Sah atau Tidak? Mengungkap Fakta Akad Jual Beli di Dunia Digital
18/11/2025 | Penulis: Yessi Ade Lia Putri
Online tetap halal, asal transparan
Perkembangan teknologi dan internet telah mengubah cara manusia bertransaksi. Hampir semua kebutuhan—dari belanja pakaian, makanan, hingga layanan digital—dapat dilakukan secara online. Namun, kemudahan ini menimbulkan pertanyaan penting bagi umat Islam: apakah akad jual beli secara digital sah menurut syariah? Untuk menjawabnya, perlu dipahami pengertian, prinsip, rukun, dan tantangan transaksi digital menurut Islam.
Pengertian Jual Beli dalam Islam
Secara bahasa, jual beli berasal dari kata “ba’atha” yang berarti bertukar atau menyerahkan sesuatu dengan sesuatu lainnya. Dalam istilah fikih, jual beli (al-bay’ atau al-tijarah) adalah akad pertukaran antara dua pihak di mana satu pihak menyerahkan barang atau jasa, dan pihak lain menyerahkan imbalan berupa uang atau barang lain, dengan kesepakatan kedua belah pihak.
Imam al-Qarafi dalam al-Furuq menyatakan:
“Pertukaran sesuatu yang bermanfaat dengan sesuatu yang bermanfaat, dengan kerelaan dan persetujuan kedua belah pihak.”
Prinsip ini menekankan pertukaran barang/jasa yang nyata dan bermanfaat, imbalan yang jelas, serta persetujuan sukarela dari kedua pihak.
Prinsip dan Rukun Jual Beli
Islam menekankan kejujuran dan keadilan dalam setiap transaksi. Allah SWT berfirman:
“Janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.” (QS. An-Nisa: 29)
Rukun sah jual beli menurut Imam Syafi’i meliputi:
1. Penjual dan pembeli yang sah (baligh, berakal, merdeka).
2. Barang yang jelas jenis, jumlah, dan kualitasnya.
3. Harga yang disepakati secara transparan.
4. Ijab dan qabul atau persetujuan nyata antara kedua pihak.
Dalam transaksi digital, ijab dan qabul biasanya diwujudkan melalui klik tombol “beli” atau konfirmasi pembayaran.
Akad Jual Beli Digital
Para ulama kontemporer sepakat bahwa jual beli digital sah bila memenuhi syarat di atas. Prof. Dr. Wahbah al-Zuhayli menekankan bahwa transaksi elektronik sama dengan transaksi konvensional selama ada persetujuan sukarela, barang dan harga jelas, serta tidak ada unsur gharar atau penipuan. Sheikh Monzer Kahf menambahkan bahwa media digital hanyalah sarana, bukan penghalang syariah.
Jenis dan Tantangan Transaksi Digital
Beberapa jenis transaksi digital meliputi:
- Belanja barang fisik: sah jika deskripsi barang lengkap, harga jelas, dan mekanisme pengembalian ada.
- Transaksi jasa digital: sah jika ruang lingkup pekerjaan, harga, dan waktu penyelesaian jelas.
- Investasi dan aset digital: memerlukan kehati-hatian karena potensi riba, spekulasi berlebihan, atau ketidakjelasan (gharar).
Transaksi digital memiliki risiko gharar yang lebih tinggi dibandingkan transaksi konvensional, misalnya barang berbeda dari deskripsi, pembayaran dilakukan sebelum kepastian barang, atau platform gagal mengirim barang. Jika gharar signifikan, akad dapat dianggap tidak sah.
Selain gharar, transaksi digital juga berpotensi mengandung riba, misalnya bunga dalam cicilan online atau investasi dengan keuntungan pasti. Al-Qur’an menegaskan:
“Orang-orang yang makan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran penyakit gila.” (QS. Al-Baqarah: 275)
Perbandingan Akad Konvensional dan Digital
Perbedaan utama antara transaksi konvensional dan digital hanya pada media dan cara pelaksanaan. Dalam transaksi konvensional, pembeli dan penjual bertemu langsung, memeriksa barang, dan melakukan ijab qabul secara lisan. Risiko penipuan relatif kecil. Dalam transaksi digital, ijab dan qabul dilakukan secara online, dan kepastian barang bergantung pada deskripsi, foto, dan ulasan. Namun, prinsip syariah tetap sama: persetujuan sukarela, barang dan harga jelas, serta bebas riba dan penipuan.
Kesimpulan
Akad jual beli digital sah menurut Islam jika memenuhi prinsip syariah, yaitu persetujuan sukarela, barang atau jasa yang jelas, harga transparan, dan bebas riba maupun penipuan. Meski bertransaksi secara online, umat Muslim tetap dapat menjaga kejujuran dan amanah. Sebagai bentuk amal kebaikan, selain bertransaksi secara halal, kita juga diajak untuk memperbanyak sedekah. Dengan menunaikan sedekah, baik dari rezeki hasil usaha maupun transaksi, kita tidak hanya memperoleh pahala, tetapi juga keberkahan rezeki, kelapangan hidup, dan kebaikan yang terus mengalir bagi diri sendiri dan orang lain.
Artikel Lainnya
Islam Mengajarkan Produktivitas: Mulai dari Bangun Pagi Hingga Pulang Kerja
Hidup: Bukan Tentang Seberapa Cepat, Tapi Seberapa Sungguh Kita Menjalani
Rahasia Otak Manusia: Kenapa Kita Sulit Fokus?
Depresi di Usia Remaja: Kenali, Hadapi, dan Bangkit
UMKM Naik Kelas: Strategi Bisnis Halal dan Berkah Menurut Prinsip Ekonomi Islam
Menghidupkan Kembali Empati: Tantangan Akhlak di Era Modern dalam Pandangan Islam

Info Rekening Zakat
Mari tunaikan zakat Anda dengan mentransfer ke rekening zakat.
BAZNAS
