasi untuk menghindari kesalahan. Kesimpulan Redenominasi rupiah tidak mengubah kewajiban zakat. Perintah zakat didasarkan pada nilai riil harta, bukan angka nominal mata uang. Ulama klasik dan kontemporer sepakat bahwa perubahan teknis seperti pengurangan nol tidak memengaruhi nisab maupun haul. Dengan pemahaman dan panduan yang jelas, umat Islam tetap dapat menunaikan zakat secara benar meskipun rupiah mengalami penyederhanaan angka.
ARTIKEL19/11/2025 | indri irmayanti
Stop Bullying! Tindakan Kecil, Dampak Besar Menurut Al-Qur’an
Stop Bullying! Tindakan Kecil, Dampak Besar Menurut Al-Qur’an
Bullying adalah tindakan menyakiti, merendahkan, atau menakut-nakuti seseorang, baik secara fisik, verbal, emosional, maupun melalui media digital. Dalam Islam, tindakan ini bukan hanya merusak hubungan sosial, tetapi juga termasuk perbuatan zalim yang dilarang tegas dalam Al-Qur’an dan Hadits. Bullying menunjukkan hilangnya empati dan akhlak mulia, dua hal yang sangat dijunjung tinggi dalam ajaran Islam. 1. Bullying dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadits Allah Ta’ala berfirman: “Dan janganlah sebagian kamu mengumpat sebagian yang lain.” (QS. Al-Hujurat: 12) Menurut tafsir Ibnu Katsir, ayat ini mencakup larangan mengejek, menghina, atau merendahkan sesama, karena hal itu dapat menimbulkan luka yang dalam pada hati seseorang dan merusak kehormatan manusia. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga bersabda: “Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya. Ia tidak boleh menzhaliminya dan tidak boleh meremehkannya.” (HR. Muslim) Imam Nawawi menjelaskan bahwa hadits ini mengharuskan seorang Muslim menjaga lisannya dan menghindari segala bentuk tindakan yang menyakiti orang lain. 2. Jenis dan Dampak Bullying Bullying dapat berupa fisik, verbal, psikologis, atau cyberbullying. Semua bentuk ini memiliki dampak signifikan: a. Dampak Psikologis Korban sering mengalami kecemasan, rendah diri, stres, dan kesulitan berinteraksi sosial. Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menyebut bahwa menyakiti hati orang lain merupakan dosa besar, meski dilakukan dengan kata-kata yang terlihat “sepele”. b. Dampak Spiritual Allah berfirman: “Barangsiapa yang berbuat kejahatan akan mendapat balasan yang setimpal.” (QS. Al-An’am: 160) Bullying bukan hanya mempengaruhi korban, tetapi juga meninggalkan noda dosa pada pelakunya. Ibn Qayyim Al-Jawziyya menegaskan bahwa setiap kezhaliman akan meninggalkan kegelapan dalam hati, menjauhkan seseorang dari keberkahan dan ketenangan jiwa. 3. Pandangan Para Ulama tentang Bullying Para ulama sepakat bahwa bullying adalah perbuatan yang diharamkan. Al-Ghazali: Menyatakan bahwa menyakiti orang lain, meskipun hanya dengan ejekan, termasuk dosa yang merusak kehormatan seorang Muslim. Ia merujuk pada QS. Al-Hujurat:12 sebagai dalil larangan meremehkan dan mengolok-olok. Ibn Qayyim Al-Jawziyya: Dalam Madarij al-Salikin, beliau menekankan pentingnya memberi nasihat lembut kepada pelaku. Hadits yang menjadi rujukan adalah: “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia mendapat pahala seperti pelakunya.” (HR. Muslim) Syaikh Abdul Aziz bin Baz: Menegaskan bahwa merendahkan atau menghina kaum Muslim adalah tindakan zalim yang diharamkan. Beliau merujuk pada hadits: “Tidak boleh seorang Muslim menzhalimi dan meremehkan saudaranya.” (HR. Muslim) 4. Solusi Islam untuk Mencegah Bullying Menanamkan akhlak mulia sejak dini, termasuk sabar, empati, dan menjaga ucapan. Memberi nasihat lembut kepada pelaku, bukan dengan balas dendam. Mendukung korban, mendengarkan keluhannya, dan memperkuat rasa percaya dirinya. Menegakkan keadilan, agar pelaku memahami konsekuensi perbuatannya. Menciptakan lingkungan aman, baik di rumah maupun di sekolah. Kesimpulan Bullying adalah tindakan kecil yang berdampak besar, baik bagi pelaku maupun korban. Islam dengan sangat jelas menolak segala bentuk perundungan karena merusak kehormatan, menimbulkan luka psikologis, dan membawa dosa. Umat Islam diperintahkan untuk menjaga lisan, menghormati sesama, dan menjauhi segala bentuk kezhaliman. Tindakan sederhana seperti menghentikan ejekan, memberi dukungan, atau menasihati teman merupakan amal kebaikan yang mampu menyelamatkan banyak hati dan menciptakan lingkungan yang penuh kasih sayang. Dengan menerapkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari, kita dapat bersama-sama menghentikan bullying dan menebarkan kedamaian.
ARTIKEL19/11/2025 | Yessi Ade Lia Putri
Terjebak Overthinking? Begini Cara Islam Menenangkan Hati
Terjebak Overthinking? Begini Cara Islam Menenangkan Hati
Di era modern, banyak orang terjebak dalam overthinking—memikirkan hal secara berlebihan, membayangkan skenario buruk, dan mengulang-ulang masalah yang belum tentu terjadi. Kondisi ini membuat hati gelisah dan pikiran lelah. Dalam Islam, masalah ini bukan hal baru; Al-Qur’an, hadis, dan penjelasan ulama memberikan panduan lengkap tentang bagaimana menenangkan hati dari pikiran yang berlebihan. 1. Menemukan Tenang dengan Tawakal Allah berfirman: “Barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupinya.” (QS. At-Talaq: 3) Ibn Katsir menjelaskan bahwa orang yang menyerahkan urusannya kepada Allah akan dicukupi dan dilindungi. Kebanyakan overthinking muncul karena manusia ingin mengontrol apa yang bukan wilayahnya. Dengan tawakal, hati lebih tenang. 2. Doa sebagai Obat Kegelisahan Rasulullah SAW mengajarkan doa penenangkan hati: “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari rasa gelisah dan sedih…” (HR. Abu Dawud) Imam An-Nawawi menyebut doa ini mencakup seluruh penyebab kegelisahan manusia. Membacanya secara rutin dapat memperkuat hati menghadapi berbagai kekhawatiran. 3. Fokus pada Hal yang Bisa Dikendalikan Ibn Qayyim menjelaskan bahwa manusia sering cemas karena memikirkan sesuatu yang belum terjadi atau menyesali sesuatu yang sudah berlalu. Islam mengajarkan fokus pada usaha terbaik hari ini, bukan pada hasil yang belum pasti. 4. Dzikir: Obat Penyelamat Hati Allah berfirman: “Hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.” (QS. Ar-Ra’d: 28) Ulama seperti Ibn Kathir dan Al-Qurthubi menjelaskan bahwa dzikir menenangkan hati, menjauhkan bisikan negatif, dan menguatkan rasa tawakal. 5. Shalat sebagai Penenang Jiwa Saat menghadapi masalah, Rasulullah SAW berkata: “Wahai Bilal, tenangkanlah kami dengan shalat.” (HR. Abu Dawud) Shalat menenangkan pikiran, membantu seseorang melepaskan beban dan mendekatkan diri kepada Allah. 6. Menghindari Pikiran “Andai Saja” Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah kamu berkata ‘Kalau saja aku melakukan ini…’ karena hal itu membuka pintu setan.” (HR. Muslim) Overthinking sering berawal dari penyesalan dan pikiran “seandainya.” Islam mengajarkan menerima takdir sebagai bentuk ketenangan hati. 7. Menjaga Kesehatan dan Lingkungan Ulama mengingatkan bahwa tubuh yang lelah dan lingkungan negatif dapat memperburuk pikiran. Islam menganjurkan hidup seimbang, menjaga kesehatan, serta bergaul dengan orang-orang yang mendekatkan kita kepada Allah. Kesimpulan Overthinking adalah beban pikiran yang bisa melemahkan hati, namun Islam telah menyediakan panduan lengkap untuk meredakannya. Dengan tawakal, berdzikir, shalat, memperbanyak doa, menerima takdir, memperbaiki pola hidup, dan menjauhi pikiran berlebihan tentang masa depan atau masa lalu, hati akan menjadi lebih tenang. Ketenangan adalah karunia Allah bagi siapa saja yang mendekat kepada-Nya. Semoga kita selalu diberikan kekuatan hati, pikiran yang jernih, dan kemampuan untuk berserah diri dalam setiap keadaan. Aamiin.
ARTIKEL19/11/2025 | Yessi Ade Lia Putri
Perselingkuhan Tak Sekadar Luka: Inilah Hukuman Akhirat yang Sering Diabaikan
Perselingkuhan Tak Sekadar Luka: Inilah Hukuman Akhirat yang Sering Diabaikan
Perselingkuhan bukan hanya luka batin yang memporakporandakan rumah tangga, tetapi juga termasuk dosa besar yang mendatangkan hukuman berat di akhirat. Banyak orang menganggap perselingkuhan hanyalah masalah emosional atau konflik rumah tangga. Padahal dalam Islam, perselingkuhan adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah pernikahan dan langkah awal menuju zina yang sangat diharamkan. Islam memandang bahwa perselingkuhan terbagi menjadi dua: emosional dan fisik. Perselingkuhan emosional meliputi kedekatan hati, curhat intens, atau perhatian berlebih kepada selain pasangan halal. Sementara perselingkuhan fisik masuk pada kategori zina atau segala tindakan mendekati zina. Allah telah memperingatkan: “Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah perbuatan keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra: 32) Larangan “mendekati” menunjukkan bahwa Islam menutup semua pintu yang mengarah kepada zina, termasuk pandangan, sentuhan, percakapan, hingga hubungan digital yang memancing perasaan. Hadis Nabi tentang Perselingkuhan Emosional Rasulullah SAW bersabda: “Zina mata adalah memandang, zina lisan adalah berbicara, zina hati adalah menginginkan… dan kemaluan yang membenarkan atau mengingkarinya.” (HR. Bukhari dan Muslim) Hadis ini menegaskan bahwa perselingkuhan tidak harus selalu fisik. Hubungan emosional pun termasuk bagian dari zina kecil yang diharamkan. Bahkan Rasulullah SAW menyebut: “Tidaklah seseorang berzina ketika ia berzina dalam keadaan beriman.” (HR. Bukhari) Ini menunjukkan betapa beratnya maksiat tersebut. Pandangan Ulama Imam Al-Ghazali menyebut bahwa hati yang condong kepada selain pasangan adalah pintu besar menuju kerusakan rumah tangga. Ibn Katsir, dalam tafsir QS. Al-Isra: 32, menjelaskan bahwa larangan mendekati zina mencakup pandangan, percakapan, dan sentuhan yang membangkitkan syahwat. Ulama kontemporer seperti Syaikh Shalih Al-Munajjid dan Dr. Yusuf Al-Qaradawi menegaskan bahwa perselingkuhan digital—melalui chat, DM, voice note—termasuk pelanggaran syariat karena merusak kehormatan dan membuka pintu zina. Hukuman Akhirat yang Sering Diabaikan Banyak orang takut pada perceraian, tetapi lupa bahwa dosa ini memiliki konsekuensi akhirat yang jauh lebih berat: Azab kubur: Dalam hadis sahih, Nabi SAW melihat para pezina dibakar dalam tungku besar. (HR. Bukhari) Dipermalukan di hari kiamat: Ulama menjelaskan bahwa pezina akan datang dalam keadaan hina dan wajah menghitam. Dijauhkan dari rahmat Allah: Rasulullah SAW menyebut salah satu golongan yang tidak dilihat Allah di hari kiamat adalah orang yang berzina. (HR. Muslim) Hilangnya keberkahan hidup: Zina menyebabkan hati gelap, doa tertolak, dan kehidupan menjadi sempit. Tips Agar Rumah Tangga Terhindar dari Perselingkuhan Islam tidak hanya melarang, tetapi juga memberi solusi praktis: Perkuat komunikasi: Dengarkan pasangan, bicarakan masalah dengan jujur. Tunjukkan kasih sayang: Penuhi kebutuhan emosional dan fisik pasangan. Jaga batasan dengan lawan jenis: Hindari chat pribadi, curhat, atau perhatian yang tidak perlu. Menjaga pandangan: QS. An-Nur: 30–31 memerintahkan menahan pandangan dan menjaga hati. Ibadah bersama: Shalat, membaca Qur’an, dan saling menasihati menumbuhkan ketenangan. Jaga privasi rumah tangga: Hindari membocorkan masalah ke lawan jenis. Luangkan waktu berkualitas: Kebersamaan memperkuat ikatan cinta. Selalu ingat akhirat: Rasa takut kepada Allah adalah benteng terbesar dari maksiat.
ARTIKEL18/11/2025 | indri irmayanti
Perceraian: Jalan Terakhir atau Jalan Keluar? Perspektif Islam yang Jarang Dibahas
Perceraian: Jalan Terakhir atau Jalan Keluar? Perspektif Islam yang Jarang Dibahas
Perceraian selalu menjadi topik sensitif—penuh dilema, tekanan batin, serta pergulatan antara mempertahankan atau melepaskan. Sebagian orang memandang perceraian sebagai kegagalan, sementara sebagian lain menganggapnya sebagai solusi untuk mengakhiri penderitaan. Lalu bagaimana sebenarnya Islam memandang perceraian? Apakah ia murni jalan terakhir, atau justru salah satu pintu keluar yang disediakan syariat? Banyak orang tidak mengetahui bahwa Islam memberikan panduan yang sangat manusiawi tentang perceraian. Pembahasan yang detail, penuh rahmat, namun jarang disampaikan secara utuh. Artikel ini mengulasnya secara ringkas namun menyeluruh. 1. Islam Tidak Membenci Perceraian—Tapi Tidak Menganjurkannya Dalam Islam, perceraian tidak pernah dihukumi dosa. Yang ada hanyalah peringatan bahwa talak merupakan perkara halal yang tidak disukai karena dampak sosial dan emosional yang ditimbulkannya. Rasulullah ? bersabda: “Perkara halal yang paling dibenci Allah adalah talak.” (HR. Abu Dawud) Talak halal bukan karena ia baik, melainkan karena Islam tidak memaksa seseorang bertahan dalam kehidupan yang menyakitkan. Ibn Qayyim menegaskan: “Syariat tidak memaksa manusia terus berada dalam madharat. Talak adalah pintu keluar ketika pernikahan tidak lagi membawa maslahat.” (Zad al-Ma’ad) Artinya, perceraian adalah mekanisme penyelamatan, bukan aib atau kegagalan moral. 2. Perceraian Bisa Menjadi Jalan Keluar yang Bijak Islam mengakui bahwa ada kondisi di mana perceraian lebih baik daripada mempertahankan pernikahan: Kekerasan verbal atau fisik Konflik yang tak kunjung selesai Ketidaksetiaan atau pengkhianatan Hilangnya komitmen Ketidakadilan yang berulang Tidak ada lagi sakinah, mawaddah, wa rahmah Allah menegaskan: “Jika keduanya berpisah, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari karunia-Nya.” (QS. An-Nisa: 130) Ayat ini mengandung pesan optimis: perceraian bukan akhir segalanya—Allah menjamin adanya kebaikan baru setelahnya. 3. Tapi Islam Mewajibkan Usaha Maksimal Sebelum Bercerai Walaupun talak halal, Islam menolak perceraian yang tergesa-gesa. Syariat menetapkan tahapan penyelesaian: 1. Nasihat dan dialog 2. Doa dan introspeksi 3. Melibatkan keluarga yang bijak 4. Konseling atau penengah 5. Pisah ranjang sementara 6. Jika semua gagal, barulah talak dilakukan Allah berfirman: “Kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan…” (QS. An-Nisa: 35) Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa mempertahankan rumah tangga adalah pilihan utama selama maslahat lebih besar. Namun ketika mudarat menguasai, perceraian justru dianjurkan. 4. Talak Bukan Aib, dan Khulu’ Membuktikan Islam Menghargai Perempuan Perceraian dalam Islam bukan hanya hak suami. Perempuan pun memiliki hak melalui khulu’, yaitu memutus pernikahan atas permintaan istri. Dalam kasus istri Tsabit bin Qais (HR. Bukhari), ia meminta cerai karena tidak bisa lagi mencintai suaminya. Nabi ? tidak memaksanya bertahan, menunjukkan bahwa: Islam tidak membiarkan perempuan menderita Kesehatan mental dan ketenangan hati perempuan dihargai penuh Ini aspek penting yang sering diabaikan dalam pembahasan perceraian. Kesimpulan Perceraian dalam Islam adalah mekanisme penuh rahmat—bisa menjadi jalan terakhir jika masih ada harapan memperbaiki rumah tangga, tetapi juga jalan keluar ketika hubungan hanya membawa mudarat, luka, dan hilangnya ketenangan. Islam mengajarkan keseimbangan: berusaha memperbaiki sekuat tenaga, namun tidak memaksa seseorang bertahan dalam hubungan yang merusak jiwa dan iman. Apa pun keputusan yang diambil—bertahan atau berpisah—Islam mengarahkan manusia untuk memilih jalan yang paling membawa maslahat, menjaga harga diri, dan mendekatkan diri kepada Allah. Semoga setiap rumah tangga diberi ketenangan, jalan keluar terbaik, dan keteguhan dalam menjalani takdir Allah.
ARTIKEL18/11/2025 | Yessi Ade Lia Putri
Apakah KPR Termasuk Riba? Ini Pendapat Ulama dan Solusi Syariahnya
Apakah KPR Termasuk Riba? Ini Pendapat Ulama dan Solusi Syariahnya
Apakah KPR Termasuk Riba? Panduan Lengkap bagi Muslim Memiliki rumah adalah impian setiap keluarga. Namun, tingginya harga properti membuat banyak orang memilih pembiayaan melalui Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Di tengah kebutuhan ini, muncul pertanyaan penting: apakah KPR konvensional dibenarkan dalam Islam? Apakah akad tersebut mengandung unsur yang dilarang syariat, dan apa solusi yang sesuai Islam? Hukum Riba dalam Islam Riba adalah tambahan atau kelebihan yang disyaratkan dalam utang-piutang dan termasuk dosa besar. Allah SWT berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa-sisa riba… Jika kamu tidak melakukannya, maka umumkanlah perang dari Allah dan Rasul-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 278–279) Nabi SAW bersabda: “Rasulullah melaknat pemakan riba, pemberi riba, pencatatnya, dan dua saksinya.” (HR. Muslim) Ayat dan hadis ini menegaskan bahwa seluruh pihak yang terlibat dalam riba mendapat dosa. KPR Konvensional dan Riba KPR konvensional bekerja dengan cara: bank memberikan pinjaman, nasabah mengembalikan dalam jangka waktu tertentu, dan pembayaran disertai bunga. Tambahan bunga inilah yang termasuk riba. Mayoritas ulama, termasuk Ibn Qudamah dan Imam Nawawi, menyepakati bahwa setiap pinjaman yang mensyaratkan tambahan adalah riba yang haram. Ulama kontemporer seperti Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid juga menegaskan bahwa sistem kredit berbasis bunga termasuk riba. KPR Syariah: Solusi Halal Untuk memenuhi kebutuhan hunian tanpa riba, para ulama merancang KPR syariah dengan akad yang sesuai syariat: Murabahah (Jual Beli dengan Margin) Bank membeli rumah, lalu menjual kepada nasabah dengan harga pokok + margin keuntungan. Keuntungan ini halal karena berbasis jual beli, bukan pinjaman. Istishna’ (Pesanan Bangunan) Digunakan untuk rumah yang sedang dibangun. Bank membiayai pembangunan, kemudian menjual hasilnya kepada nasabah. Ijarah Muntahiyah Bit Tamlik (IMBT) Bank menyewakan rumah, dan setelah masa sewa selesai, rumah diserahkan atau dijual ke nasabah. Fatwa DSN-MUI menegaskan ketiga akad ini halal karena tidak mengandung bunga atau tambahan yang terlarang. Kritik dan Penjelasan Beberapa masyarakat beranggapan total pembayaran KPR syariah tetap lebih besar, sehingga “terkesan sama” dengan konvensional. Namun perbedaannya jelas: KPR konvensional = utang + bunga → riba, sedangkan KPR syariah = jual beli dengan margin → halal. Margin sudah disepakati di awal dan tidak berubah, sehingga akad tetap sah menurut syariat. Saran Ulama Ulama menyarankan agar Muslim: Mengutamakan pembiayaan syariah. Bersabar dan menabung jika belum mampu. Tidak memaksakan diri, karena rumah yang diperoleh melalui cara haram tidak membawa keberkahan. Senantiasa berdoa dan bertawakal, sebagaimana sabda Nabi: “Tidaklah seseorang meninggalkan sesuatu karena Allah kecuali Allah menggantinya dengan yang lebih baik.” (HR. Ahmad) Selain KPR syariah, alternatif halal lain termasuk menabung emas, arisan rumah berbasis syariah, membeli tanah lalu membangun bertahap, atau kerja sama keluarga tanpa tambahan yang dilarang. Kesimpulan Berdasarkan dalil Al-Qur’an, hadis, dan ijma’ ulama, KPR konvensional berbasis bunga adalah riba dan haram. Islam memberikan solusi melalui KPR syariah dengan akad murabahah, IMBT, atau istishna’. Memperoleh rumah adalah kebutuhan penting, tetapi harus ditempuh melalui cara yang halal agar keberkahan senantiasa tercurah dari Allah SWT.
ARTIKEL18/11/2025 | indri irmayanti
Kenapa Hidup Tidak Pernah Tenang Setelah Judi Online? Islam Punya Jawabannya
Kenapa Hidup Tidak Pernah Tenang Setelah Judi Online? Islam Punya Jawabannya
Judi online bukan sekadar hiburan digital. Banyak orang yang awalnya mencoba-coba, akhirnya terjerat hingga kehilangan uang, waktu, kesehatan mental, bahkan keharmonisan keluarga. Islam menegaskan bahwa judi, atau al-maisir/al-qimar, adalah perbuatan haram karena mengambil harta orang lain tanpa usaha halal, sekaligus merusak ketenangan hati dan keberkahan hidup. 1. Pengertian Judi Online Menurut Islam Dalam istilah syariat, judi adalah setiap permainan yang ada unsur menang-kalah dan seseorang memperoleh harta tanpa usaha yang sah. Judi online, meski berbasis aplikasi atau website, hakikatnya sama: mengandalkan keberuntungan dan taruhan uang. Ulama sepakat bahwa semua bentuk judi termasuk dosa besar. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menegaskan bahwa “setiap harta yang diambil melalui taruhan, undian, atau permainan menang-kalah yang bergantung pada keberuntungan adalah qimar, dan hukumnya haram.” 2. Pandangan Empat Mazhab Hanafi: Semua permainan dengan taruhan haram mutlak karena mengandung spekulasi tanpa usaha halal. Maliki: Judi merusak akhlak dan menimbulkan ketidakstabilan hati. Judi online yang adiktif termasuk maisir modern yang mendatangkan kerusakan. Syafi’i: Menghasilkan harta tanpa cara halal adalah qimar dan haram. Judi online menimbulkan kegelisahan dan hilangnya ketenangan. Hanbali: Judi besar dosanya karena menimbulkan ketamakan, merusak harta, dan membuka godaan setan. Judi online mempercepat kecanduan dan hilangnya ketenangan hidup. 3. Dampak Judi terhadap Ketenangan Hidup Allah berfirman: “Sesungguhnya setan bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kalian melalui khamar dan judi, serta menghalangi kalian dari mengingat Allah dan shalat. Maka berhentilah kalian.” (QS. Al-Maidah: 91) Ayat ini menekankan bahwa judi tidak hanya merusak materi, tetapi juga ketenangan jiwa. Orang yang berjudi sering merasa gelisah, takut ketahuan, menyesal, dan dihantui rasa bersalah. Nabi ? bersabda: “Dosa itu adalah sesuatu yang membuat hatimu gelisah dan kamu tidak suka jika orang lain mengetahuinya.” (HR. Muslim) 4. Kecanduan dan Masalah Keluarga Judi online dirancang agar ketagihan. Ini menyebabkan sulit tidur, stres berkepanjangan, kehilangan fokus kerja, dan dorongan untuk “balik modal.” Selain itu, kerugian finansial merusak hubungan keluarga, memicu konflik, kebohongan, bahkan perceraian. Syekh Abdurrahman As-Sa’di menegaskan, salah satu keburukan judi adalah merusak harta dan mendatangkan kemiskinan. 5. Solusi Menurut Islam: Taubat dan Perbaikan Diri Islam memberikan jalan keluar: taubat dan kembali kepada Allah. Allah berfirman: “Kecuali orang yang bertaubat, beriman, dan beramal saleh; maka Allah akan mengganti keburukan mereka dengan kebaikan.” (QS. Al-Furqan: 70) Langkah taubat meliputi: Berhenti total dari judi dan memutus akses aplikasi atau website. Menjauhi lingkungan yang memicu judi. Memperbanyak istighfar, dzikir, dan ibadah yang menenangkan hati. Mengisi waktu dengan kegiatan produktif dan positif. Nabi ? bersabda: “Barang siapa meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah gantikan dengan yang lebih baik.” (HR. Ahmad) Dengan meninggalkan maksiat dan memperbaiki diri, hati akan kembali tenang, rezeki menjadi berkah, dan kehidupan terasa lebih harmonis. Kesimpulan Judi online bukan sekadar hiburan atau cara cepat memperoleh uang. Islam menegaskan bahwa judi adalah perbuatan haram yang menimbulkan dosa besar, kegelisahan, kerusakan harta, dan konflik keluarga. Ketenangan hidup hilang karena judi mengundang godaan setan dan menutup pintu keberkahan. Namun, jalan taubat dan memperbaiki diri membuka peluang bagi hati yang tenang, rezeki yang berkah, serta hidup yang lebih damai dan harmonis.
ARTIKEL18/11/2025 | Yessi Ade Lia Putri
Belanja Sekarang, Bayar Nanti: Apakah Dibenarkan Syariat?
Belanja Sekarang, Bayar Nanti: Apakah Dibenarkan Syariat?
Belanja dengan skema paylater atau “belanja sekarang, bayar nanti” semakin diminati, terutama oleh generasi muda yang ingin memenuhi kebutuhan tanpa menunggu gaji. Fitur ini tampak membantu, tetapi sebagai Muslim, kita perlu memastikan sistemnya sesuai syariat. Sebab, tidak semua transaksi cicilan atau kredit itu halal—tergantung akad dan mekanismenya. 1. Hukum Tambahan dalam Utang Menurut Islam Dalam syariat Islam, utang tidak boleh menghasilkan tambahan apa pun, baik berupa bunga maupun denda keterlambatan. Allah SWT menegaskan: “Tinggalkan sisa-sisa tambahan yang masih ada… Jika kamu tidak melakukannya, maka umumkanlah perang dari Allah dan Rasul-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 278–279) Rasulullah SAW juga bersabda: “Rasulullah melaknat pemakan riba, pemberi riba, pencatatnya, dan dua saksinya.” (HR. Muslim) Mayoritas ulama sepakat: setiap pinjaman yang disyaratkan ada tambahan adalah riba, sebagaimana ditegaskan Imam Nawawi dan Ibn Qudamah. Artinya, kalau paylater mengenakan denda atau bunga, hukumnya haram. 2. Mekanisme Paylater dan Letak Masalah Syariahnya Umumnya, paylater bekerja seperti ini: Konsumen membeli barang. Pembayaran ditunda 30 hari atau dicicil. Ada denda atau biaya keterlambatan jika telat membayar. Tambahan karena telat membayar inilah yang masuk riba. Ulama kontemporer seperti Syaikh Wahbah Az-Zuhaili dan Syaikh Al-Munajjid menegaskan bahwa denda keterlambatan pada utang adalah riba yang jelas. Contoh kasus: beli HP Rp5 juta, telat bayar, denda Rp500 ribu. Tambahan itu bukan bagian dari jual beli, tetapi konsekuensi utang → riba qardh. 3. Paylater Syariah: Solusi Halal Syariat sebenarnya memberi alternatif agar umat Islam tetap bisa menikmati kemudahan transaksi cicilan, tetapi dengan akad yang benar. Beberapa pilihan halal: a. Murabahah (jual beli dengan margin) Perusahaan membeli barang terlebih dahulu, lalu menjualnya kepada konsumen dengan harga tetap yang disepakati. Tidak ada denda keterlambatan dan tidak ada tambahan utang. b. Ijarah (sewa dengan opsi beli) Konsumen menyewa barang, lalu bisa membeli di akhir masa sewa. c. Salam atau Istishna’ Cocok untuk barang pesanan atau produksi. Semua akad ini telah dinyatakan halal oleh DSN-MUI selama bebas dari denda, gharar, dan manipulasi. 4. Tips Menghindari Transaksi Riba dalam Paylater Ulama memberikan beberapa panduan penting: Pilih layanan paylater syariah dengan akad murabahah atau ijarah. Hindari sistem yang menetapkan denda atau bunga. Jika terpaksa pakai yang konvensional, bayar tepat waktu agar tidak terkena tambahan. Prioritaskan menabung atau membeli sesuai kemampuan. Ingat sabda Nabi SAW: “Siapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik.” (HR. Ahmad) 5. Alternatif Halal Selain Paylater Jika ingin menghindari risiko riba, Muslim bisa memilih: Menabung sebelum membeli. Arisan syariah. Membeli barang secara bertahap. Kerja sama keluarga/teman. Cara ini menghindarkan dari utang yang tidak perlu dan melatih disiplin finansial. Kesimpulan Paylater memang praktis, tetapi jika mengandung denda atau bunga keterlambatan, maka hukumnya haram menurut syariat. Namun, Islam tidak menutup pintu; ada solusi halal berupa paylater syariah dengan akad jual beli yang jelas dan bebas tambahan utang. Intinya, kemudahan boleh diambil, tetapi akad harus sesuai syariat agar harta tetap berkah dan jauh dari riba.
ARTIKEL18/11/2025 | indri irmayanti
Sah atau Tidak? Mengungkap Fakta Akad Jual Beli di Dunia Digital
Sah atau Tidak? Mengungkap Fakta Akad Jual Beli di Dunia Digital
Perkembangan teknologi dan internet telah mengubah cara manusia bertransaksi. Hampir semua kebutuhan—dari belanja pakaian, makanan, hingga layanan digital—dapat dilakukan secara online. Namun, kemudahan ini menimbulkan pertanyaan penting bagi umat Islam: apakah akad jual beli secara digital sah menurut syariah? Untuk menjawabnya, perlu dipahami pengertian, prinsip, rukun, dan tantangan transaksi digital menurut Islam. Pengertian Jual Beli dalam Islam Secara bahasa, jual beli berasal dari kata “ba’atha” yang berarti bertukar atau menyerahkan sesuatu dengan sesuatu lainnya. Dalam istilah fikih, jual beli (al-bay’ atau al-tijarah) adalah akad pertukaran antara dua pihak di mana satu pihak menyerahkan barang atau jasa, dan pihak lain menyerahkan imbalan berupa uang atau barang lain, dengan kesepakatan kedua belah pihak. Imam al-Qarafi dalam al-Furuq menyatakan: “Pertukaran sesuatu yang bermanfaat dengan sesuatu yang bermanfaat, dengan kerelaan dan persetujuan kedua belah pihak.” Prinsip ini menekankan pertukaran barang/jasa yang nyata dan bermanfaat, imbalan yang jelas, serta persetujuan sukarela dari kedua pihak. Prinsip dan Rukun Jual Beli Islam menekankan kejujuran dan keadilan dalam setiap transaksi. Allah SWT berfirman: “Janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.” (QS. An-Nisa: 29) Rukun sah jual beli menurut Imam Syafi’i meliputi: 1. Penjual dan pembeli yang sah (baligh, berakal, merdeka). 2. Barang yang jelas jenis, jumlah, dan kualitasnya. 3. Harga yang disepakati secara transparan. 4. Ijab dan qabul atau persetujuan nyata antara kedua pihak. Dalam transaksi digital, ijab dan qabul biasanya diwujudkan melalui klik tombol “beli” atau konfirmasi pembayaran. Akad Jual Beli Digital Para ulama kontemporer sepakat bahwa jual beli digital sah bila memenuhi syarat di atas. Prof. Dr. Wahbah al-Zuhayli menekankan bahwa transaksi elektronik sama dengan transaksi konvensional selama ada persetujuan sukarela, barang dan harga jelas, serta tidak ada unsur gharar atau penipuan. Sheikh Monzer Kahf menambahkan bahwa media digital hanyalah sarana, bukan penghalang syariah. Jenis dan Tantangan Transaksi Digital Beberapa jenis transaksi digital meliputi: Belanja barang fisik: sah jika deskripsi barang lengkap, harga jelas, dan mekanisme pengembalian ada. Transaksi jasa digital: sah jika ruang lingkup pekerjaan, harga, dan waktu penyelesaian jelas. Investasi dan aset digital: memerlukan kehati-hatian karena potensi riba, spekulasi berlebihan, atau ketidakjelasan (gharar). Transaksi digital memiliki risiko gharar yang lebih tinggi dibandingkan transaksi konvensional, misalnya barang berbeda dari deskripsi, pembayaran dilakukan sebelum kepastian barang, atau platform gagal mengirim barang. Jika gharar signifikan, akad dapat dianggap tidak sah. Selain gharar, transaksi digital juga berpotensi mengandung riba, misalnya bunga dalam cicilan online atau investasi dengan keuntungan pasti. Al-Qur’an menegaskan: “Orang-orang yang makan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran penyakit gila.” (QS. Al-Baqarah: 275) Perbandingan Akad Konvensional dan Digital Perbedaan utama antara transaksi konvensional dan digital hanya pada media dan cara pelaksanaan. Dalam transaksi konvensional, pembeli dan penjual bertemu langsung, memeriksa barang, dan melakukan ijab qabul secara lisan. Risiko penipuan relatif kecil. Dalam transaksi digital, ijab dan qabul dilakukan secara online, dan kepastian barang bergantung pada deskripsi, foto, dan ulasan. Namun, prinsip syariah tetap sama: persetujuan sukarela, barang dan harga jelas, serta bebas riba dan penipuan. Kesimpulan Akad jual beli digital sah menurut Islam jika memenuhi prinsip syariah, yaitu persetujuan sukarela, barang atau jasa yang jelas, harga transparan, dan bebas riba maupun penipuan. Meski bertransaksi secara online, umat Muslim tetap dapat menjaga kejujuran dan amanah. Sebagai bentuk amal kebaikan, selain bertransaksi secara halal, kita juga diajak untuk memperbanyak sedekah. Dengan menunaikan sedekah, baik dari rezeki hasil usaha maupun transaksi, kita tidak hanya memperoleh pahala, tetapi juga keberkahan rezeki, kelapangan hidup, dan kebaikan yang terus mengalir bagi diri sendiri dan orang lain.
ARTIKEL18/11/2025 | Yessi Ade Lia Putri
Antara Menjaga Perasaan Orang Lain atau Kejujuran?
Antara Menjaga Perasaan Orang Lain atau Kejujuran?
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menemui situasi di mana kita harus memilih antara berkata jujur atau menjaga perasaan seseorang. Dua nilai ini sangat mulia dalam Islam: kejujuran (?idq) adalah akhlak para nabi, sementara menjaga hati (hifzh al-khaw??ir) adalah bagian dari adab sosial yang sangat dijunjung. Namun ketika keduanya bertemu dalam sebuah dilema, manakah yang harus diprioritaskan? Untuk menjawabnya, ulama menegaskan bahwa tidak ada jawaban yang kaku. Islam memandang niat, konteks, maslahat, dan dampak dari setiap perkataan. Kejujuran tetap prinsip utama, namun cara dan situasi harus dipertimbangkan dengan hikmah. Kejujuran dalam Al-Qur’an dan Hadits Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar.” (QS. Al-Ahzab: 70) Ayat ini menegaskan bahwa kebenaran adalah standar utama dalam ucapan seorang muslim. Namun, Al-Qur’an juga mengajarkan agar ucapan disampaikan dengan baik: “Dan ucapkanlah kepada manusia perkataan yang baik.” (QS. Al-Baqarah: 83) Hadits Nabi ? juga menegaskan: “Sesungguhnya kejujuran menunjuki kepada kebaikan, dan kebaikan menunjuki ke surga…” (HR. Bukhari & Muslim) Namun, dalam waktu yang sama Nabi ? bersabda: “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Muslim) Ini menunjukkan bahwa kejujuran tidak harus disampaikan dengan cara yang menyakiti—bahkan kadang diam lebih baik daripada ucapan benar yang menimbulkan mudharat. Pandangan Para Ulama Para ulama dari berbagai mazhab sepakat bahwa kejujuran adalah kewajiban, namun menjaga perasaan memiliki kedudukan mulia selama tidak mengandung dusta yang merugikan. 1. Imam Al-Ghazali Dalam Ihya Ulumuddin, Al-Ghazali menjelaskan bahwa ucapan harus dipertimbangkan dari sisi manfaat dan mudharat. Ia menegaskan bahwa “tidak setiap kebenaran harus diungkapkan,” terutama bila menimbulkan permusuhan, fitnah, atau luka hati tanpa manfaat jelas. 2. Imam Nawawi Dalam Riyadhus Shalihin, Imam Nawawi mengutip hadits “berkata baik atau diam,” dan beliau menegaskan bahwa diam bisa lebih utama bila ucapan benar tidak membawa maslahat. Namun jika ucapan benar itu mencegah kemungkaran, maka menyampaikannya menjadi wajib. 3. Ibn Taymiyyah Ibn Taymiyyah menjelaskan: “Ucapan benar yang menyebabkan kezhaliman lebih besar tidak boleh diucapkan.” Prinsipnya adalah menolak mudharat lebih diutamakan daripada menarik manfaat. 4. Kaidah Fikih Kaidah penting yang relevan adalah: La darar wa la dirar — tidak boleh menimbulkan bahaya kepada orang lain atau diri sendiri. Dar’ul mafasid muqaddam ‘ala jalbil mashalih — mencegah kerusakan lebih utama dibanding mendatangkan kebaikan. Keduanya memberi petunjuk bahwa kejujuran harus menghindari dampak buruk yang tidak perlu. Kapan Kejujuran Harus Didahulukan? 1. Ketika menyangkut hak orang lain Dalam persoalan keuangan, kesaksian, pernikahan, amanah pekerjaan, atau urusan publik, kejujuran wajib disampaikan meski pahit. 2. Ketika ada bahaya atau kezaliman Misalnya: melihat kecurangan, penipuan, atau perbuatan maksiat yang merusak. Dalam konteks ini, diam atau menjaga perasaan justru bisa menjadi dosa. 3. Ketika tujuannya memperbaiki Jika tujuan ucapan adalah perbaikan (islah), maka ia termasuk nasehat. Cara penyampaiannya harus lembut, namun isinya tetap jujur. Kapan Menjaga Perasaan Lebih Didahulukan? 1. Jika kebenaran hanya melukai tanpa manfaat syar'i Contoh: kritik terhadap fisik, kesalahan kecil tanpa dampak hukum, atau mengungkap hal yang tidak wajib diketahui. 2. Ketika menghindari fitnah dan permusuhan Jika kejujuran dapat memicu konflik besar yang tidak memberikan maslahat, menahan diri lebih utama. 3. Jika menyangkut rahasia pribadi yang tidak boleh disebarkan Mengungkap aib seseorang tanpa kebutuhan syar'i termasuk ghibah yang jelas dilarang. 4. Dalam konteks kebaikan rumah tangga Ada beberapa bentuk "white lie" yang dibolehkan dalam Islam, seperti membahagiakan pasangan, sebagaimana disebutkan dalam hadits tentang tiga kondisi yang dibolehkan berkata tidak sepenuhnya apa adanya: dalam perang, mendamaikan, dan suami-istri (HR. Muslim). Bagaimana Menyampaikan Kejujuran dengan Tetap Menjaga Perasaan? Islam tidak hanya memerintahkan berkata benar, tetapi juga mengajarkan seni berbicara. Berikut prinsip yang diajarkan para ulama dan akhlak Nabi ?: 1. Pilih waktu yang tepat Kebenaran yang disampaikan saat seseorang sedang marah atau sedih dapat menjadi bumerang. 2. Gunakan bahasa lembut Allah memerintahkan Nabi Musa & Harun untuk berkata lembut kepada Fir’aun (QS. Thaha: 44), padahal ia adalah penguasa yang paling zalim. Jika kepada Fir’aun saja demikian, apalagi kepada sesama muslim. 3. Fokus pada perilaku, bukan pribadi Alih-alih berkata: “Kamu ceroboh,” lebih baik: “Sepertinya kita bisa lebih hati-hati lagi di bagian ini.” 4. Niatkan sebagai nasehat bukan kritik Niat akan mempengaruhi nada bicara dan pilihan kata. 5. Sampaikan secara pribadi Nasehat di hadapan umum bisa terasa seperti penghinaan. Kesimpulan: Mana yang Lebih Didahulukan? Kejujuran tetap berada pada posisi utama dalam Islam, namun cara dan waktu penyampaiannya harus memperhatikan adab dan maslahat. Islam mengajarkan keseimbangan: jujur namun lembut, benar namun bijaksana, tegas namun penuh kasih. Jika kejujuran membawa kebaikan, tegakkanlah. Jika kejujuran hanya menambah luka tanpa manfaat, tahanlah. Di antara dua nilai mulia ini, Islam memilih hikmah—mengambil jalan terbaik sesuai kondisi.
ARTIKEL17/11/2025 | indri irmayanti
Etika Meminta Maaf dan Keutamaan Memaafkan dalam Islam
Etika Meminta Maaf dan Keutamaan Memaafkan dalam Islam
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak pernah terlepas dari kesalahan dan kekhilafan. Tidak ada seorang pun yang sempurna. Karena itu, Islam mengajarkan dua sikap mulia yang menjadi kunci kebersihan hati dan keharmonisan sosial, yaitu meminta maaf (al-i‘tidz?r) dan memaafkan (al-‘afwu). Keduanya bukan hanya etika kehidupan, tetapi ibadah yang memiliki nilai tinggi di sisi Allah SWT. Pengertian Meminta Maaf dan Memaafkan Meminta maaf dalam Islam berarti mengakui kesalahan, menunjukkan penyesalan, berhenti dari perbuatan salah, dan bertekad tidak mengulanginya. Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa taubat terdiri dari tiga unsur: penyesalan, berhenti, dan bertekad untuk tidak mengulangi. Jika kesalahan menyangkut hak orang lain, maka meminta maaf adalah bagian dari penyempurnaan taubat. Memaafkan (al-‘afwu) secara bahasa berarti menghapus, seperti angin yang menghapus jejak di pasir. Artinya, memaafkan adalah membersihkan hati dari dendam, menghapus tuntutan, dan melepaskan luka. Dalil Al-Qur’an tentang Keutamaan Memaafkan Al-Qur’an memuji orang-orang yang memaafkan. Dalam QS. Ali Imran ayat 134, Allah menyebut ciri orang bertakwa adalah mereka yang menahan amarah dan memaafkan kesalahan. Dalam QS. Asy-Syura ayat 40, Allah menegaskan: “Barang siapa memaafkan dan berdamai, maka pahalanya atas tanggungan Allah.” Janji langsung dari Allah menunjukkan bahwa memaafkan memiliki keutamaan spiritual yang sangat tinggi. QS. An-Nur ayat 22 juga menegaskan hubungan antara memaafkan dan berharap ampunan Allah. Hadis tentang Kemuliaan Memaafkan Rasulullah ? bersabda: “Tidaklah seseorang memaafkan kecuali Allah menambah kemuliaan baginya.” (HR. Muslim) Ini menunjukkan bahwa memaafkan bukan kelemahan, melainkan kemuliaan jiwa. Rasulullah juga menjelaskan bahwa orang kuat bukanlah yang jago bergulat, tetapi yang mampu menahan amarah (HR. Bukhari dan Muslim). Pandangan Ulama tentang Meminta Maaf Imam Nawawi menjelaskan bahwa meminta maaf menjadi wajib ketika seseorang melakukan ghibah, menyakiti, atau mengambil hak orang lain. Ibn Qayyim menegaskan bahwa sulitnya meminta maaf sering muncul dari ego, sehingga orang yang berani meminta maaf adalah orang yang telah menundukkan hawa nafsunya. Pandangan Empat Mazhab tentang Memaafkan Keempat mazhab sepakat bahwa memaafkan sangat dianjurkan: Hanafi & Hanbali: memaafkan merupakan sunnah dengan pahala besar. Syafi’i: memaafkan lebih utama selama tidak menimbulkan kerusakan lebih besar. Maliki: memaafkan disyariatkan dalam perkara pribadi. Kisah Teladan Rasulullah SAW Salah satu kisah terbesar adalah ketika Rasulullah SAW memaafkan penduduk Thaif yang melempari beliau hingga berdarah. Ketika malaikat menawarkan pembalasan, beliau justru mendoakan keturunan mereka agar menjadi hamba Allah. Inilah puncak kelapangan jiwa. Kesimpulan Islam menempatkan meminta maaf dan memaafkan sebagai ibadah hati yang sangat mulia. Al-Qur’an, hadis, serta pandangan ulama menegaskan bahwa kedua sikap ini membuka pintu ampunan Allah, menumbuhkan ketenangan batin, memperbaiki hubungan, dan membersihkan hati dari penyakit seperti dendam dan iri. Teladan Rasulullah SAW mengajarkan bahwa memaafkan bukan tanda kelemahan, tetapi tanda kemuliaan iman. Orang yang mampu meminta maaf dan memaafkan adalah orang yang hatinya bersih, jiwanya kuat, dan hidupnya diberkahi. Mari membiasakan diri untuk saling meminta maaf dan memberi maaf, agar hidup menjadi lebih tenang, hubungan semakin harmonis, dan hati semakin dekat dengan rahmat Allah SWT.
ARTIKEL17/11/2025 | Yessi Ade Lia Putri
Antara Tawakal dan Ikhtiar: Menemukan Keseimbangan dalam Hidup Seorang Muslim
Antara Tawakal dan Ikhtiar: Menemukan Keseimbangan dalam Hidup Seorang Muslim
Dalam perjalanan hidup, seorang Muslim dituntut untuk berusaha secara maksimal, namun dalam waktu yang sama juga diperintahkan untuk berserah diri sepenuhnya kepada Allah. Dua konsep ini—tawakal dan ikhtiar—bukanlah dua pilihan yang saling bertentangan, tetapi justru dua pondasi yang berjalan beriringan. Banyak kesalahpahaman muncul ketika tawakal disalahartikan sebagai pasrah tanpa usaha, atau ikhtiar disalahpahami sebagai bentuk ketidakpercayaan kepada ketetapan Allah. Islam dengan tegas menjelaskan bahwa seorang mukmin yang ideal adalah yang menyeimbangkan keduanya. Makna Tawakal dan Ikhtiar Menurut Syariat Secara bahasa, tawakal berarti bersandar sepenuhnya kepada Allah dalam segala urusan. Sedangkan menurut istilah syar’i, tawakal adalah menyempurnakan usaha lahiriah kemudian menyerahkan sepenuhnya hasilnya kepada Allah. Artinya, seseorang berkewajiban bekerja, tetapi hatinya bergantung pada Allah, bukan pada kemampuannya. Ikhtiar adalah usaha maksimal yang dilakukan seseorang untuk meraih tujuan. Semua bentuk sebab-sebab duniawi—bekerja, belajar, berobat, merencanakan masa depan—termasuk ikhtiar yang diperintahkan agama. Dalam pandangan Islam, ikhtiar adalah kewajiban, tawakal adalah kesempurnaan iman. Dalil Al-Qur'an tentang Tawakal dan Ikhtiar Allah memerintahkan tawakal setelah kita melakukan musyawarah dan usaha: “Kemudian apabila kamu telah bertekad, maka bertawakallah kepada Allah.” (QS. Ali Imran: 159) Ayat ini menunjukkan urutan: berpikir → berusaha → bertawakal. Sementara ayat lain menunjukkan pentingnya ikhtiar: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11) Ayat ini menjelaskan bahwa perubahan hidup tidak dipenuhi dengan doa saja, tetapi harus diiringi usaha. Hadits Nabi tentang Keseimbangan Tawakal dan Usaha Nabi ? menjelaskan bahwa tawakal yang benar bukan duduk diam menunggu nasib, tetapi tetap berusaha: “Jika kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, niscaya Allah memberi kalian rezeki sebagaimana burung: ia pergi pagi dalam keadaan lapar dan kembali sore dalam keadaan kenyang.” (HR. Tirmidzi) Burung tidak menunggu makanan datang ke sarangnya. Ia harus terbang, mencari, berpindah tempat—itulah ikhtiar yang diikuti tawakal. Dalam hadits lain, seorang sahabat bertanya apakah ia perlu mengikat untanya atau cukup bertawakal. Nabi menjawab: “Ikatlah terlebih dahulu, kemudian bertawakallah.” (HR. Tirmidzi) Hadits ini menjadi prinsip dasar bahwa usaha tidak mengurangi tawakal, justru menguatkan tawakal. Pandangan Para Ulama Tentang Tawakal dan Ikhtiar 1. Imam Al-Ghazali Dalam Ihya Ulumuddin, Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa tawakal bukan berarti meninggalkan usaha. Menurut beliau, usaha adalah bentuk ketaatan kepada Allah karena Allah menciptakan sebab dan akibat sebagai hukum alam. Ia berkata bahwa meninggalkan usaha dengan alasan tawakal termasuk kebodohan, bukan ibadah. 2. Ibn Taymiyyah Ibn Taymiyyah menegaskan bahwa sebab-sebab duniawi adalah bagian dari ketetapan Allah. Maka meninggalkannya sama saja dengan meninggalkan sunnatullah. Beliau mengajarkan bahwa tawakal tanpa usaha adalah bentuk kelemahan, sedangkan usaha tanpa tawakal adalah bentuk kesombongan. 3. Imam Ibn Qayyim Al-Jauziyyah Ibn Qayyim menjelaskan bahwa tawakal terdiri dari tiga hal: Mengandalkan Allah sepenuhnya, Meyakini bahwa segala urusan berada dalam kendali-Nya, Melakukan sebab yang diperintahkan. Tanpa salah satu dari tiga unsur ini, tawakal tidak sempurna. Contoh Keseimbangan Tawakal dan Ikhtiar dalam Kehidupan Sehari-Hari 1. Dalam Mencari Nafkah Allah memerintahkan untuk bertebaran di muka bumi mencari karunia-Nya setelah shalat Jumat (QS. Al-Jumu’ah: 10). Artinya, bekerja adalah ibadah. Namun hasilnya tetap diserahkan kepada Allah. 2. Dalam Kesehatan Berobat adalah perintah. Nabi sendiri berobat, minum herbal, dan menyuruh sahabat untuk mencari pengobatan. Namun beliau mengajarkan bahwa kesembuhan hanyalah dari Allah. 3. Dalam Pendidikan dan Karier Belajar adalah usaha. Namun memahami bahwa kecerdasan, rezeki, dan hasil ujian berada dalam ketetapan Allah membuat hati tenang dan tidak putus asa. 4. Dalam Ujian Hidup Saat usaha tampak buntu, tawakal menjadi penguat. Tawakal tidak menggugurkan usaha, tetapi memberi ketenangan dalam menjalani usaha tersebut. Cara Menggabungkan Tawakal dan Ikhtiar Secara Benar Mulai dengan niat yang baik. Usaha bukan sekadar mengejar dunia, tapi mencari ridha Allah. Lakukan usaha semaksimal mungkin. Islam tidak mengajarkan setengah-setengah. Iringi usaha dengan doa. Doa adalah inti tawakal. Serahkan hasilnya kepada Allah. Jika berhasil, bersyukur. Jika gagal, bersabar dan melihatnya sebagai bagian dari ketetapan Allah. Terus evaluasi diri. Kegagalan bukan akhir. Mungkin Allah ingin kita memperbaiki cara, ilmu, atau niat. Hindari sikap ekstrem. Malas dengan alasan tawakal adalah keliru. Terlalu percaya diri tanpa tawakal juga keliru. Kesimpulan Tawakal dan ikhtiar bukan dua kutub yang saling meniadakan, melainkan dua pilar iman yang kokoh. Ikhtiar adalah bukti ketaatan kita kepada sunnatullah, sementara tawakal adalah bukti ketergantungan kita kepada Allah. Seorang Muslim sejati bekerja keras seperti semuanya bergantung pada usahanya, namun dalam waktu yang sama ia berserah diri seolah semuanya bergantung kepada Allah. Dengan memahami keseimbangan ini, hidup menjadi lebih tenang, terarah, dan penuh keberkahan.
ARTIKEL17/11/2025 | indri irmayanti
Antara Tawakal dan Ikhtiar: Menemukan Keseimbangan dalam Hidup Seorang Muslim
Antara Tawakal dan Ikhtiar: Menemukan Keseimbangan dalam Hidup Seorang Muslim
Setiap manusia pasti menghadapi ujian hidup, baik berupa kesulitan, cobaan, maupun musibah. Dalam Islam, ujian bukan sekadar tantangan, tetapi juga sarana untuk mengukur iman, kesabaran, dan ketekunan seorang hamba. Saat menghadapi ujian, seorang Muslim sering dihadapkan pada dilema: apakah cukup bersabar ataukah perlu bertindak aktif untuk mengubah keadaan? Keduanya tidak saling meniadakan, melainkan saling melengkapi jika ditempatkan pada proporsinya. Makna Sabar dan Bertindak Menurut Islam Sabar dalam istilah syar’i adalah menahan diri dari marah, gelisah, atau putus asa ketika menghadapi musibah, sambil tetap ridha terhadap ketentuan Allah. Sabar bukan sikap pasif; ia adalah kekuatan batin yang memungkinkan seorang Muslim tetap tenang dan tawakal pada Allah. Bertindak adalah usaha nyata untuk mengatasi masalah, mengambil sebab, dan berupaya sesuai kemampuan. Islam mendorong hamba-Nya untuk berusaha dengan sungguh-sungguh agar ujian dapat dihadapi secara efektif. Keseimbangan antara keduanya menjadi kunci: sabar tanpa usaha bisa stagnan, usaha tanpa kesabaran bisa putus asa atau frustrasi. Dalil Al-Qur’an tentang Sabar dan Bertindak Al-Qur’an menekankan sabar sebagai sikap yang mulia: “Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 153) Ayat ini mengingatkan bahwa sabar bukan hanya menahan diri, tetapi juga memperoleh pertolongan Allah. Di sisi lain, Al-Qur’an juga mendorong manusia untuk bertindak: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.” (QS. Al-Maidah: 2) Ayat ini menunjukkan bahwa manusia wajib mengambil langkah aktif dalam menegakkan kebaikan dan mengatasi masalah, bukan hanya menunggu pertolongan datang. Hadits Nabi tentang Sabar dan Bertindak Rasulullah ? bersabda: “Tidaklah seorang Muslim tertimpa kesusahan, lalu ia bersabar, melainkan Allah menggantinya dengan pahala yang besar.” (HR. Ahmad) Hadits ini menekankan pahala sabar, namun dalam praktiknya Nabi ? juga menunjukkan pentingnya bertindak. Misalnya ketika terjadi bencana atau konflik, beliau selalu mengambil langkah konkret, seperti merencanakan strategi, membagi tugas, dan menenangkan umat. Ada pula hadits yang menyeimbangkan keduanya: “Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah. Namun pada keduanya ada kebaikan. Berusahalah dengan apa yang bermanfaat, mintalah pertolongan Allah, dan jangan menyerah.” (HR. Muslim) Hadits ini menegaskan pentingnya usaha, disertai tawakal dan kesabaran. Pandangan Para Ulama 1. Imam Al-Ghazali Dalam Ihya Ulumuddin, Al-Ghazali menekankan bahwa sabar bukan berarti pasif. Ia harus diiringi usaha lahir dan batin. Ketika menghadapi ujian, mukmin harus tetap aktif mencari solusi sambil menenangkan hati dan ridha pada ketetapan Allah. 2. Ibn Qayyim Al-Jauziyyah Ibn Qayyim menjelaskan bahwa kesabaran dan ikhtiar ibarat dua sayap yang membuat seorang mukmin mampu “terbang” menghadapi ujian hidup. Sabar tanpa ikhtiar seperti burung tanpa sayap; ikhtiar tanpa sabar seperti burung yang sayapnya patah karena tergesa-gesa. 3. Ibnu Taymiyyah Ibnu Taymiyyah menegaskan bahwa menghadapi ujian bukan berarti menunggu takdir secara pasif. Sabar harus diiringi ikhtiar sesuai sebab yang syar’i. Dengan demikian, seorang Muslim menjadi produktif sekaligus sabar dalam menghadapi musibah. Contoh Keseimbangan Sabar dan Bertindak Dalam masalah ekonomi: Seorang Muslim yang kehilangan pekerjaan harus sabar dan tawakal, namun juga aktif mencari pekerjaan, meningkatkan keterampilan, atau memulai usaha baru. Dalam kesehatan: Ketika sakit, bersabar adalah wajib agar tidak putus asa, namun tetap dianjurkan berobat dan menjaga pola hidup sehat. Dalam pendidikan dan karier: Seorang mahasiswa yang gagal ujian harus bersabar menerima kegagalan, tetapi juga bertindak dengan belajar lebih giat dan memperbaiki metode. Dalam hubungan sosial: Bersabar menghadapi konflik, namun tetap bertindak dengan cara bijak untuk menyelesaikan masalah tanpa merusak hubungan. Langkah Praktis Menggabungkan Sabar dan Bertindak Evaluasi situasi: Tentukan apakah kondisi membutuhkan kesabaran, tindakan, atau keduanya. Tetapkan niat: Usaha harus diniatkan untuk kebaikan dan ridha Allah. Ambil langkah konkret: Lakukan usaha sesuai kemampuan dan syariat. Berdoa dan bertawakal: Serahkan hasilnya kepada Allah. Konsistensi: Bersabar dalam proses dan terus berusaha meski hasil belum tampak. Evaluasi ulang: Jika usaha gagal, pelajari kesalahan dan sesuaikan langkah. Kesimpulan Islam mengajarkan keseimbangan antara bersabar dan bertindak. Sabar memberikan ketenangan batin, bertindak memberikan solusi nyata. Keduanya saling melengkapi: sabar tanpa usaha bisa stagnan, usaha tanpa sabar bisa frustasi. Seorang Muslim yang matang adalah yang mampu menggabungkan keduanya: bersabar menghadapi ujian hidup sambil aktif mengambil langkah untuk memperbaiki keadaan, selalu disertai tawakal dan doa. Dengan demikian, ujian menjadi sarana pertumbuhan iman, ketekunan, dan keberkahan dalam hidup. Meta Deskripsi SEO (≤155 karakter): Pelajari cara menyeimbangkan sabar dan bertindak dalam menghadapi ujian hidup menurut Al-Qur’an, hadits, dan pandangan para ulama. Kalau mau, saya bisa buatkan caption singkat super catchy untuk artikel ini juga, siap pakai di sosial media. Apakah mau saya buatkan? You said: coba tambahkan lagi itu masih kurang dari 800 kata ChatGPT said: Baik, saya akan memperluas dan memperdalam artikelnya agar mendekati ±800 kata dengan menambahkan lebih banyak contoh praktis, refleksi, serta referensi dalil dan pandangan ulama. Berikut versi lengkap: Antara Bersabar dan Bertindak: Menentukan Sikap Tepat dalam Menghadapi Ujian Hidup Setiap manusia pasti menghadapi ujian hidup, baik berupa kesulitan, cobaan, maupun musibah. Dalam Islam, ujian bukan sekadar tantangan, tetapi juga sarana untuk mengukur iman, kesabaran, dan ketekunan seorang hamba. Saat menghadapi ujian, seorang Muslim sering dihadapkan pada dilema: apakah cukup bersabar ataukah perlu bertindak aktif untuk mengubah keadaan? Keduanya tidak saling meniadakan, melainkan saling melengkapi jika ditempatkan pada proporsinya. Makna Sabar dan Bertindak Menurut Islam Sabar dalam istilah syar’i adalah menahan diri dari marah, gelisah, atau putus asa ketika menghadapi musibah, sambil tetap ridha terhadap ketentuan Allah. Sabar bukan sikap pasif; ia adalah kekuatan batin yang memungkinkan seorang Muslim tetap tenang dan tawakal pada Allah. Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 153) Bertindak adalah usaha nyata untuk mengatasi masalah, mengambil sebab, dan berupaya sesuai kemampuan. Islam mendorong hamba-Nya untuk berusaha dengan sungguh-sungguh agar ujian dapat dihadapi secara efektif. Rasulullah ? bersabda: “Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah. Namun pada keduanya ada kebaikan. Berusahalah dengan apa yang bermanfaat, mintalah pertolongan Allah, dan jangan menyerah.” (HR. Muslim) Keseimbangan antara keduanya menjadi kunci: sabar tanpa usaha bisa stagnan, usaha tanpa kesabaran bisa putus asa atau frustrasi. Dalil Al-Qur’an tentang Sabar dan Bertindak Al-Qur’an menekankan sabar sebagai sikap yang mulia, sekaligus mendorong manusia untuk bertindak sesuai sebab: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.” (QS. Al-Maidah: 2) Selain itu, Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra`d: 11) Ayat ini menegaskan bahwa manusia wajib berikhtiar untuk memperbaiki diri, bukan hanya menunggu pertolongan datang tanpa usaha. Hadits Nabi tentang Sabar dan Bertindak Rasulullah ? mencontohkan keseimbangan antara kesabaran dan ikhtiar. Dalam sebuah hadits: “Tidaklah seorang Muslim tertimpa kesusahan, lalu ia bersabar, melainkan Allah menggantinya dengan pahala yang besar.” (HR. Ahmad) Namun, Nabi ? juga menunjukkan pentingnya bertindak. Misalnya, ketika menghadapi peperangan atau konflik, beliau selalu merencanakan strategi, membagi tugas, dan mengambil langkah nyata. Dalam situasi sehari-hari, beliau menekankan: “Ikatlah untamu, lalu bertawakallah.” (HR. Tirmidzi) Ini menegaskan bahwa usaha nyata (ikhtiar) harus diikuti tawakal dan kesabaran. Pandangan Para Ulama 1. Imam Al-Ghazali Dalam Ihya Ulumuddin, Al-Ghazali menekankan bahwa sabar harus diiringi usaha lahir dan batin. Ketika menghadapi ujian, mukmin harus aktif mencari solusi sambil menenangkan hati dan ridha pada ketentuan Allah. 2. Ibn Qayyim Al-Jauziyyah Ibn Qayyim menjelaskan bahwa kesabaran dan ikhtiar ibarat dua sayap yang membuat seorang mukmin mampu “terbang” menghadapi ujian hidup. Sabar tanpa ikhtiar seperti burung tanpa sayap; ikhtiar tanpa sabar seperti burung yang sayapnya patah karena tergesa-gesa. 3. Ibnu Taymiyyah Ibnu Taymiyyah menegaskan bahwa menghadapi ujian bukan berarti menunggu takdir secara pasif. Sabar harus diiringi ikhtiar sesuai sebab yang syar’i. Dengan demikian, seorang Muslim menjadi produktif sekaligus sabar dalam menghadapi musibah. 4. Imam Nawawi Dalam Riyadhus Shalihin, Imam Nawawi menekankan bahwa sabar terbagi menjadi tiga: sabar atas ketaatan, sabar menghadapi maksiat orang lain, dan sabar atas musibah. Ketiganya harus diimbangi dengan usaha untuk memperbaiki diri dan lingkungan. Contoh Keseimbangan Sabar dan Bertindak Masalah ekonomi: Seorang Muslim yang kehilangan pekerjaan harus bersabar dan tawakal, namun juga aktif mencari pekerjaan, meningkatkan keterampilan, atau memulai usaha baru. Kesehatan: Ketika sakit, bersabar adalah wajib agar tidak putus asa, namun tetap dianjurkan berobat dan menjaga pola hidup sehat. Pendidikan dan karier: Mahasiswa yang gagal ujian harus bersabar menerima kegagalan, tetapi juga bertindak dengan belajar lebih giat, memperbaiki metode, dan mencari bimbingan. Hubungan sosial: Bersabar menghadapi konflik, namun tetap bertindak dengan cara bijak untuk menyelesaikan masalah tanpa merusak hubungan. Musibah alam atau bencana: Mengungsi atau mengevakuasi diri adalah ikhtiar, sedangkan menerima ujian dengan sabar dan berdoa adalah bagian dari tawakal. Langkah Praktis Menggabungkan Sabar dan Bertindak Evaluasi situasi: Tentukan apakah kondisi membutuhkan kesabaran, tindakan, atau keduanya. Tetapkan niat: Usaha harus diniatkan untuk kebaikan dan ridha Allah. Ambil langkah konkret: Lakukan usaha sesuai kemampuan dan syariat. Berdoa dan bertawakal: Serahkan hasilnya kepada Allah. Konsistensi: Bersabar dalam proses dan terus berusaha meski hasil belum tampak. Evaluasi ulang: Jika usaha gagal, pelajari kesalahan dan sesuaikan langkah. Refleksi dan syukur: Sabar bukan sekadar menahan diri, tetapi juga mengajarkan bersyukur atas hikmah di balik ujian. Kesimpulan Islam mengajarkan keseimbangan antara bersabar dan bertindak. Sabar memberikan ketenangan batin, bertindak memberikan solusi nyata. Keduanya saling melengkapi: sabar tanpa usaha bisa stagnan, usaha tanpa sabar bisa frustasi. Seorang Muslim yang matang adalah yang mampu menggabungkan keduanya: bersabar menghadapi ujian hidup sambil aktif mengambil langkah untuk memperbaiki keadaan, selalu disertai tawakal dan doa. Dengan demikian, ujian menjadi sarana pertumbuhan iman, ketekunan, dan keberkahan dalam hidup.
ARTIKEL17/11/2025 | indri irmayanti
Antara Menjaga Lisan dan Berpendapat: Bagaimana Islam Mengatur Batasnya?
Antara Menjaga Lisan dan Berpendapat: Bagaimana Islam Mengatur Batasnya?
Dalam Islam, lisan merupakan anugerah yang diberikan Allah kepada manusia sebagai alat untuk berkomunikasi, berdakwah, menasihati, serta mengungkapkan kebenaran. Namun pada saat yang sama, lisan juga dapat menjadi sumber dosa yang besar apabila tidak dijaga. Karena melalui ucapan, seseorang bisa tergelincir pada ghibah, fitnah, ujaran kebencian, atau menyakiti hati orang lain. Oleh sebab itu, Al-Qur’an, hadis, serta para ulama menempatkan pembahasan mengenai lisan sebagai bagian penting dari akhlak Islam. Pengertian Lisan dalam Perspektif Islam Secara bahasa, lisan berarti alat berbicara dalam tubuh manusia. Namun menurut para ulama, makna lisan tidak hanya terbatas pada organ fisik, melainkan seluruh bentuk ucapan yang keluar dari manusia—termasuk tulisan, pesan teks, komentar media sosial, dan segala bentuk komunikasi. Allah berfirman: “Tidak ada satu kata pun yang diucapkannya melainkan di dekatnya ada malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaf: 18) Ayat ini menunjukkan bahwa setiap kata dicatat dan akan dimintai pertanggungjawaban. Nabi ? juga menegaskan: “Tidak ada sesuatu yang lebih banyak menjerumuskan manusia ke dalam neraka selain hasil panen lisannya.” (HR. Tirmidzi) Karena itu, menjaga lisan adalah bagian dari ibadah. Pandangan Para Ulama tentang Menjaga Lisan Para ulama memberikan perhatian besar terhadap lisan sebagai penjaga moral seseorang. Imam Al-Ghazali menyebut lisan sebagai “penerjemah hati”. Jika hati kotor, lisannya mudah menyakiti. Ia merinci berbagai dosa lisan seperti ghibah, fitnah, dan ucapan sia-sia. Imam Nawawi menegaskan bahwa prinsip dasar seorang muslim adalah “berkata baik atau diam”. Diam lebih selamat kecuali ada manfaat yang jelas dalam berbicara. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah menyatakan bahwa kerusakan yang paling cepat menimpa manusia sering bermula dari lisannya. Imam Malik, dikenal sangat berhati-hati, bahkan jarang berbicara kecuali pada urusan yang yakin kebenarannya. Mazhab empat (Syafi’i, Hanafi, Maliki, Hanbali) sepakat bahwa berbicara harus ditimbang antara maslahat dan mudarat. Jika mudarat lebih besar—hukumnya adalah diam. Mengemukakan Pendapat dalam Islam Mengemukakan pendapat adalah bagian dari fungsi lisan, dan hukumnya bisa berubah sesuai keadaan. 1. Wajib berbicara – Ketika melihat kemungkaran (HR. Muslim) – Menegakkan keadilan dan kesaksian (QS. An-Nisa: 135) – Memberikan nasihat kepada sesama (HR. Muslim) 2. Dianjurkan berbicara – Dalam musyawarah atau diskusi ilmiah – Ketika pendapat dapat memberi solusi atau memperbaiki keadaan 3. Dilarang berbicara – Jika ucapannya tidak berdasarkan ilmu – Jika dapat menyakiti atau menjatuhkan kehormatan orang lain – Jika memicu fitnah dan perpecahan – Saat sedang marah (HR. Ahmad) 4. Adab mengemukakan pendapat Ulama menekankan adab-adab seperti: – tidak memaksakan pendapat, – berbicara dengan lembut, – menimbang maslahat dan mudarat, – mendahulukan kebenaran, bukan ego. Keseimbangan antara Diam dan Bicara Islam mengajarkan keseimbangan: diam ketika ucapan berpotensi menyakiti, dan berbicara ketika kebenaran harus ditegakkan. Inilah prinsip akhlak lisan yang diajarkan Nabi ? dan diwariskan para ulama. Kesimpulan Lisan adalah amanah besar yang harus dijaga. Islam mengajarkan agar seseorang hanya berbicara jika ucapannya membawa manfaat, memperbaiki keadaan, atau menegakkan kebenaran. Sebaliknya, diam lebih utama ketika ucapan berpotensi membawa kemudaratan, menyakiti, atau memicu konflik. Dengan mengikuti panduan Al-Qur’an, hadis, dan nasihat para ulama, seorang muslim dapat memanfaatkan lisannya sebagai sarana menebar kebaikan, menjaga kehormatan diri, dan mendekatkan diri kepada Allah. Semoga Allah memberi kita kemampuan untuk menjaga lisan, mengendalikan ucapan, dan menggunakan kata-kata sebagai jalan menuju kebaikan dan keberkahan. Aamiin.
ARTIKEL17/11/2025 | Yessi Ade Lia Putri
Diantara Harapan dan Ketakutan: Jalan Tengah Yang Diambil Seorang Muslim
Diantara Harapan dan Ketakutan: Jalan Tengah Yang Diambil Seorang Muslim
Dalam perjalanan hidup, seorang Muslim selalu berada di antara dua kekuatan spiritual yang saling melengkapi: raja’ (harapan) dan khauf (ketakutan). Keduanya bukan sekadar emosi, tetapi pedoman moral yang menuntun seorang hamba agar tetap dekat dengan Allah. Tanpa harapan, hidup terasa gelap dan kehilangan arah. Tanpa ketakutan, hati menjadi sombong dan meremehkan dosa. Para ulama menekankan bahwa keseimbangan antara harapan dan ketakutan merupakan jalan tengah yang tepat untuk mendekatkan diri kepada Allah. Harapan (Raja’): Sumber Semangat Seorang Mukmin Harapan dalam Islam bukan keinginan kosong, melainkan keyakinan bahwa rahmat, pengampunan, dan pertolongan Allah selalu terbuka bagi hamba yang berusaha. Allah berfirman: "Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya." (QS. Az-Zumar: 53) Ibn Qayyim al-Jauziyyah menjelaskan bahwa raja’ muncul ketika seseorang yakin Allah akan memberikan yang terbaik sebagai balasan atas usaha, doa, dan tawakalnya. Harapan sejati mendorong seseorang untuk beramal; tanpa amal, harapan hanyalah angan-angan kosong. Dengan demikian, seorang Muslim tetap memperbaiki diri, memperbanyak doa, dan menjalani kebaikan demi meraih pahala Allah. Ketakutan (Khauf): Penjaga Hati dari Kelalaian Ketakutan kepada Allah berfungsi sebagai rem moral agar seseorang tidak jatuh dalam dosa. Allah berfirman: "Dan mereka senantiasa merasa takut kepada Tuhan mereka, serta mengerjakan apa yang diperintahkan." (QS. Al-Anbiya: 49) Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa khauf lahir dari pengenalan terhadap keagungan Allah dan kesadaran akan kelemahan diri. Semakin kuat iman seseorang, semakin dalam rasa takutnya kepada Allah, tetapi semakin besar pula harapannya terhadap kasih sayang-Nya. Rasulullah ? bersabda: "Seandainya seorang mukmin mengetahui kerasnya azab Allah, niscaya tak seorang pun berharap dapat masuk surga. Dan seandainya seorang kafir mengetahui luasnya rahmat Allah, niscaya tak seorang pun berputus asa dari surga." (HR. Muslim) Hadis ini menunjukkan bahwa ketakutan menjaga seseorang dari dosa, sementara harapan mencegah keputusasaan. Keseimbangan Antara Harapan dan Ketakutan Para ulama sepakat bahwa jalan terbaik adalah memadukan keduanya. Ibn Qayyim menggambarkan hati seorang mukmin seperti burung: kepala burung adalah cinta kepada Allah, sedangkan dua sayapnya adalah harapan dan ketakutan. Burung tidak bisa terbang hanya dengan satu sayap, begitu pula iman seorang hamba tidak sempurna tanpa keseimbangan ini. Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa seorang mukmin harus berada di antara rasa takut dan harapan, sedangkan Imam Asy-Syafi’i menekankan bahwa rasa takut lebih dominan saat sehat, dan harapan lebih besar menjelang kematian agar memperoleh husnul khatimah. Dalam kehidupan sehari-hari, keseimbangan ini terlihat ketika menghadapi ujian, beramal, dan bertaubat. Harapan membuat seorang Muslim yakin bahwa ujian dan amal memiliki hikmah dan pahala, sementara ketakutan mendorong untuk memperbaiki diri, menjaga amal agar ikhlas, dan tidak menunda taubat. Hasan al-Basri berkata, “Seorang mukmin beramal dengan sungguh-sungguh, namun ia tetap merasa takut, sementara orang munafik berbuat dosa, tetapi merasa aman.” Kesimpulan Keseimbangan antara harapan dan ketakutan adalah fondasi iman yang sehat. Harapan mendorong seorang Muslim untuk terus berbuat kebaikan, yakin pada rahmat Allah, dan tidak mudah menyerah. Ketakutan menjaga hati dari kesombongan, kelalaian, dan dosa sekecil apapun. Ketika keduanya berjalan seiring, seorang hamba menjadi matang secara spiritual, bijaksana dalam menghadapi ujian, dan konsisten dalam amal. Sebagai wujud nyata iman yang seimbang, seorang Muslim diajak untuk memperbanyak amal kebaikan, termasuk sedekah, sebagai bentuk harapan akan pahala Allah dan rasa takut agar tidak lalai. Dengan memperbanyak amal, hati menjadi lebih tenang, rezeki lebih berkah, dan pahala terus mengalir hingga akhirat.
ARTIKEL17/11/2025 | Yessi Ade Lia Putri
Antara Kerja Keras dan Kesehatan: Mana yang Harus Diprioritaskan?
Antara Kerja Keras dan Kesehatan: Mana yang Harus Diprioritaskan?
Apakah harus mendahulukan kerja keras atau menjaga kesehatan? Artikel ini membahas prioritas menurut Islam, lengkap dengan dalil Al-Qur’an, hadis Nabi, dan pandangan para ulama. Pendahuluan Dalam kehidupan modern, banyak orang merasa dituntut untuk bekerja keras demi memenuhi kebutuhan hidup. Banyak yang mengorbankan waktu, tenaga, bahkan kesehatan hanya demi mengejar rezeki. Namun di sisi lain, menjaga kesehatan adalah amanah dari Allah SWT yang tidak boleh diabaikan. Lalu, mana yang seharusnya diprioritaskan? Apakah kita harus mendahulukan kerja keras atau menjaga kesehatan? Islam sebagai agama yang sempurna memberikan panduan tentang bagaimana seorang Muslim menyeimbangkan keduanya. Pekerjaan adalah ibadah, tetapi kesehatan adalah amanah. Keduanya penting—namun adakah yang lebih utama ketika keduanya harus dipilih? 1. Kesehatan: Amanah dari Allah dan Syarat Ibadah Islam memandang kesehatan sebagai nikmat besar yang harus dijaga. Rasulullah SAW bersabda: “Ada dua nikmat yang banyak manusia tertipu, yaitu nikmat kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari) Hadis ini menunjukkan bahwa kesehatan adalah modal utama dalam menjalankan ibadah dan aktivitas dunia. Jika kesehatan rusak, ibadah terganggu, pekerjaan pun tidak optimal. Allah SWT juga berfirman: “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu ke dalam kebinasaan.” (QS. Al-Baqarah: 195) Ayat ini dijadikan para ulama sebagai salah satu dasar bahwa menjaga kesehatan hukumnya wajib. Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa tubuh adalah alat untuk beribadah. Jika alat ini rusak, ibadah pun tidak sempurna. Untuk itu, menjaga kesehatan—baik fisik maupun mental—bukan sekadar pilihan, tetapi bagian dari kewajiban seorang Muslim. 2. Kerja Keras: Bentuk Ikhtiar dan Ibadah Bekerja adalah perintah Allah dan bagian dari ibadah. Islam memuji orang yang bekerja keras, mencari nafkah dengan cara yang halal. Allah SWT berfirman: “Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu mudah digunakan, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah dari rezeki-Nya.” (QS. Al-Mulk: 15) Ayat ini menjadi dorongan agar manusia tidak malas, tetapi berusaha secara maksimal. Rasulullah SAW juga bersabda: “Tidaklah seseorang makan makanan yang lebih baik daripada hasil kerja tangannya sendiri.” (HR. Bukhari) Para ulama menjelaskan bahwa bekerja adalah bentuk tanggung jawab terhadap keluarga. Bahkan Imam Ahmad bin Hanbal menegaskan bahwa orang yang meninggalkan usaha dan hanya mengandalkan doa tanpa bekerja adalah orang yang kurang memahami agama. Namun, kerja keras tetap harus berada dalam batas wajar dan tidak mengorbankan kewajiban lain—termasuk kesehatan. 3. Mana yang Harus Diprioritaskan? Panduan Menurut Islam Ketika harus memilih antara kerja keras dan kesehatan, Islam memberikan panduan yang jelas: kesehatan didahulukan, karena ia adalah syarat untuk ibadah dan bekerja. a. Jika pekerjaan membahayakan kesehatan Ulama sepakat bahwa pekerjaan yang merusak kesehatan tidak boleh dipaksakan. Imam Asy-Syathibi dalam Al-Muwafaqat menjelaskan bahwa salah satu tujuan syariat adalah menjaga jiwa dan tubuh (hifzh an-nafs). Karena itu, segala sesuatu yang merusak kesehatan hukumnya tidak boleh, termasuk pekerjaan yang membahayakan fisik atau mental. b. Jika pekerjaan dapat diatur tanpa merusak kesehatan Maka bekerja keras menjadi utama, tetapi tetap dalam batas proporsional. Islam tidak melarang kerja keras, selama tidak mengabaikan hak tubuh. Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya tubuhmu memiliki hak atasmu.” (HR. Bukhari) Ini adalah prinsip bahwa seorang Muslim tidak boleh memaksakan diri dalam ibadah sekalipun, apalagi pekerjaan dunia. c. Jika kesehatan menurun Maka prioritas adalah istirahat dan pengobatan. Allah SWT memberikan keringanan dalam segala ibadah saat seseorang sakit. Ini menandakan bahwa kesehatan lebih utama daripada memaksakan aktivitas. 4. Menjaga Keseimbangan: Kunci Kehidupan Sehat Menurut Islam Islam selalu mengajarkan keseimbangan. Kerja keras tanpa menjaga kesehatan akan menyebabkan kelelahan, stres, dan penyakit. Namun menjaga kesehatan tanpa usaha untuk mencari nafkah juga tidak sesuai ajaran agama. Cara menjaga keseimbangan menurut pandangan ulama: 1. Menunaikan kewajiban fisik dan spiritual Kerja keras termasuk ibadah, tetapi ibadah lain seperti salat, zikir, dan istirahat juga wajib diperhatikan. 2. Tidak berlebihan dalam bekerja Allah SWT berfirman: “Dan demikianlah Kami jadikan kamu umat yang pertengahan.” (QS. Al-Baqarah: 143) Ayat ini menjadi dalil pentingnya moderasi, termasuk dalam bekerja. 3. Memberi waktu istirahat untuk tubuh Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah menyatakan bahwa tubuh yang lelah membutuhkan istirahat agar bisa kembali produktif dan beribadah dengan baik. 4. Menjaga pola makan dan gaya hidup Islam memerintahkan makan secukupnya, tidak berlebihan (QS. Al-A’raf: 31). Ini adalah prinsip kesehatan yang sangat relevan. Kesimpulan Lalu, mana yang harus diprioritaskan: kerja keras atau kesehatan? Jawabannya menurut Islam: Kesehatan adalah prioritas utama, karena tanpa kesehatan ibadah dan pekerjaan tidak bisa dilakukan dengan baik. Namun, kesehatan bukan alasan untuk malas bekerja. Keduanya harus berjalan seimbang: Jaga kesehatan agar mampu bekerja dengan baik. Bekerja secukupnya agar tidak merusak kesehatan. Ikuti prinsip moderasi sebagaimana diajarkan Islam. Dengan keseimbangan ini, seorang Muslim dapat menjalani hidup produktif, sehat, dan penuh keberkahan sesuai tuntunan syariat.
ARTIKEL14/11/2025 | indri irmayanti
Info Rekening Zakat

Info Rekening Zakat

Mari tunaikan zakat Anda dengan mentransfer ke rekening zakat.

BAZNAS

Info Rekening Zakat