Mustahik adalah mereka yang berhak menerima zakat—agar hidup kembali layak dan bermartabat
Siapa Itu Mustahik? Memahami Kedudukannya dalam Islam
01/12/2025 | indri irmayantiMemahami Mustahik dan Kedudukannya dalam Islam Secara Komprehensif
Artikel ini mengulas pengertian mustahik, delapan kategori penerima zakat menurut Islam, dalil Al-Qur’an, hadits, serta pandangan ulama terkait hak mustahik dalam sistem sosial Islam.
Zakat adalah salah satu instrumen sosial dan spiritual dalam Islam yang memiliki dampak besar bagi kesejahteraan umat. Ia tidak sekadar kewajiban ibadah, tetapi sistem penyelamat bagi yang membutuhkan. Di balik kewajiban tersebut, terdapat dua pihak utama: muzaki sebagai pemberi zakat, dan mustahik sebagai penerima zakat. Tanpa adanya mustahik, sistem zakat tidak akan berjalan sesuai tujuan syariat. Karena itu, memahami siapa mustahik adalah langkah penting agar zakat tidak salah sasaran dan tidak menimbulkan ketidakadilan.
Pengertian Mustahik Menurut Islam
Secara bahasa, mustahik berasal dari kata Arab “istihqaq” yang berarti berhak menerima. Dalam konteks zakat, mustahik adalah golongan yang memiliki hak mendapatkan zakat berdasarkan ketentuan Al-Qur’an dan sunnah. Hak ini bukan hasil belas kasihan, melainkan ketentuan hukum syariat berdasarkan kebutuhan dan kondisi sosial.
Islam telah memberikan dasar hukum yang jelas. Allah SWT berfirman dalam QS. At-Taubah ayat 60:
“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, amil zakat, para muallaf yang dipujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah, dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan. Itulah ketetapan yang ditentukan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah: 60)
Ayat ini tidak hanya menyebutkan mustahik secara naratif, tetapi memberikan kategori sistematis agar zakat tepat diberikan kepada golongan yang benar-benar membutuhkan.
Delapan Golongan Mustahik (Asnaf)
Para ulama sepakat bahwa ayat ini menjadi landasan paling kuat dalam menentukan siapa yang berhak menerima zakat.
- Fakir
Golongan yang hampir tidak memiliki penghasilan atau sumber daya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka hidup pada tingkat kekurangan yang paling parah, sehingga kebutuhan primer seperti makanan, pakaian, dan tempat tinggal tidak tercukupi. - Miskin
Mereka yang memiliki pekerjaan atau pendapatan, namun tidak mencapai standar kecukupan. Misalnya buruh harian yang hanya bekerja beberapa hari dalam seminggu atau pedagang kecil dengan pemasukan terbatas. Dalam praktik sosial, miskin sering tampak lebih baik dari fakir, tetapi masih dalam kondisi tidak sejahtera. - Amil Zakat
Golongan petugas yang mengelola zakat, mulai dari administrasi, pendataan, hingga distribusi. Mereka menerima bagian zakat bukan karena kemiskinan, tetapi karena menjalankan tugas yang melelahkan secara fisik maupun administratif. - Muallaf
Orang yang baru masuk Islam atau pihak yang hatinya ingin ditenangkan. Tujuannya bukan membeli keimanan, tetapi menjaga kestabilan sosial dan keberlangsungan dakwah. Dalam sejarah Nabi, pemberian zakat kepada muallaf berhasil meredam konflik suku dan menumbuhkan harmoni. - Riqab
Golongan budak yang ingin menebus kebebasan dirinya. Meski praktik perbudakan telah berakhir, ulama kontemporer menafsirkan kategori ini sebagai pembebasan manusia dari belenggu penindasan, seperti rehabilitasi korban perdagangan manusia, pembebasan dari jeratan sosial, hingga reintegrasi narapidana yang bertaubat. - Gharimin
Orang yang memiliki hutang karena kebutuhan mendesak atau maslahat umum. Hutang yang lahir dari kesalahan moral seperti berjudi tidak termasuk. Islam mengutamakan meringankan beban mereka agar tidak jatuh ke lingkaran kemiskinan permanen. - Fi Sabilillah
Orang yang berjuang di jalan Allah. Pada masa Nabi identik dengan jihad fisik, namun ulama modern memasukkan perjuangan pendidikan, dakwah, pengembangan masyarakat, hingga pembangunan fasilitas sosial yang meningkatkan kesejahteraan umat. - Ibnu Sabil
Musafir yang kehabisan bekal dalam perjalanan. Mereka mungkin mampu di kampung halaman, tetapi mengalami kesulitan sementara yang menghalangi keselamatan atau kepulangan.
Hadits tentang Mustahik
Rasulullah ? menegaskan bahwa zakat adalah hak kelompok tertentu. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Abu Daud dan Hakim:
“Sesungguhnya Allah tidak mewajibkan sedekah (zakat) kecuali untuk delapan golongan tertentu. Maka tidak halal bagi seorang yang kaya, atau yang kuat dan mampu bekerja, untuk mengambil zakat.”
Hadits ini memberikan batasan etika sosial: zakat bukan instrumen untuk memanjakan orang malas atau memperkaya pihak yang sudah sejahtera.
Pandangan Para Ulama
Ulama bersepakat bahwa mustahik adalah penerima zakat yang memiliki landasan hukum yang tidak boleh dilanggar.
Imam Al-Qurtubi menegaskan bahwa pembagian delapan golongan bersifat ta’abbudi atau ritual yang tidak boleh diubah seenaknya. Menurut beliau, manusia tidak berhak mengganti syariat dengan rasionalitas pribadi.
Ibn Kathir menyoroti penggunaan kata innama dalam QS. At-Taubah: 60 sebagai penanda pembatasan yang kuat. Ia menegaskan bahwa zakat hanya valid jika diberikan kepada asnaf, dan jika dialihkan ke pihak lain, maka hukum zakat tidak sah.
Imam Syafi’i dalam Al-Umm menjelaskan bahwa zakat adalah hak mustahik, bukan sedekah sukarela. Memberikan zakat kepada seseorang yang tidak memenuhi kriteria sama dengan merampas hak mustahik.
Mustahik dalam Realitas Sosial Modern
Kemiskinan hari ini tidak sekadar berarti tidak memiliki makanan. Ada bentuk-bentuk kerentanan baru yang memerlukan analisis lebih dalam: keluarga buruh harian yang penghasilannya tidak stabil, pekerja informal, orang yang kehilangan pekerjaan karena sakit, ibu rumah tangga tanpa akses daya dukung, hingga mahasiswa yang terlantar.
Karena itu, lembaga zakat seperti BAZNAS melakukan verifikasi lapangan, penilaian ekonomi keluarga, hingga kajian sosial. Pendekatan profesional memastikan zakat tidak jatuh kepada mereka yang tidak layak, sementara mustahik sejati tidak terabaikan.
Penutup
Mustahik adalah pihak yang memiliki hak syariat menerima zakat. Mereka bukan sekadar objek bantuan, tetapi komponen penting dalam sistem sosial Islam. Dengan memahami mustahik secara benar—berdasarkan Al-Qur’an, hadits, dan pandangan ulama—kita dapat memastikan bahwa zakat menjadi jembatan keadilan sosial, mengurangi kesenjangan, serta membangun masyarakat yang seimbang secara ekonomi dan spiritual.
Setiap amal akan kembali kepada pemiliknya.
Jika engkau memberi karena Allah, maka Allah yang akan membalasmu.
Jika engkau memberi karena manusia, maka manusia-lah yang menjadi “ganjaranmu”—dan itu tidak sebanding dengan pahala Allah.